Suatu Perjalanan yang Aku Lalui dengan Tidur
kau tiba di tempatku bersama kenangan selalu aku ingat di ujung syakban, kau adalah seruan menarikku pada perjalanan jauh melintasi tiga puluh stasiun. di stasiun terakhir orang-orang akan terlahir kembali seperti bayi. kutatapi tingkah orang-orang di kendaraanmu tak semua menikmati perjalanan, satu-dua penumpang turun di sepuluh stasiun pertama, katanya kalau sempat mereka akan menyusul di sepuluh stasiun terakhir. sebab mereka tak sanggup menahan, mereka melenguh: mengapa makanan baru terhidang ketika matahari telah tumbang? mereka mengeluh: kesenangannya seolah-olah dicabut dari tangan, kaki, mata, telinga, mulut, bahkan pikirannya. aku pun sempat ragu ikut terus atau melompat keluar diam-diam.
mementara orang-orang di hadapanku terus menyebutmu dengan takzim mengikutimu penuh halim. tiba-tiba kondektur berteriak, “Kendaraan ini akan terus berangkat ada atau tidaknya penumpang!
aku kembali duduk merunduk, tekak kering perutku bunyi-bunyi. sayup-sayup terdengar suara anak kecil di bangku depan.
“Bu, kenapa orang-orang merasa haus?”
“Karena ia selalu ingat minum,”
“Bu, kenapa orang-orang merasa lapar?”
“Karena ia selalu ingat makan,”
kemudian anak itu kembali bertanya,
“Tapi Bu, kenapa orang yang di ujung sana seolah tak mengingat keduanya?”
ibunya tersenyum lalu menjawab,
“Karena ia hanya mengingat tuhannya.”
setelah perbincangan itu aku tertidur, padahal penumpang lainnya sibuk membagikan bekal ke orang-orang di tepi stasiun, bahkan sesama penumpang. sebenarnya aku juga dapat tapi kantuk membuatku mengutuk kebisingan itu.
dalam lelapku aku melewatkan pesan orang bijak di pojok belakang, beribadah adalah mengerjakan kebaikan tanpa berpikir kau memiliki kebaikan itu.
tidurku semakin pulas tak kurasakan lapar dan haus. aku terbangun di stasiun ketiga puluh, riuh suara penumpang kau turunkan satu-satu pada bangunan putih bersih, kokoh dan menyeruakkan aroma harum kasturi. inilah tempat orang-orang akan terlahir kembali seperti bayi tanpa noda. suci.
lalu aku penumpang terakhir, juga ingin ikut turun namun kondektur kembali menancapkan gas sehingga aku terlambat untuk turun. perjalanan dilanjutkan sekitar seribu meter lalu aku diturunkan di sebuah gang buntu penuh bau tak sedap, setengah remang-remang terlihat sebuah gedung tua yang usang, tepat di halamannya berdiri sebuah plang bertuliskan,
tempat untuk penumpang yang hanya menahan lapar dan haus.
Tembilahan, 15 ramadan 1443 H/16 April 2022
Malam Tanpa Sujud
aku mulai larik ini dari dosa mencabik tentang pelarianku pada tuhan tak tertahan, bejana-bejana kiri selalu penuh terisi oleh hasrat tak mengenal sesal bahkan di hadapan tuhan aku mengendap-ngendap memasuki dipan menyelundup diantara raga telungkup, melayap pada celah tingkap.
dalam gelap aku bebas melakukan apa saja sebab darinya aku belajar, “keindahan itu bukan dilihat tapi dirasa,” bukankah telah banyak orang memilih gelap karena tak terlihat indah dihamun orang-orang berkerumun.
bukankah dalam gelap semua sama, sama tak terlihat sama bisa menipu, di waktu siang raga guyub beribadah sampai kuyup, tapi saat malam menjelang berapa banyak dari kita kembali jalang.
malam adalah tabiat untuk merayakan kehidupan juga sebagai nubuat dalam melayat yang kuhidu. ketika detik mengantar ke pucuk malam, kuberanikan diri memanggil tuhan, ada yang ingin aku padahkan. “Benarkah malam tanpa sujud adalah gelap tak berujud?”
jika demikian, bagaimana malam bisa kubasuh jika semua kelam telah kubancuh.
Tuhan tuntun aku mencintai terang.
Indragiri Hilir, 14 April 2022
Dan Bunga itu Hanya Tumbuh di Rumahmu
di kaki lima rumahmu ada bunga sebenarnya indah. tapi tidak di matamu, bagimu bunga itu hanyalah jenis keladi kampung tumbuh menyemak di ujung-ujung kebun. Daunnya hijau tak mampu meneduhkanmu, bunga itu pernah kaurawat, itu dapat terlihat dari pot putih tempatnya tumbuh. setidaknya kau pernah berharap banyak padanya, meski hari ini kau terus banding-bandingkan dengan bunga yang lain.
di samping pintu pagar rumahmu kau letakkan sekenanya saja bunga itu, meski katamu bunga itu biasa saja seperti hati yang baru kehilangan cinta nyatanya, tiap ada orang-orang berkunjung selalu memuji bunga itu. bunga tiap pagi memberikan kesejukan mata dan menerbangkan aroma wangi, menjadikan rumahmu terlihat asri, memberikanmu banyak hal tapi selalu kau sangkal.
lalu hari ini kau ingin keluar. meninggalkan bunga itu.
“Aku ingin membeli bunga baru, lebih mahal tentunya juga jauh lebih indah.”
nyatanya kau tak pernah bisa menggantikan keberadaan bunga itu, setiap bunga yang kau beli selalu saja mati, tidak seperti bunga di teras rumahmu itu. kuat meski jarang kaulihat.
kemudian di ujung petang, seseorang datang untuk membeli bunga itu. katanya, bunga itu hanya ada di rumahmu. bunga yang tak kau hargai ingin dibayar mahal orang lain. tiba-tiba kau menangis air matamu menitis liris. ternyata bunga hampir kaucampakkan adalah bunga yang didambakan orang.
akhirnya kau sadar bahwa tiap bunga punya waktunya sendiri untuk tumbuh dan mekar, tugasmu hanyalah menyiram, merawat, bukan malah membanding-bandingkannya.
sebab bunga akan menemukan kumbangnya sendiri.
Riau, 10 April 2022.
Biodata Penulis:
Yudi Muchtar lahir di Riau 27 tahun silam. Saat ini aktif di FLP Wilayah Riau. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai Penyair Terbaik Anugerah Pena FLP Wilayah Riau tahun 2021, Juara favorit lomba menulis dan membacakan puisi hari kartini ditaja PKS wilayah Riau tahun 2021. Pemenang 1 pemilihan Duta Cerpen FLP Wilayah Riau tahun 2020. Bukunya telah terbit: Ajari Aku Menjadikanmu Biasa tahun 2022, Kumpulan Puisi Malam Dua Paragraf tahun 2016, dan buku antologi lainnya. Yudi dapat dihubungi dikontak gawai: +6285376630254 atau melalui email: yudimuchtar63@gmail.com
Narasi Liris Menyentuh Hati
Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
jika demikian, bagaimana malam bisa kubasuh
jika semua kelam telah kubancuh.
Tuhan tuntun aku mencintai terang.
Setiap orang di dunia ini memiliki keinginan untuk berbagi pengalaman, ide dan perasaan kepada orang lain melaui tulisan-tulisannya. Beberapa bentuk dari tulisan-tulisan itu berupa puisi, prosa atau drama yang lebih kita kenal sebagai suatu bentuk karya sastra. Jadi dapat kita katakan bahwa kesusastraan itu adalah sebuah bentuk ekspresi manusia yang mencerminkan tentang pengalaman, ide-ide dan perasaanya. Menurut Aristoteles, kesusastraan adalah imitasi dari kehidupan (Abrams, 1971:11).
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi penyair Riau, Yudi Muchtar. Puisi-puisi tersebut berjudul “Suatu Perjalanan yang Aku Lalui dengan Tidur”, “Malam Tanpa Sujud”, dan “Dan Bunga itu Hanya Tumbuh di Rumahmu”. Ketiga puisi ini sangat menonjolkan narasi dalam struktur pengungkapannya.
Puisi tersusun dari bermacam-macam unsur sarana kepuitisan. Sarana kepuitisan harus mampu merangsang imajinasi, panca indera, pemikiran, dan menghidupkan perasaan. Pradopo (2010: 7) mengatakan bahwa puisi merupakan hasil eksperimen dan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Ekspresi tersebut disampaikan dalam susunan huruf dan kata-kata sedemikian rupa, sehingga mampu menarik hati pembaca dan menimbulkan kesan tersendiri bagi pembaca.
Atmazaki (2002:73) berpendapat bahwa bunyi dalam puisi merupakan salah satu sarana kepuitisan di samping saranasarana lain. Sebagian keindahan puisi terletak pada bunyi. Bunyi mempunyai tenaga ekspsresif, sementara nilai sebuah puisi sebagai karya seni terletak pada kekuatan ekspresinya yang total dan tandas. Ekspresi yang penuh itu adalah ekspresi yang memanfaatkan segala potensi bahasa dengan maksimal. Dengan kata lain, bunyi merupakan salah satu unsur yang penting dalam puisi.
Di dalam puisi, unsur bunyi berperan untuk memberi pengaruh dan sugesti kepada pembaca dan penikmatnya. Hal itu disebabkan karena bunyi-bunyi itu tidak saja mempunyai tugas mempertajam dan menegaskan makna tetapi juga menimbulkan sugesti. Walaupun bunyi sangat penting dalam sebuah sajak, tidak setiap bunyi memiliki makna di dalam sajak, tapi hanya bunyi yang memiliki keteraturan dan pola tertentu.
Puisi pertama menganalogikan bulan Ramadan yang merupakan bulan suci bagi umat Islam yang di dalamnya terkandung perintah berpuasa sebagai sebuah perjalanan jauh melintasi tiga puluh stasiun. Yudi menulis: ‘kau tiba di tempatku bersama kenangan selalu aku ingat di ujung syakban, kau adalah seruan menarikku pada perjalanan jauh melintasi tiga puluh stasiun. di stasiun terakhir orang-orang akan terlahir kembali seperti bayi.’ Ujung Syakban menandai kedatangan bulan suci Ramadan. Perumpamaan ‘terlahir kembali seperti bayi’ merupakan gambaran keberhasilan menjalankan ibadah di bulan Ramadan hingga sampai ke hari raya Idulfitri di bulan Syawal dalam keadaan fitrah atau suci.
Sebagai puisi teks ini agak kurang padat ketika penulisnya lepas kendali dalam menggunakan narasi sehingga bentuk puisi yang sejatinya lebih kristalisasi ide dengan struktur bahasa metaforis, terganggu oleh fragmen prosa seperti ini: ‘setelah perbincangan itu aku tertidur, padahal penumpang lainnya sibuk membagikan bekal ke orang-orang di tepi stasiun, bahkan sesama penumpang. sebenarnya aku juga dapat tapi kantuk membuatku mengutuk kebisingan itu.’ Ini memang risiko ketika penyair menulis puisi dengan semangat tukang cerita.
Namun ‘ending’ puisinya cukup kuat dengan memberi ironi yang membuat pembaca akan tercenung: ‘lalu aku diturunkan di sebuah gang buntu penuh bau tak sedap, setengah remang-remang terlihat sebuah gedung tua yang usang, tepat di halamannya berdiri sebuah plang bertuliskan, tempat untuk penumpang yang hanya menahan lapar dan haus.’ Untuk sampai ke puncak puisi ini, Yudi membawa pembaca menempuh perjalanan narasi yang panjang.
Puisi kedua dan ketiga sepertinya ditulis dengan semangat (atau cara berpuisi) yang sama. Yudi amat piawai merangkai kata-kata filosofis penuh perenungan, ‘bukankah dalam gelap semua sama, sama tak terlihat sama bisa menipu, di waktu siang raga guyub beribadah sampai kuyup, tapi saat malam menjelang berapa banyak dari kita kembali jalang. malam adalah tabiat untuk merayakan kehidupan juga sebagai nubuat dalam melayat yang kuhidu. ketika detik mengantar ke pucuk malam, kuberanikan diri memanggil tuhan, ada yang ingin aku padahkan. “Benarkah malam tanpa sujud adalah gelap tak berujud?”
Puisi ketiga cukup metaforik mengisahkan ‘bunga’ yang tidak disukai. Metafora adalah struktur bahasa yang memakai kata atau kelompok kata yang mengacu pada suatu objek, tetapi bukan dengan arti yang sebenarnya. Kiasan yang digunakan mengacu pada persamaan atau perbandingan sifat yang dimiliki objek tersebut. Secara umum, metafora ada empat jenis.
Pertama metafora antromorfik yaitu gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda tidak bernyawa memiliki nilai, makna, sifat dan nafsu-nafsu yang dimiliki manusia. Contohnya: “Pohon nyiur melambai-lambai” atau “Cintanya bersungut-sungut”; Kedua, Metafora Kehewanan, jenis metafora ini menggunakan binatang atau bagian tubuh binatang atau sesuatu yang berkaitan dengan binatang untuk mencitrakan sesuatu yang lain. Contoh sederhananya adalah mengumpat atau memarahi seseorang dengan kata “anjing”, “babi”, “kerbau”, dan lain sebagainya.
Ketiga, Metafora Konkret ke Abstrak, metafora jenis ini dinyatakan hal konkret diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak konkret atau bernyawa. Contoh siswa yang cerdas (konkret) dinyatakan sebagai “Bintang Pelajar” (sesuatu yang abstrak); dan keempat, Metafora Sinestesis yakni gaya bahasa yang digambarkan dengan mengalihkan sesuatu pengalaman ke pengalaman lainnya, atau suatu tanggapan ke tanggapan lainnya. Contohnya kata “kulihat suaranya”, secara umum suara adalah sesuatu yang didengar bukan dilihat, namun dalam kalimat ini “suara” diperlakukan sebagai sesuatu yang dapat dilihat.
Pada puisi Yudi berjudul “Dan Bunga itu Hanya Tumbuh di Rumahmu” ada bentuk konkret ke abstrak dari suatu persona yang dikiaskan ke bunga, meskipun dengan sabar penulis menceritakan nasib bunga keladi kampung yang tumbuh menyemak mata: ‘di kaki lima rumahmu ada bunga sebenarnya indah. tapi tidak di matamu, bagimu bunga itu hanyalah jenis keladi kampung tumbuh menyemak di ujung-ujung kebun. Daunnya hijau tak mampu meneduhkanmu, bunga itu pernah kaurawat, itu dapat terlihat dari pot putih tempatnya tumbuh. setidaknya kau pernah berharap banyak padanya, meski hari ini kau terus banding-bandingkan dengan bunga yang lain.’
Sebagai simbol, bunga tak disukai dalam puisi ini bisa mengacu ke pribadi, individu, atau kaum marginal yang kehadirannya tidak diharapkan, misalnya penyandang disabilitas, orang bermasalah sosial, anggota keluarga yang tidak diterima, atau sosok penumpang yang minta belas kasih tempat bernaung. Bagaimana pun juga kehadirannya secara sosial tidak diharapkan karena dianggap tak akan mendatangkan manfaat.
Di dalam alam budaya Minangkabau, kaum marginal ini sebenarnya telah diberi tempat, seperti dalam ungkapan ini: “Yang buta pengembus lesung, yang tuli peletus bedil” bahwa semua orang akan berfungsi sesuai kapasitas dirinya dan memiliki kelebihan masing-masing sehingga tidak layak dihina atau disingkirkan. Mereka tetap mesti dihargai dan dihormati sebagai manusia.
Pada bait terakhir Yudi menulis: ‘akhirnya kau sadar bahwa tiap bunga punya waktunya sendiri untuk tumbuh dan mekar, tugasmu hanyalah menyiram, merawat, bukan malah membanding-bandingkannya.// sebab bunga akan menemukan kumbangnya sendiri.’ Semua orang berhak mendapat tempat. Semua orang berhak bahagia.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post