Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Bagi mereka yang lahir dan besar di era tahun 1990-an, tentu tidak asing dengan Majalah Bobo. Seingat penulis, Bobo adalah hal yang mengantarkan penulis pada dunia sastra anak. Tampilan Majalah Bobo yang beraneka warna membuat penulis tidak sabar untuk membalik halaman demi halamannya. Walaupun tidak selalu membeli tiap minggunya, penulis sewaktu kecil selalu senang jika dibelikan Majalah Bobo oleh orang tua.
Sejak tahun 1973, Majalah Bobo telah konsisten manjadi Teman Bermain dan Belajar bagi anak-anak Indonesia sesuai dengan tagline-nya. Berisi 28 halaman, majalah ini sarat akan berbagai informasi, seperti pengetahuan, kreasi, cerita bergambar, dongeng hingga profil tokoh terkenal. Penulis bahkan mengenal profil Westlife, salah satu boyband asal Irlandia yang terkenal di era 90-an, juga dari Majalah Bobo.
Majalah Bobo awalnya berasal dari Belanda yang terbit pada 1968. Isinya juga tidak jauh dengan Majalah Bobo versi Indonesia yang memuat berbagai komik dan cerpen, dengan Bobo, seekor kelinci warna biru berusia 10 tahun. Bedanya, Majalah Bobo Belanda lebih ditujukan sebagai media edukasi kepada anak-anak di bawah lima tahun dan didistribusikan di sekolah-sekolah dasar, sedangkan Majalah Bobo Indonesia ditujukan untuk anak berusia 6-12 tahun. Pada awalnya, isi Majalah Bobo Indonesia pun disadur dari Majalah Bobo versi Belanda. Majalah Bobo Indonesia memiliki dua versi, yaitu Majalah Bobo dan Bobo Junior yang sudah berhenti terbit sejak Desember 2022. Adapun Majalah Bobo masih tetap berproduksi dalam bentuk cetak dan digital.
Beberapa minggu yang lalu, Grid Network, selaku penerbit membuat pengumuman akan menerbitkan sebuah edisi koleksi terbatas memperingati 50 tahun Majalah Bobo. Tentu saja penulis tidak ingin ketinggalan dan berpartisipasi membelinya. Beruntung penulis masih kedapatan untuk menikmati edisi khusus ini. Setelah menunggu kurang lebih selama tiga minggu, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang. Ketika membuka paket datang, alangkah senang rasanya bisa kembali membuka tiap-tiap halaman. Aroma khas majalah yang baru dibuka sekaligus nostalgia seketika merebak. Edisi khusus ini terasa begitu istimewa, tidak hanya karena diproduksi secara terbatas, tetapi juga isinya yang hampir lima kali lipat dari edisi biasa, dan memuat sebanyak 50 cerita terbaik yang pernah muncul di Majalah Bobo edisi tahun-tahun sebelumnya.
Tidak banyak yang berubah dari segi konten karena isinya merupakan cerita-cerita yang sudah pernah diterbitkan. Pada setiap cerita, ditampilkan keterangan kapan cerita itu diterbitkan, misalnya cerita tentang Bona si Gajah Kecil Berbelalai Panjang, dapat dilihat perbedaan kualitas gambar pada cerita yang terbit pada tahun 1975, 1978, 1981, 2006, 2010, dan 2018. Dari segi karakter, Bona tetaplah seekor anak gajah Asia yang serba bisa dan selalu dapat diandalkan. Pada sebuah ceria berjudul Ayunan yang dimuat di Majalah Bobo tahun 1975. Bona disini digambarkan agak sedikit ceroboh ketika menaiki ayunan dan rantainya putus karena tidak dapat menahan berat badan Bona. Bona memiliki teman, Rong Rong yang merupakan seekor kucing. Rong-rong justru digambarkan memiliki watak yang cerdik sehingga ia membantu mengikatkan belalai Bona ke tiang ayunan sehingga anak-anak dapat menaikinya menggunakan bantuan Belalai Bona.
Bona juga digambarkan sebagai seekor gajah yang baik hati dan suka menolong. Namun, dalam sebuah cerita yang terbit pada 2018, Bona tidak lagi berwarna merah muda melainkan ungu dan memakai topi. Tokoh Rong Rong juga digantikan oleh Ola, seekor kelinci betina belang asal Sumatera. Ia juga didampingi seekor burung Kakatua jambul kuning Jantan bernama Kaka. Cerita Bona dan kawan-kawan juga agaknya menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada sebuah cerita yang dimuat tahun 2006, Bona diceritakan sedang belajar menaiki sepeda dan membentuk belalainya menjadi sebuah helm untuk melindungi kepalanya. Pada tahun 2008 hingga 2010, tema cerita Bona mengangkat tentang kehidupan sehari, seperti ketika Bona menolong seorang anak bernama Fido untuk mengangkat ikannya yang lepas, juga ketika Bona dan Rong Rong bermaksud memberi ‘pelajaran’ pada seekor ajing yang suka menggigiti sandal majikannya.
Cerita si Bona nampaknya dapat terinspirasi dari mana saja. Misalnya pada cerita berjudul ‘Menolong Anak Bebek’ (2018) yang terinspirasi dari lagu anak-anak (nursery rhyme) berjudul ‘Five Little Duck’. Menceritakan seekor anak bebek yang terpisah dari ibu dan saudara-saudaranya. Dalam hal ini, Bona, Ola, dan Kaka bahu membahu menolong si anak bebek untuk dapat bertemu kembali dengan ibu dan saudara-saudarnya. Selanjutnya, pada cerita patung Totem (2019), yang merupakan ciri khas bangsa Indian. Bona digambarkan memiliki teman Indian bernama Bintang Terang. Nama Bintang Terang memang terkesan sangat Indonesia. Namun dalam hal ini, kita sebagai pembaca dewasa dapat sambil mengenalkan sebuah tradisi dari suku Indian kepada pembaca anak-anak. Bagi orang dewasa, penggambaran cerita Bona yang melilit belalainya membentuk patung totem mungkin sulit diterima. Namun, cerita Bona, Oki dan Nirmala, Paman Kikuk, Husin, dan Asta, serta keluarga Bobo memang ditujukan untuk anak-anak. Mudah dipahami, menggunakan bahasa sederhana, dan dapat menggugah imajinasi pembaca. Itulah sastra anak.
Membaca Majalah Bobo saat usia dewasa memberikan pengalaman berbeda dibandingkan membacanya ketika penulis masih kanak-kanak. Ketika masih kanak-kanak, penulis belum mampu untuk menyerap seluruh isi cerita, misalnya cerita Deni si Manusia Ikan. Setelah membacanya di usia dewasa, penulis menyadari bahwa cerita ini memiliki makna yang dalam dan pesan moral yang bagus. Cerita ini memiliki nilai perjuangan mengarungi lautan dan menentang maut agar dapat bertemu dengan orang tuanya. Deni si Manusia Ikan mengajak pembacanya untuk terus bersemangat dan pantang menyerah untuk meraih kebahagiaan.
Ada beberapa cerita yang juga pernah penulis saksikan pada saat cerita itu diterbitkan. Seperti kedua cerita Paman Kikuk, Husin, dan Asta berjudul ‘Menolong Bayi’ dan ‘Panas’ yang dimuat pada Majalah Bobo tahun 1997. Tidak pernah terbayangkan apa jadinya hidup penulis jika tidak pernah mengenal Majalah Bobo. Nilai nostalgia tidak hanya dihadirkan melalui cerita, tetapi juga ingatan ketika penulis kecil mengerjakan soal-soal pelajaran bersama kedua orang tua. Zaman terus berubah, namun Majalah Bobo selalu hadir sebagai Teman Bermain dan Belajar yang menyenangkan. Di dalam Bobo juga memuat ‘Apa Kabar, Bo?’, sebuah rubrik yang memungkinkan sesama pembaca dapat saling berkirim surat. Ada juga rubrik ‘Arena Kecil’ dan ‘Tak Disangka’ di mana pembaca dapat berbagi pengalaman konyol yang dialaminya. Kalau sekarang, sepertinya sudah terlalu terlambat bagi penulis untuk berbagi kisah pengalaman konyol, bukan?
Discussion about this post