Oleh: Budi Saputra
(Alumnus Universitas PGRI Sumatera Barat)
Memasuki triwulan II-2023, geliat perekonomian Indonesia di sektor pertanian menjadi sorotan untuk dibahas bersama. Digelarnya Sensus Pertanian 2023 (ST2023) adalah momentum baik bagi bangsa ini, terutama untuk pemangku kepentingan dan pelaku usaha pertanian. Sensus ini mencakup tujuh subsektor pertanian, yakni tanaman pangan, kehutanan, hortikultura, perikanan, kelautan, perikanan, dan perkebunan dengan hasil data yang dapat mulai digunakan pada 2024. Selain digelarnya ST2023, perhatian publik juga tertuju pada Penas Tani XVI di Padang, Sumatera Barat yang melibatkan lebih kurang 40 ribu petani dan nelayan yang berasal dari 38 provinsi se-Indonesia.
Tentu saja dua momentum di atas sebagai penguatan agar sektor pertanian kita semakin baik di masa depan, terutama terkait ST2023 yang gemanya sampai ke berbagai pelosok penjuru. Sensus ini menjadi magnet luar biasa yang menuntut sebuah perubahan. Kegiatan sensus ini diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang tepat dan akurat bagi sektor pertanian yang boleh dikatakan sektor yang rentan hari ini. Apabila melihat situasi dan kondisi global, sensus pertanian ketujuh yang diadakan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 1963 ini tentu begitu krusial. Mengingat satu dekade sejak Sensus Pertanian 2013, begitu banyak perubahan yang terjadi baik di dunia pertanian maupun kaitannya dengan transformasi digital, pandemi Covid-19, dan perubahan iklim.
Bicara tentang perubahan iklim, ini adalah ancaman serius bagi sektor pertanian hari ini. Ancaman kekeringan, bahkan curah hujan yang begitu tinggi. Semua itu akan berdampak besar terhadap pertanian yang berpotensi gagal panen hingga mengakibatkan kelangkaan pangan dan mempengaruhi kesejahteraan petani. Terkait hal ini, Dekan Fakultas Pertanian UGM, Jaka Widada menyebut bencana kelaparan akan terjadi di tahun 2050 sebagaimana prediksi organisasi pangan dunia FAO. Menurutnya, bencana kelaparan adalah ancaman yang nyata bagi dunia, termasuk Indonesia yang notabene dikenal sebagai negara agraris.
Menjawab Isu Global dan Tantangan Nasional
Berangkat dari hal di atas, tentu saja dengan digelarnya ST2023 diharapkan dapat menjawab isu global dan tantangan nasional seputar pangan. Berbagai permasalahan di dunia pertanian kita selama ini harus segera diselesaikan. Jika berkaca pada aktivitas pertanian dalam satu dekade terakhir, berbagai program tentu telah banyak diupayakan baik dari pemerintah pusat, Kementan RI, BUMN hingga pemerintah daerah untuk membantu para petani baik dari segi pembiayaan, produksi, pelatihan, hingga pemasaran produk pertanian.
Dilansir dari berbagai literatur, tercatat ada beberapa progam yang saling integrasi antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain Program 1000 Kampung Hortikultura, Program Makmur dari BUMN, pelatihan vokasi petani millenial, pengembangan pertanian presisi dan smart farming, hingga Progam Kartu Tani untuk mengefisienkan pendistribusian pupuk bersubsidi untuk petani kecil.
Meskipun kenyataan di lapangan program tersebut sudah berjalan, program itu belum sepenuhnya maksimal dan belum merata manfaat yang dirasakan oleh petani. Berbagai permasalahan tetaplah menjadi PR besar pemerintah dan otoritas terkait untuk menangani pemenuhan pangan dan kecukupan gizi, deposit perdagangan pangan, alih fungsi lahan, kecakapan internet bagi petani, keterbatasan akses pembiayaan, hingga perubahan iklim. Belum lagi ketidakmerataan distribusi pupuk subsidi yang sering ditemukan di berbagai daerah. Penyalurannya belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6T, yaitu tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu.
Lebih jauh dari permasalahan tersebut, angka alih fungsi lahan pertanian begitu tinggi dan menjadi ancaman serius yang akan berdampak pada kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar yang tergantung pada pertanian sebagai sumber penghidupan. Selain itu, alih fungsi lahan juga akan berdampak pada ketahanan pangan nasional dan ketersediaan gizi. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan data Sensus Pertanian 2003 dan 2013. Selama kurun satu dekade itu, 508.000 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa beralih kepemilikan dari rumah tangga petani ke nonpetani. Alih kepemilikan terbesar, yakni 204.318 hektar atau sekitar 40 persen, terjadi pada lahan berluas kurang dari 0,1 hektar.
Berangkat dari permasalahan di atas, di sinilah pentingnya ST2023. Sensus ini diharapkan bisa menghasilkan data akurat sehingga banyak tercipta kebijakan yang lebih berpihak kepada petani, seperti contoh distribusi pupuk bersubsidi merata dan tepat sasaran. Manfaatnya bisa meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Begitu pula kuantitas ekspor pangan diharapkan meningkat dan menekan angka impor sehingga menaikkan derajat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Kemudian, bagian yang tak kalah penting dari itu adalah dari sensus ini diharapkan dapat melahirkan kebijakan yang lebih ketat terkait alih fungsi lahan yang semakin tidak terkendali. Rujukannya pun jelas sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Adapun upaya implementasi dari undang-undang ini adalah pentingnya pemerintah daerah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah serta Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (P2B) dan Lahan Pertanian pangan Berkelanjutan (LP2B)
Sektor Prioritas
Mengingat pentingnya peran pertanian yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional, terutama mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, penyerapan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi prioritas nasional dalam RPJMN 2020–2024. Apabila diamati lebih jauh di tengah era transformasi digital ini, momentum ini akan membuat sektor pertanian menjadi lebih baik. Hal ini juga seiring adanya penerapan ekonomi hijau yang dilakukan pemerintah dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Sebagaimana kita ketahui, perubahan iklim sendiri berpotensi meningkatkan kerentanan ketahanan pada manusia, hewan dan tanaman yang bermuara pada kerugian ekonomi. Khusus di Indonesia, bahkan hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024. Atas dasar inilah, pemerintah kita berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060. Sebagaimana yang tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang menjadi bagian penting Perjanjian Paris bahwa Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen di tahun 2030 mendatang, dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen.
Dari uraian di atas, jelas bahwa ST2023 boleh dibilang sebagai sensus pertanian yang begitu krusial sebagaimana yang disampaikan pada awal tulisan tadi. Demi mewujudkan pertanian yang inovatif, salah satu langkahnya tentu saja adanya upaya inovasi irigasi seperti penerapan irigasi suplemen, irigasi kabut untuk tanaman hortikultura, serta irigasi otomatis yang terhubung internet. Substansi penerapan irigasi tersebut adalah demi meningkatkan hasil panen di tengah perubahan iklim yang begitu rentan terhadap produksi hasil pertanian.
Potensi Lahan
Apabila ditelusuri lebih dalam, ST2023 boleh dikatakan sebagai momentum lahirnya pertanian yang sarat teknologi informasi berbasis data yang akurat. Di sinilah peran petani milenial dalam memanfaatkan transformasi digital dalam dunia pertanian sehingga ini juga mendorong lahirnya para petani yang go digital dan go global yang bisa menggerakkan roda UMKM sektor pertanian dengan memanfaatkan ketersediaan basis data yang diperbarui dari kegiatan sensus ini. Terlebih bagi pelaku usaha pertanian. Data yang bermutu akan sangat membantu untuk memproyeksikan potensi bisnis pada masa depan di tengah isu perubahan iklim, serta upaya mitigasi yang banyak dibicarakan pada hari ini.
Pertanian adalah sektor yang sangat dipengaruhi oleh alam, seperti perubahan iklim, anomali cuaca, penyakit tanaman, hingga hama, maka di sinilah pentingnya integrasi berbagai program pertanian yang telah disebutkan tadi seperti Program Makmur, Program 1000 Kampung Hortikultura, Program Kartu Tani, dan program lainnya. Lebih jauh, apabila tersedia data yang akurat dari seluruh area pertanian di Indonesia, boleh jadi akan tercipta terobosan baru lebih inovatif yang muaranya adalah penerapan sistem pertanian yang disesuaikan dengan keadaan alam, seperti pemetaan komoditas sesuai iklim, aplikasi informasi iklim, mengembangkan teknologi pertanahan, hingga mengembangkan sistem perlindungan usaha tani.
Selain itu, dalam upaya mencapai kedaulatan pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani, maka ada potensi energi baru yang bisa bisa dipakai dan terintegrasi dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 105 Tahun 2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budi Daya Sapi Potong. maka di sinilah potensi lahan bisa dimanfaatkan dengan baik oleh petani untuk menciptakan hubungan simbiosis mutualisme.
Dengan diternakkannya kerbau atau sapi, otomatis petani dapat memanfaatkan kohe (kotoran hewan) untuk dikonversi menjadi biogas. Gas metan dari biogas ini bisa dimanfaatkan untuk memasak, penerangan dan menghasilkan pupuk organik padat serta pupuk organik cair. Biogas sendiri adalah energi alternatif yang sedang gencar dikembangkan dan berpotensi menggantikan BBM, gas, dan listrik. Hal ini ditegaskan oleh Pakar Peternakan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Bidang Penelitian, Bambang Suwignyo yang menyatakan, bahwa potensi ekonomi dari kotoran sapi dan kerbau di seluruh Indonesia bisa mencapai Rp 64,3 triliun setiap tahun
Tentu sangat menarik kita tunggu terobosan apa saja yang terlahir dari hasil ST2023 nanti. Terlepas dari hasil perbandingan dengan Sensus Pertanian 2013 yang boleh jadi banyak terjadi grafik penurunan pada tujuh subsektor, sudah selayaknya ST2023 menjadi tanggung jawab bersama bangsa ini. Bagi petani dan pelaku usaha pertanian, inilah momen untuk memberikan informasi yang benar dan apa adanya. Hal ini tentulah sangat penting, agar kebijakan pemerintah nantinya dapat membawa sektor pertanian menjadi sektor unggulan yang mencapai kedaulatan pangan. Kontribusinya terus meningkat bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Biodata Penulis:
Budi Saputra.. Lahir di Padang. Ia menulis di berbagai media massa seperti Lampung Post, Suara Merdeka, Rakyat Sultra, Kompas, dan Koran Tempo. Ia pernah diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012. Sekarang ia mengajar di SMA Al Azhar Syifa Budi Pekanbaru.
Discussion about this post