Oleh: Fadli Hafizulhaq
(Dosen Fateta Universitas Andalas dan Ketua FLP Sumbar)
Peningkatan kesadaran terhadap keselamatan lingkungan membawa berbagai tren baru dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat mulai menggunakan tas belanja ketika ingin ke pasar ketimbang menggunakan kantong kresek yang disediakan penjual. Motivasinya sudah jelas. Ia tidak ingin menambah sampah plastik yang butuh puluhan hingga ratusan tahun agar dapat terurai. Pun jika telah terurai, alih-alih hilang ditelan bumi, besar kemungkinan bahwa plastik terurai menjadi lebih kecil atau mikroplastik—atau bahkan nanoplastik.
Baik mikro mau pun nanoplastik berpotensi menjadi racun bagi sistem imun tubuh, mempengaruhi sistem saraf, reproduksi, memicu pertumbuhan dan perkembangan sel kanker, gangguan hormon, dan berbagai masalah kesehatan lainnya. Mikro dan nanoplastik bahkan dapat masuk ke dalam tubuh manusia, baik ketika terhirup (terutama nanoplastik berupa debu) atau terkonsumsi melalui bahan pangan yang telah terkontaminasi.
Bertolak dari uraian di atas, berbagai penelitian dan pengembangan telah dilakukan untuk menghasilkan produk plastik ramah lingkungan. Plastik-plastik itu kemudian diklaim lebih mudah terdegradasi dan aman bagi kesehatan. Namun apakah klaim tersebut sepenuhnya benar atau hanya sebatas bahasa promosi para produsen semata?
Terbuat dari Bahan Alam
Pada umumnya, plastik ramah lingkungan terbuat dari bahan alam seperti bahan golongan polisakarida. Polisakarida merupakan karbohidrat yang tersusun dari rantai polimer yang panjang dengan ratusan hingga ribuan monosakarida. Monosakarida sendiri adalah senyawa karbohidrat dalam bentuk gula yang memiliki bentuk sederhana. Beberapa dari contoh polisakarida ini adalah pati atau amilum, selulosa, dan kitosan.
Kebanyakan produsen plastik ramah lingkungan atau bioplastik saat ini menggunakan pati sebagai bahan dasar pembuatan bioplastik. Pati memiliki kemampuan untuk terdegradasi lebih mudah, tidak beracun, rendah biaya, serta mudah ditemukan di alam. Fabrikasi plastik dari pati juga tergolong mudah lantaran bahan ini memiliki temperatur dan waktu gelatinisasi yang relatif rendah serta mampu bentuk yang baik.
Namun meskipun demikian, jika seseorang menemukan produk plastik yang dilekatkan dengan frasa atau istilah “ramah lingkungan”, ia masih memiliki peluang untuk mendebat itu. Hal yang masih menjadi persoalan terkait hal tersebut adalah tentang standar ramah lingkungan itu sendiri. Jika plastik biasa terdegradasi puluhan tahun, apakah bioplastik yang butuh 1-2 tahun agar terdegradasi bisa disebut ramah lingkungan?
Kemampuan Terdegradasi
Kantong kresek nyatanya bukanlah satu-satunya jenis produk akhir dari plastik yang katanya ramah lingkungan. Masyarakat juga dapat menemukan berbagai produk plastik lainnya dengan klaim ramah lingkungan. Sebagai contoh peralatan makan yang terbuat dari selulosa jerami gandum. Di pasaran, produk-produk ini biasanya disebut sebagai wheat straw product dengan berbagai merek dagang.
Sebagai informasi, plastik ramah lingkungan seperti produk jerami gandum juga membutuhkan waktu agar dapat terdegradasi. Setidaknya butuh waktu 6 bulan hingga 2 tahun untuk mendekomposisi produk tersebut di industri pengomposan. Dengan kata lain, penggunaan teknologi pengomposan pun tetap membutuhkan waktu beberapa bulan. Jika plastik tersebut dibiarkan begitu saja di alam—atau bahkan dibuang sembarangan, maka waktu yang dibutuhkan untuk dekomposisinya tentu akan lebih lama.
Berkenaan dengan itu, Indonesia sendiri masih memiliki pekerjaan rumah tentang pengelolaan sampah. Jambeck, dkk. (2015) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia. Sampah-sampah plastik tersebut tentunya tidak langsung dibuang ke laut, melainkan pada aliran-aliran air yang dekat dengan masyarakat seperti selokan, kali, dan sungai. Jika kebiasaan tersebut tidak bisa dihentikan, penggunaan plastik ramah lingkungan pun sama saja.
Akhirnya, plastik ramah lingkungan sekali pun tetap akan mengotori dan mencemari lingkungan dan alam jika masyarakat tidak bijak dalam menggunakannya. Istilah “ramah lingkungan” pada bioplastik tentu tidak berarti ia akan hilang dalam waktu yang singkat ketika bersentuhan dengan alam. Bioplastik sendiri memiliki berbagai variasi dan sifat yang berbeda-beda. Kehadirannya memang membantu menyelamatkan alam dari sampah plastik sintetis namun bagaimana pun kesadaran kita untuk bijak dalam menggunakan plastik dan membuang sampah tetap mesti menjadi yang utama.[]
Discussion about this post