Kucing Pembawa Hikmah
Cerpen: Annevi Dhora Royenza
“Kucing…?. Lagi…?” Bisikku dalam hati.
“Iya, Mi, kucing kecil…” tambah Niya si adik.
Mereka berebut untuk berbicara padaku.
“Itu…kucingya kecil-kecil, Mi..”Hanif kembali menambahkan.
“Hah…kecil-kecil..?”
“Berarti kucingnya lebih dari satu..?” tanyaku sambil menebak.
Sebenarnya sudah sering sekali kucing-kucing terlantar dibawa oleh anak-anak ke rumah. Yang terakhir yaitu seekor kucing berbulu oranye. Datang dalam keadaan yang sangat memilukan. Badannya kurus kering, tulang-tulangnya tampak menonjol dibalik bulunya yang berwarna oranye dan yang lebih kasihan lagi dia mengalami diare parah. Sungguh malang nasib Si Mio, begitu kami memanggilnya. Si abang Danish langsung jatuh kasihan melihathya. Dia terus memberinya makan. Bahkan Ayah membawanya ke dokter dan membelikannya sebuah kandang, biar dia tidak berkeliaran dan makan sembarangan. Alhamdulillah, sekarang dia sudah sehat dan tumbuh besar.
Kami berusaha untuk merawat sebisanya, kebanyakan kucing-kucing itu akhirnya mati karena terlalu lemah saat dipisahkan dari induknya.
“Gimana , Mi…Kita ambil kucingnya ya, Mi..” rengek Hanif membuyarkan pikiranku yang melayang memikirkan kucing-kucing yang dulu.
“Iya…tapi…..”
Belum selesai kalimat meluncur dari mulutku, tiba-tiba si abang Danish muncul dan menghentikan pembicaraan kami.
“Mmm…Kucingnya sudah diambil, Nif” jelas si Abang.
“Siapa yang ambil, Bang..? tanya Niya penasaran.
“Siapa lagi kalau bukan Akbar dan Alfi..” jawab Abang sedikit kecewa.
Kedua anak itu memang suka sekali menganggu kucing atau memainkan anak kucing seperti boneka.
“Padahal aku yang mau mengambil kucing-kucing itu, tapi aku mau ijin sama Ummi dulu, malah mereka yang ambil..” wajah Hanif tampak kecewa.
“Memangnya mereka bisa merawat anak kucing itu?” tanya Hanif.
“Entahlah, Nif. Apalagi kucing kecil, belum tentu mereka tahu bagaimana cara merawat anak kucing. Mereka cuma bisa memainkan kucing saja, lehernya mereka ikat pakai tali, biar mereka nggak kemana-mana katanya. Kasihan sekali Abang melihat kucing kecil itu.” terang Abang Danish.
“Niya juga kasihan melihat mereka ditarik kesana kemari oleh dua anak itu” Tambah Niya .
Raut wajah anak-anakku tampak begitu muram memikirkan nasib si kucing kecil yang bakal tersiksa karena dimainkan oel anak-anak itu.
“Terus gimana ,Mi?” desak Hanif yang belum puas tentang kucing itu.
“Ya… mau bagaimana lagi, nak. Mereka sudah mengambilnya duluan. Masa kita harus bertengkar gara-gara rebutan kucing..?” jawabku menenangkannya.
“Tapi kucingnya bisa tercekik nanti..” protes Niya.
“Sudahlah, Nak. Do’akan saja semoga kucingnya baik-baik saja bersama mereka..Ya.” jawabku kembali menenangkan mereka.
“Yuk, sekarang kita mandi dulu, sudah sore nih” bujukku, sambil merangkul mereka ke belakang.
“Meong..meong….meong.”
“Waduh…kucing dari mana lagi, nih,” pikirku.
Tiba-tiba Abang Danish masuk sambil menggendong kucing kecil ke dalam rumah.
“Tadi aku bujuk si Akbar, Mi. Biar dia mau beri kucingnya ke aku.” Jelas Danish.
“Aku bilang ke dia, biar abang yang rawat kucing kecil ini, kalau Akbar mau main sama kucing ini, beri tahu abang ya, akhirnya dia mau, Mi.” Si Abang tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengambil kucing kecil itu. Hanif ikut senang ketika tahu kucing itu berhasil diambil dari anak-anak itu.
Dengan sigap Abang Danish memasukkan si kucing ke dalam kandang yang telah dialasi kain tebal, meletakkan bak pasir dan wadah kecil berisi air bersih. Si kucing tampak nyaman dengan kandang barunya. Dengan telaten dia memberi makan dan membersihkannya.
Si kucing tampak sudah mau mencicipi makanan basah yang diberikan. Jadilah malam itu si kucing tidur di dalam kandang dan kandangnya dimasukkan ke dalam rumah biar dia tidak kedinginan. Di tengah malam, kucing itu mulai mengeong-ngeong dengan kerasnya, mungkin masih teringat induknya. Keesokan harinya si kucing tampak tenang di kandangnya. Ketika diberi makan dia sudah tak mau makan lagi.
“Ummi, kenapa kucingnya jadi nggak mau makan..?” wajah Hanif kembali sedih.
“Sabar ya,nak. Mungkin dia belum lapar atau dia teringat induknya.” Ucapku sambil mengusap pundak Hanif. “Kita sudah berusaha semampunya buat si kucing,”
***
“Ummi..Ummi…!!” suara Hanif mengagetkanku.
“Ada apa, Nak?” sahutku sambil berjalan terburu-buru ke arahnya.
“Kucingnya…Mi” suara Hanif terdengar cemas. Tangannya mengusap-usap si kucing.
“Kenapa kucingnya.?” Tanyaku penasaran.
“Mati….Mi…Hu..hu..hu…” tangisnya pun pecah
Aku coba menggerakkan badan si kucing kecil, rupanya memang sudah tak bernyawa lagi. Niya yang melihat kejadian itu juga ikut-ikut mengusap matanya yang mulai basah. Sementara Abang Danish mengusap lembut tubuh si kucing yang mulai kaku sambil tertunduk sedih. Aku terdiam melihat kesedihan yang bergelayut di wajah anak-anakku.
“Innalillahi wa innailaihi raaji’uun…” ucapku lirih.
“Si kucing sekarang sudah kembali kepada pemiliknya..”
Hanif yang masih belum mampu menghilangkan kesedihannya, tampak tersedu-sedu sambil mengusap air matanya. Begitupun dengan si Abang dan Niya yang ikut larut dalam kesedihan.
“Kenapa sih Mi, kucing-kucing yang kita rawat sering kali mati?” tanya Hanif yang seolah protes dengan kematian si kucing. Aku menghela nafas sambil mencari jawaban.
“Kucing yang sebelum-sebelumnya juga begitu, !” ujar Hanif dengan nada sedikit kesal.
“Hanif kan mau merawat semua kucing-kucing itu ,Mi.”lanjutnya.
“Lho..kan tidak semuanya mati, Nif,” sergahku.
“Buktinya si Putih sampai setahun bersama kita.”
“Tapi akhirnya kan mati juga tertabrak mobil.” Jawabnya di sela-sela tangisnya yang tersisa.
“Dan ingat juga, saat ini kita masih punya Mio kan Nif.” Sambungku membantah ucapannya.
“Iya cuma Mio yang masih hidup, yang lain mati semua..! bantahnya masih belum puas dengan jawabanku.
“Sudahlah ,Nif. Mungkin ini sudah ajalnya si kucing.” Abang Danish mencoba ikut meredam kesedihan Hanif.
“Benar kata Abangmu itu, setiap makhluk yang bernyawa sudah ada waktu ajalnya dan semua itu cuma Allah yang tahu rahasianya, nak.”
Hanif masih sesegukan dan tampak mulai menerima kenyataan kalau kucing itu telah kembali kepada penciptanya.
“Allah Maha Tahu dengan makhluk-makhluk-Nya dan Ia lebih sayang kepada si kucing melebihi sayang kita.”
“Coba Hanif hitung sudah berapa banyak kucing yang pernah Hanif bantu rawat dari dulu.”
“Banyak sekali kan..?
“Kucing-kucing itu pasti sangat berterima kasih sama Hanif, karena sebelum mereka mati mereka sempat merasakan kasih sayang dan kenyamanan dari kita semua.”
“Mudah-mudahan semua itu akan dicatat malaikat sebagai amal kebaikan bagi Hanif, Abang dan juga Niya yang sudah ikhlas menolong makhluk Allah.”
“Jadi tidak ada yang sia-sia, Nak.
“Kalau ada kucing yang butuh makanan atau sakit boleh kok Hanif bantu.” Ucapku sambil mengusap sisa air mata diwajahnya. Dia tampak lebih tenang sekarang.
“Sekarang lebih baik kita kuburkan kucingnya ya,.” Sambungku. mereka bertiga mengangguk setuju.
Lalu Abang Danish segera membungkus tubuh si kucing dengan sehelai kain dan menguburkannya di tanah kosong sebelah rumah diiringi hanif dan Niya.
Selamat jalan kucing kecil, kelak engkau akan bersaksi atas kebaikan hati anak-anak kecil ini.
Pesan Manis Melalui Kisah yang Melibatkan Binatang
Dara Layl
Karya sastra merupakan suatu hal yang diciptakan oleh pengarang dengan menggunakan Hahasa yang estetika. Dalam hal ini pengarang tidak menciptakan karya sastra hanya untuk sebuah nilai estetika melainkan juga untuk menghasilkan nilai-nilai atau pesan-pesan kebaikan yang mengharapkan suatu perubahan dalam kehidupan menuju sesuatu yang lebih baik.
Sejalan dengan itu Handhana (2015) mengungkapan bahwa selain sebagai penghibur sastra berfungsi sebagai media penyampai pesan-pesan dari pengarang kepada pembaca. Karya sastra memiliki tempat tersendiri bagi pembaca dan bisa dinikmati oleh semua kalangan baik dari kalangan anak-anak, remaja, hingga lanjut usia.
Pada edisi minggu ini Kreatika menampilkan sebuah karya sastra berupa cerpen yang berjudul “Kucing Pembawa Hikmah” Karya Anne Dhora Royenza. Berawal dari kisah tokoh Hanif seorang anak kecil bersama adiknya Niya yang menemukan beberapa ekor kucing yang masih kecil dan memberitahukan kepada Ibu mereka. kemudian si Ibu atau yang dipanggil “Ummi” mengingat masa lalu mereka yang dulu juga pernah menemukan seekor kucing sakit yang kemudian dicoba untuk dirawat namun pada akhirnya tetap mati.
Kisah ini dilanjutkan dengan, Hanif dan Niya ingin merawat kucing-kucing tersebut, hanya saja tidak jadi karena Abang mereka yang bernama Danish mengatakan bahwa kucing itu sudah dimbil oleh Akbar dan Alfi, dua anak yang terkenal suka mempermaikan kucing seperti boneka.
Akhirnya Danish membujuk Akbar untuk memberikan kucing itu dan Akbar mau memberikannya sehingga kucing itu bisa dirawat oleh keluarga Danish, namun pada akhirnya kucing yang dirawat itu tetap mati.
Cerpen “Kucing Pembawa Hikmah” sangat dekat dengan sastra anak. Dimana sastra anak merupakan salah-satu genre karya sastra yang dapat menumbuhkan minat baca dan menuntun anak sedini mungkin untuk terbiasa membaca dan dan mempunyai literasi.
Rumidjan (2013) mejelaskan bahwa sastra anak adalah karya imajinatif dalam bentuk Bahasa yang berisi pengalaman, perasaan dan pikiran anak yang khusus ditujukan bagi anak-anak maupun pengarang dewasa. Topik sastra anak dapat mencakup semua yang dekat dengan dunia anak, kehidupan manusia, binatang, tumbuhan dan mengandung nilai-nilai pendidikan, moral, agama dan nilai positif. Sastra anak juga memiliki dua karakteristk yaitu dari segi kebahasaan dan kesusastraan. Dari segi kebahahasaan dapat dilihat dari struktur kalimat, pilihan kata dan gaya Bahasa (majas). Struktur kalimat yang digunakan masih sederhana. Pilhan kata dalam Bahasa anak masih menggunakan kata-kata yang sudaha dikenal oleh anak-anak, nmaun tetap mengandung pesan-pesan kehidupan.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Nurgiantoro (2012) fiksi mengandung penerapa moral, sikap dan tingkah laku para tokoh ssuai dengan pandangan penulis tentang moral.
Cerpen “Kucing Pembawa Hikmah” adalah subuah cerpen yang memiliki kisah yang sederhana tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Terutama jika dibaca oleh anak-anak maka akan memberikan pembelajaran untuk lebih menyayangi binatang khususnya kucing yang dekat dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dimana kucing banyak dirawat dan diadopsi oleh manusia ketimbang hewan lainnya.
Ada banyak sekali pesan yang disampaikan oleh penulis selain harus menyayangi binatang terutama kucing tetapi penulis juga ingin menyampaikan bahwa kita harus menyadari bahwa semua yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah, maka kepada Allahlah semuanya akan kembali, tugas kita sebagai manusia adalah menjaga pemberian Allah sebaik-baiknya supaya ketika sudah ada kita tidak banyak menyesal.
Dan penulis juga menyelipkan pesan bahwa tidak ada kebaikan yang sia-sia, semuanya ada nilai di hadapan Allah SWT.
Cerpen ini sangat manis dibaca dan bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Hanya saja di dalam cerpen ini belum terlihat konfiks yang dalam, penceritaan juga terkesan cepat dan terburu-buru, jika ditambahkan dengan kejadian lain yang lebih detail akan menembah keseruan di dalam cerpen ini.
Selain itu, jika melihat bahwa cerpen ini masuk ke salam sastra anak-anak, tokoh Abang Danish kurang sesuai dengan usianya karena dialognya yang seperti diucapkan oleh orang dewasa. Serta masih ada kesalahan penulisan tata bahasa, jika tata bahasa dan penggunaan EYD, tanda baca yang tepat cerpen ini akan semakin bagus untuk dibaca.
Selamat Annevi Dhora Royenza sudah membuat cerpen anak yang sangat manis, ditunggu karya-karya lainnya.
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post