Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Jari-jari manusia ku rasa bahkan mereka punya pikiran sendiri. Mereka bisa melakukan hal-hal tertentu tanpa kita mengajarinya. Dengan jari-jari, manusia merasakan sesuatu (Eka Kurniawan)
Kepribadian menjadi salah satu unsur yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Bahkan penilaian yang diberikan oleh seseorang pada orang lain berdasarkan pada kepribadian yang mereka miliki. Kepribadian dekat kaitannya dengan ilmu psikologi. Psikologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya kepada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Hal ini juga menjadi satu indikator menarik yang tidak bisa dipisahkan dari sastra karena pada dasarnya sastra bergerak dari fenomena yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kepribadian tokoh dalam karya sastra juga menarik perhatian para peneliti sastra yang dikenal dengan ilmu psikologi sastra.
Analisis mengenai psikologi sastra salah satunya dikemukan oleh Jacques Lacan. Lacan adalah seorang psikoanalis yang memiliki fokus mengenai konsep ketidaksadaran yang berarti berlawanan dengan seluruh produksi kesadaran (Noland, 1993). Menurut Lacan, perkembangan kepribadian manusia akan melalui beberapa tahapan yang dikenal dengan tripartite model, yaitu yang nyata (the real), yang imajiner (the imaginary), dan tahap simbolik (the symbolic) (Sarup, 1993: 31-33). Lintasan tahapan tersebut dikaitkan dengan konsep kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire).
Lacan menyatakan hasrat (desire) sebagai konsep sentral dalam pemikiran psikoanalisis. Lacan memahami hasrat sebagai dorongan tak terpuaskan yang mendasari dan menggerakkan individu dalam pencarian kepuasan yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi. Hasrat dalam pemikiran Lacan melibatkan ketegangan antara keinginan individu dan realitas objek yang selalu tidak dapat dipenuhi. Oleh sebab itu, Lacan mengklasifikasikan hasrat pada tahapan simbolik karena pada tahap simbolik individu mulai berinteraksi dengan dunia simbolik melalui bahasa dan tanda-tanda. Kemudian, individu tidak sepenuhnya dikuasai oleh insting-insting biologisnya, tetapi menjadi terlibat dalam pemahaman simbolik tentang keinginan dan kepuasan.
Salah satu penulis Indonesia yang menggambarkan tokoh-tokoh dengan kepribadian menarik dalam karyanya adalah Eka Kurniawan yang lahir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 28 November 1975. Ia merupakan alumni dari jurusan Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Beberapa karya Eka Kurniawan adalah Cantik itu Luka, Lelaki Harimau, Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya, Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, O, dan sebagainya.
Salah satu cerpenya yang menarik perhatian penulis terkait kepribadian tokoh diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, yaitu cerpen dengan judul Jangan Kencing di Sini. Dalam cerpen ini terlihat ada hasrat tidak terpenuhi yang dimanifestasikan pada tokohnya, yang bernama Sasha oleh Eka Kurniawan. Dalam cerpen Jangan Kencing di Sini digambarkan Sasha yang memiliki butik, tetapi selalu mencium bau pesing setiap paginya. Sasha juga sudah memasang tulisan besar di dinding tokonya, yaitu “Jangan Kencing di Sini” dan ia akan selalu marah kepada Marjan, salah satu karyawannya. Namun, hal ini malah menyebabkan Sasha malas untuk kencing karena teringat bau pesing di depan tokonya, tetapi ketika menahan kencing Sasha menemukan pemenuhan kekosongan hasrat yang dimiliki sebelumnya.
Pada cerpen Jangan Kencing di Sini terlihat ada fantasi yang berbeda yang terjadi pada Sasha. Fantasi tersebut dilakukan untuk mengisi kekosongan yang dia miliki, yaitu berkaitan dengan kehangatan yang kosong ketika berhubungan dengan suaminya. Namun, Sasha mendapatkan kehangatan yang “utuh” ketika dia menahan kencingnya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut,
“Ia tidak kencing. Ia masih menahannya. Otot-otot vaginanya bergerak, mengencang dan mengendur. Ia merasa dirinya terbang, semakin lama semakin melayang tinggi. Napasnya mulai berirama lebih cepat. Ia menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Lalu, ia mendengar dirinya sendiri setengah mendengus. Ia lelah. Ia bersandar ke tabung penampung air di belakang. Tubuhnya terasa lemas. Tak lama kemudian, air kencing tumpah ke lubang kakus.”(Kurniawan; 59)
Dari kutipan di atas terlihat usaha Sasha untuk memenuhi hasrat yang dia miliki dengan cara menghangatkan dirinya sendiri. Hasrat yang dimiliki Sasha hadir karena kekosongan dan ketidaklengkapan yang dia rasakan. Kekosongan yang hadir tersebut sebenarnya hadir karena ada fase permintaan (demand) yang berkaitan dengan desakan simbolik. Dalam pemikiran Lacan, desakan simbolik mengacu pada ketidakpuasan yang selalu ada dalam kehidupan individu. Meskipun individu mungkin mendapatkan kepuasan sementara melalui pemenuhan permintaan mereka, tetapi rasa ketidakpenuhan akan tetap ada. Hal ini, mendorong individu untuk terus mencari kepuasan baru dan mengungkapkan permintaan mereka dalam berbagai bentuk.
Hal di atas terlihat dari pengisian kekosongan yang dilakukan Sasha dengan menahan kencing masih saja tidak memenuhi demand yang dia miliki dengan seutuhnya. Muncul keraguan antara yang realitas dan imajinary. Ia masih mencoba melakukan pemenuhan kepercayaan terhadap kehangatan yang bisa ia dapatkan secara utuh dari suaminya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Sasha menghampiri tempat tidur dan Matta, suaminya, langsung memeluknya. Mencium pipinya dan kemudian bibirnya. Sentuhan bibirnya terasa dingin di pipi dan bibirnya. Tak ada yang istimewa dengan sentuhan itu. Ia bahkkan lupa, apakah pernah di suatu masa sentuhan itu memberinya kehangatan dan sedikit gelora. Barangkali sejak awal, ia tak pernah merasakannya”
Dari kutipan di atas terlihat ada orientasi yang berbeda yang dirasakan oleh Sasha. Dia tidak bisa merasakan apa yang pada umumnya orang lain rasakan. Eka Kurniawan menggambarkan hasrat yang tidak tersampaikan melalui tokohnya dalam cerpen Jangan Kencing di Sini. Eka Kurniawan juga mencoba merepresentasikan permintaan-permintaan yang menurut Lacan berada dalam tahapan The Imaginary, yaitu permintaan yang ada pada diri manusia itu tidak dapat terpenuhi secara seutuhnya. Ketika timbul berbagai permintaan tersebutlah hasrat berada pada tahapan simbolik. Keberadaan antara yang imajiner dan yang simbolik tidak memiliki batas yang jelas. Manusia dianggap selalu berada dalam keadaan lack atau berkekurangan dan hasrat dianggap dapat memenuhi kekurangan tersebut. Namun, kekurangan yang terpenuhi hanyalah sebuah kesemuan karena masih akan terus merujuk pada hasrat yang lainnya.
Discussion about this post