Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Beberapa pekan terakhir, Indonesia diguncang kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo. Viralnya berita tersebut membuat adanya penelusuran yang lebih mendalam terkait latar belakang Mario dan keluarganya yang dilakukan oleh warga net. Berdasarkan penelusuran yang didapatkan, berbagai informasi bermunculan, salah satunya adalah flexing yang selalu dilakukan oleh Mario dan Ibunya. Hal ini tidak menjadi sebuah keheranan karena ayah Dandy merupakan mantan pejabat pajak Republik Indonesia.
Tidak hanya flexing gaya hidup yang mewah yang dilakukan oleh Dandy, warga net pun menemukan flexing yang dilakukan oleh ibu Dandy. Hal ini terbukti melalui foto-foto dengan barang mewah yang diunggah ke Instagram ibu Dandy. Tidak hanya sampai pada kasus Dandy, flexing yang dilakukan oleh pejabat atau keluarga pejabat lain pun muncul, seperti Eko Darmanto sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta yang dibebastugaskan pada 2 Maret 2023; Esha Rahmansah Abrar yang telah dinonaktifkan sebagai Kepala Sub Bagian Administrasi Kendaraan Biro Umum karena istrinya yang pamer kekayaan di media sosial; dan Sudarman Harjasaputra sebagai Kepala BPN Jakarta Timur Sudirman pun dibebastugaskan karena gaya hidup mewah yang dilakukan oleh istrinya.
Pencopotan atau penonaktifan yang dilakukan oleh kepala instansi masing-masing pelaku dapat dikatakan sebagai sanksi dari flexing yang dilakukan oleh dirinya atau keluarganya. Lalu, sebenarnya, apa yang dimaksud flexing sehingga seseorang harus bertanggung jawab jika telah melakukan perbuatan tersebut?
Flexing adalah sebuah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan memperlihatkan atau menunjukkan kekayaan, status sosial, atau kehebatan diri secara eksplisit, biasanya melalui media sosial. Contohnya, seseorang dapat melakukan flexing dengan memamerkan mobil mewah, tas bermerek, pakaian mahal, atau tempat liburan yang mewah melalui foto atau video di media sosial. Dalam konteks sosial media, flexing sering terkait dengan budaya media sosial dan kemampuan untuk memamerkan diri secara online, yang terkadang disebut sebagai “showing off” atau “bragging“. Salah satu platform media sosial yang paling sering digunakan untuk flexing adalah Instagram.
Tindakan flexing seringkali menjadi perdebatan dalam masyarakat karena dapat dianggap sebagai cara yang kurang baik untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain. Beberapa orang mengkritik tindakan flexing karena dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang positif. Flexing di Indonesia juga sering dikaitkan dengan budaya hedonisme dan konsumtif, yang dapat berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial dan lingkungan. Terlebih lagi, flexing sering terkait dengan perilaku yang tidak bermoral seperti menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang-barang mewah, termasuk dengan cara yang tidak sah atau tidak etis.
Namun, di sisi lain, ada juga orang yang melihat flexing sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras dan kesuksesan mereka dalam hidup. Sebagian orang menganggap tindakan flexing sebagai sebuah bentuk ekspresi diri dan kreativitas, bahkan sebagai motivasi untuk meraih sukses yang lebih besar. Di sisi lain, ada juga yang menganggap flexing sebagai bentuk kreativitas dan ekspresi diri, terutama jika digunakan dalam konteks yang positif seperti untuk mempromosikan usaha atau menyebarkan pesan sosial yang positif. Perdebatan terkait dengan flexing tertuang dalam pandangan beberapa filsuf. Walaupun tidak ada konsensus di antara filsuf mengenai flexing, pandangan mereka tergantung pada nilai dan prinsip yang diadopsi.
- Jean-Jacques Rousseau: Rousseau adalah seorang filsuf abad ke-18 yang sangat kritis terhadap budaya konsumerisme. Dia mengkritik tindakan membeli barang-barang mewah sebagai cara untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial. Baginya, flexing hanya akan meningkatkan kesenjangan sosial dan merusak kehidupan bermasyarakat.
- Karl Marx: Marx adalah seorang filsuf abad ke-19 yang menyoroti konflik antara kelompok sosial dalam masyarakat kapitalis. Bagi Marx, flexing dapat dianggap sebagai cara bagi orang kaya untuk menunjukkan keunggulan mereka dan mendapatkan kepuasan dari dominasi atas orang miskin. Flexing dalam pandangan Marx bagian dari sistem ekonomi kapitalis yang menghasilkan ketidakadilan sosial.
- Immanuel Kant: Kant adalah seorang filsuf abad ke-18 yang sangat menghargai kebebasan individu dan martabat manusia. Baginya, tindakan flexing dapat dikritik jika seseorang menunjukkan kekayaannya dengan cara merendahkan orang lain atau memperlihatkan superioritas. Namun, jika flexing digunakan untuk memperjuangkan keadilan sosial atau membantu orang lain, tindakan tersebut dapat dikatakan bermoral.
- Jean Baudrillard: Baudrillard adalah seorang filsuf abad ke-20 yang memfokuskan pada konsep simulasi dan tindakan konsumsi. Baginya, flexing adalah tindakan simulasi di mana seseorang mencoba untuk menunjukkan kekayaan dan status sosialnya melalui barang-barang yang dikonsumsinya. Dia mengkritik fenomena ini karena mengaburkan perbedaan antara realitas dan representasi, serta menghasilkan kesenjangan sosial dan lingkungan yang besar.
Dalam kesimpulannya, berbagai filsuf memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai flexing. Namun, banyak dari mereka menyoroti bahwa fenomena ini dapat memiliki dampak sosial dan moral yang signifikan, tergantung pada cara dan tujuan penggunaannya.
Namun, pada kenyataannya, para pejabat ASN yang melakukan flexing menimbulkan banyak kritik dari masyarakat karena dianggap tidak pantas dan tidak etis bagi pejabat yang seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik. Selain itu, tindakan flexing juga dapat mencederai martabat dan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat negara.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kode etik dan perilaku ASN yang melarang pejabat ASN dari perilaku yang tidak pantas, termasuk flexing. Pejabat ASN yang melanggar kode etik dapat dikenakan sanksi, mulai dari peringatan tertulis, penundaan kenaikan pangkat, hingga pemecatan. Dalam kesimpulannya, tindakan flexing oleh pejabat ASN di Indonesia adalah tindakan yang tidak pantas dan dapat merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Oleh sebab itu, perlu adanya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat untuk mencegah tindakan flexing. Pejabat harus bertindak dengan integritas dan etika yang tinggi. Lalu, bagaimana menurut Anda, apakah pantas Anda untuk flexing?
Discussion about this post