Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Beberapa hari yang lalu, salah satu hal yang diributkan di jagat per-twitter-an ialah terkait seorang ibu yang menyimpan susu kotak di dalam kulkas. Sekilas tidak ada yang aneh dengan hal itu. Hal yang menjadi persoalan bagi netizen, termasuk salah satu anak dari si ibu ialah karena susu tersebut ditempeli kertas bertuliskan “punya mamah”. Sekilas masih tidak ada yang aneh dengan hal itu, setidaknya bagi sebagian orang, termasuk saya.
“Gua tau mama gua suka nyimpen makanan atau jajanannya sendiri di kamar, tiap gua liat gak pernah gua ambil juga makanannya dia. Tapi gua kaget liat kulkas sampe dinamain dan gak Cuma satu. Berasa lagi ngekos,” tulis si anak dengan diakhiri emotikon tertawa lewat sebuah menfess. Maka dimulailah selisih pendapat di kolom komentar antara netizen.
Sebagian netizen menilai tingkah si ibu tidak seharusnya begitu. Bagi netizen yang memiliki penilaian seperti ini, seorang ibu biasanya akan selalu mendahulukan kebutuhan anak. Seorang ibu yang memiliki stok camilan sendiri tergolong hal yang tidak lazim bagi sebagian netizen.
Sebagian netizen lain memiliki penilaian yang bertentangan. Bagi netizen ini, hal yang dilakukan si ibu adalah wajar. Seorang ibu bagi mereka adalah selayaknya manusia biasa lainnya. Seseorang yang memiliki privasi, termasuk soal makanan kesukaan hingga camilan kesukaan yang tidak boleh diambil secara sembarangan, bahkan oleh anak-anaknya sendiri.
Seketika saya teringat beberapa momen dengan ibu saya terkait makanan. Beliau sebetulnya adalah tipikal ibu yang selalu mengalah demi kebutuhan anak-anak, termasuk soal makanan. Ibu sering membiarkan saya memakan camilannya yang saya temukan sengaja ia simpan sekembali bepergian. Ibu selalu bilang, “Makanlah, tidak apa-apa!”
Mengingat itu di waktu sekarang membikin terenyuh. Bagaimana jika makanan itu sangat ibu suka dan sengaja ia simpan untuk dimakan di momen tertentu? Ternyata memang begitu. Kadang ketika membeli es krim dan camilan cokelat, ibu sengaja memakannya di dalam kamar. Kemungkinan karena memang ingin menikmati momen ngemil dengan syahdu tanpa gangguan dari anak-anaknya yang suka minta. Padahal, mereka sudah punya jatah masing-masing. Itu bukan karena pelit atau egois. Setiap orang punya me time walau sekadar ngemil tanpa gangguan sekecil apa pun.
Bila sebagian orang berkata menjadi ibu berarti harus siap mengalah dan mendahulukan kebutuhan orang lain (seperti anak dan suami) maka saya siap. Siap berada di barisan yang menentang pemahaman ini. Masyarakat seperti menetapkan sebuah standar bagi ‘ibu yang baik’ dan ‘ibu yang tidak baik’. Ibu yang rela berkorban demi anak, demi suami, dan demi keluarga akan mendapat label ‘ibu yang baik’ walaupun ia kehilangan dirinya sendiri.
Ibu yang menyimpan camilan di kamar untuk dinikmati sendiri bisa mendapat label ‘ibu yang tidak baik’ karena perbuatannya dianggap tidak sesuai dengan standar. Pada balasan tweet di menfees di atas, tidak sedikit ditemukan komentar yang mengarah ke hal itu. Sebagian komentar bahkan memaki sikap si ibu yang melabeli susu kotak sebagai kepunyaannya.
Padahal, menjadi ibu bukan berarti harus selalu berkorban dan mengalah. Ia tetap punya privasi dan sangat wajar di waktu tertentu menikmati hal-hal yang ia suka. Sebab, itu adalah salah satu cara menjaga kewarasan karena menjadi ibu tidaklah semudah dan seindah standar yang kadung dikonstruksi oleh masyarakat.
Discussion about this post