Oleh: Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom.
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Kriminalisasi sampai saat ini masih menjadi salah satu postingan berita yang menghiasi ragam halaman di media-media. Media konvensional maupun media baru atau media sosial dipenuhi berbagai bentuk kejahatan. Kejahatan dengan mudah ditemukan di berbagai platform media, seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, atau bentuk tindakan kriminal lainnya. Uniknya, berita kriminal tersebut banyak melibatkan anak-anak atau remaja sebagai salah satu aktor tindakan kejahatan. Ada yang menjadi pelaku utama dalam kasus kriminal tersebut namun ada pula yang diajak oleh orang dewasa yang berada di lingkungannya.
Penghujung bulan februari di tahun 2023 ini netizen Indonesia diramaikan dengan pemberitaan pengeroyokan oleh anak seorang pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Jakarta Selatan, Mariyo Dandy Satrio, kepada seorang remaja yang merupakan anak dari pengurus GP Ansor. Dampak berita tersebut adalah fokus masyarakat ternyata tak hanya kepada kronologi dan sebab-akibat dari pengeroyokan. Adapun beberapa hal lain yang disorot oleh media. Salah satunya kekayaan orang tua pelaku yang tidak masuk akal disorot oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. Hal lain yang juga termasuk paling sering menjadi bahan perdebatan di media-media sosial adalah adanya relasi atau kaitan child grooming yang dilakukan oleh si pelaku kepada teman perempuannya yang masih dikategorikan anak-anak karena masih berumur 15 tahun.
Kriminal yang dilakukan oleh anak pejabat Ditjen Pajak ini jadi berkaitan dengan child grooming karena video kasus tersebut tersebar di jagat maya. Pengamat melihat adanya kesenangan dari pihak yang melakukan pengeroyokan bersama perempuan remaja yang merekamnya. Oleh sebab itu, muncullah opini dalam masyarakat. Masyarakat memandang bahwa pelaku telah melakukan child grooming kepada remaja perempuan itu. Child grooming terbentuk melalui hubungan pelaku sebagai pacar dari remaja perempuan tersebut.
Child grooming merupakan sebuah upaya mendekati anak-anak dengan maksud untuk merayu agar mereka mau melakukan kegiatan yang berbau seksual (Gill, A. K, 2015: 34-49). Istilah ini sangat akrab dengan dunia hukum karena child grooming banyak muncul pada kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Child grooming berbeda dengan pelecehan seksual lainnya yang mana korban mendapat tindak kekerasan, seperti ancaman, kekerasan fisik, kekerasan verbal, atau yang lainnya. Pelaku child grooming memiliki strategi dan teknik untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari anak-anak yang menjadi target dengan cara yang sangat halus dan manis sekali. Terkadang, anak-anak yang menjadi korban dari child grooming tidak sadar bahwa mereka menjadi objek pelecehan seksual yang terencana dengan matang.
Tidak adanya paksaan maupun kekerasan secara fisik yang dalam child grooming. Pelaku tidak semata membuat pelecehan seksual. Tindakan yang dilakukan tidak akan menimbulkan kekerasan fisik nantinya. Di dalam child grooming, pelaku biasanya memiliki kesabaran yang lumayan tinggi untuk menunggu momen yang pas membujuk anak-anak terbuai dan tunduk pada mereka. Mereka terkesan tidak terburu-buru untuk melakukan aksi kejahatan pada anak yang diincar. Pada akhirnya, tidak hanya sekadar aktivitas seksual secara fisik, anak-anak tersebut juga dapat dengan mudahnya akan dieksploitasi untuk sesuatu yang mereka butuhkan.
Cara untuk mengetahui apakah seorang anak mendapatkan tindakan child grooming terasa sedikit sulit. Bahkan, terkadang untuk mengetahuinya, mesti ada laporan dari anak atau dari orang tua tentang tindakan pelecehan yang dialami oleh keluarga mereka. Apabila sudah kejadian, hal ini akan membuat trauma yang lebih luar biasa bagi korban karena pelecehan yang mereka alami sangat sulit untuk diidentifikasi. Oleh sebab itu, edukasi mengenai pelecehan seksual jenis ini perlu disosialisasikan secara lebih giat kepada para orang tua.
Halusnya cara para pelaku dalam proses child grooming sangat penting diwaspadai. Para pelaku memiliki komunikasi persuasif yang bagus dengan teknik public speaking yang bagus pula. National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), memandang child grooming sebagai upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan anak-anak maupun remaja sehingga pelakunya bisa memanipulasi, mengeksploitasi, dan melakukan tindak pelecehan pada mereka (Andaru, 2021). Untuk membangun hubungan dengan anak-anak dan remaja, para pelaku biasanya melakukan pendekatan komunikasi dengan sangat bagus dan penuh janji manis. Mereka juga tak enggan memberikan sesuatu kepada anak-anak yang menjadi sasaran pelecehan. Pemberian tersebut dapat berupa uang atau barang yang digemari oleh anak-anak atau remaja.
Komunikasi persuasif menurut Malik (1994) adalah proses komunikasi yang dilakukan oleh seseorang atau komunikator dengan berusaha membujuk orang lain atau komunikan bersikap dan berperilaku seperti yang diharapkan dengan cara mempengaruhi tanpa paksaan. Sepertinya, cara komunikasi bersifat persuasif menjadi trik paling jitu bagi para pelaku child grooming. Perlahan namun pasti, usaha bujukan yang dilakukan oleh para pelaku tanpa adanya paksaan kepada anak-anak membentuk rasa percaya dan kedekatan di antara mereka. Melalui persuasi atau ajakan yang dilakukan berulang-ulang, anak-anak yang menjadi sasaran akan luluh seiring berjalannya waktu.
Terdapat perbedaan komunikasi persuasif antara anak-anak yang masih usia Sekolah Dasar dan anak-anak usia remaja. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang dimaksud “anak” adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Cara berkomunikasi anak usia di bawah 12 tahun dengan usia 18 tahun tentu memiliki perbedaan. Apa yang dibutuhkan oleh seorang anak yang belum beranjak remaja dan anak yang sudah memasuki usia remaja dipelajari betul oleh para pelaku child grooming. Pendekatan yang mereka bangun disesuaikan dengan kebutuhan atas tindak kejahatan yang mereka rencanakan.
Pada dasarnya, tujuan komunikasi persuasif adalah untuk mempengaruhi sikap, nilai-nilai, pendapat, dan perilaku seseorang (Simons, 1976). Komunikasi persuasif sebenarnya dapat digunakan sebagai cara untuk memberikan pengaruh kepada pola pikir, pikiran, dan tindakan orang lain agar menjadi lebih baik menurut si komunikator. Dalam konteks pencegahan child grooming, komunikasi persuasif juga dapat dilakukan oleh para orang tua untuk membentengi anak-anak mereka agar tidak mudah percaya pada orang lain. Komunikasi persuasif yang intensif antara orang tua dan anak agar tidak mudah diajak atau dibujuk oleh orang lain dapat mencegah terjadinya child grooming.
Discussion about this post