Tentang Semesta
Kugores kata demi kata, baris demi baris, bait demi bait
Hanya untuk menuliskan tentang semesta
Banyak yang bilang
Kalau semesta sering tidak adil
Hanya karena mereka tidak pernah mendapatkan apa yang mereka mau
Padahal itu bukan salah semesta
Melainkan salah mereka yang terlalu berharap pada rencana
Karena menurutku semesta selalu adil dan tak pernah salah
Selalu bisa membuat ketenangan
dan keindahan
Aku selalu berpikir dan berharap kalau semesta itu abadi
Walaupun aku tau pemikiranku itu salah
Tapi bolehkah? bolehkah aku terus berharap kalau semesta itu abadi?
Depresi
Terbelenggu dalam suatu tekanan
Tangisan, kekecewaan, kesepian
Tak mempunyai teman
Selalu sendirian jika berjalan
Yang ada hanya keheningan
Keheningan yang tak berguna
Sehingga ingin mengakhiri semuanya
Isak tangis terus melanda
Tidak peduli kapan pun waktunya
Yang ada hanya lara
Tidak dengan harsa
Hanya satu kata yang menjelaskan itu semua
Depresi
Satu kata yang bisa membuat siapa saja mengakhiri hidupnya
Tanpa peduli apa yang menanti di sana
Senja
Aku menggores tinta di selembar kertas
Yang lagi-lagi aku menuliskan tentang senja
Langit jingga yang indah namun hanya muncul sementara
Menikmati mentari terbenam
Menunggu fana merah jambu
Dengan lagu indie yang mengalun merdu
Jika ditanya apa yang kaurasakan saat melihat senja
Jawabannya adalah
Ketenangan, kebahagiaan
Dan waktunya untuk berdoa
Biodata Penulis:
Maulita Dwi Cahya saat ini bersekolah di SMP YPAK PTPN III Gunung Para Kecamatan Dolok Merawan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Penulis termasuk anggota grup asuhan tim inovasi WAPER Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Serdang Bedagai.
Semesta Senja Antidepresi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Kugores kata demi kata, baris demi baris, bait demi bait
Hanya untuk menuliskan tentang semesta
Sebuah puisi akan memunculkan keragaman makna karena setiap pembaca akan memiliki pemaknaan yang berbeda. Alat utama dalam memaknai puisi adalah perasaan. Tarigan (1985) menyatakan satu-satunya tolok ukur dalam memaknai puisi adalah ‘rasa’. Meskipun begitu, untuk memahami puisi perlu dianalisis berdasarkan unsur-unsur pembentuknya baik unsur internal, maupun unsur eksternal. Struktur eksternal puisi terdiri atas imaji, diksi, kata nyata, imajas, dan bunyi, sedangkan unsur eksternal puisi meliputi perasaan, tema, nada, dan amanat.
Pada umumnya menilai puisi dilihat dari isi dan bentuk. Menilai puisi cenderung subjektif. Pradopo (1988: 67) menyatakan bahwa, ”Menilai puisi harus berpegang pada norma-norma yang berlaku. Kekuatan bunyi, larik, dan nilai pikiran pengarang, merupakan norma yang harus menjadi kriteria penilaian”. Ketegasan dalam menentukan norma acuan penilaian sangat dibutuhkan agar nilai kepuitisan tetap terjaga. Menelaah puisi berarti menafsirkan ungkapan seorang penyair. Hal ini dapat dilakukan melalui kajian lapis norma dan pengalaman jiwa. Lapis norma merupakan nilai-nilai yang muncul dari wujud puisi. Lapis norma merupakan kajian yang membahas puisi dari satuan bunyi terkecil hingga penafsiran makna yang implisit, sedangkan pengalaman jiwa terukur dari rangkaian kata.
Sayuti (2008: 3) merumuskan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan aspek bunyi, berisi ungkapan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair dari kehidupannya. Dengan demikin, puisi harus mampu membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Maulita Dwi Cahya. Ketiga puisi pelajar SMP di Kabupaten Serdang Bedagai ini berjudul “Tentang Semesta”, “Depresi”, dan “Senja”.
Puisi-puisi Maulita mengambil objek kehidupan dunia sebagai materi inspirasi. Alam semesta yang selalu terpampang di depan mata adalah sumber inspirasi yang kaya. Kebanyakan pelajar ketika mencoba menulis puisi sering terjebak pada tema romantisme percintaan anak baru gede (ABG) yang sedang bergolak dalam masa pubertas, di samping terperangkap dalam mode puisi-puisi klise puja-puji entah diperuntukan bagi ibu, ayah, guru, atau doa yang semestinya dipanjatkan secara khusuk kepada Tuhan.
Maulita menulis “Tentang Semesta” sebagai kritik terhadap sebagian manusia yang sering berprasangka buruk kepada alam dan menyalahkan kondisi alam yang kadang tidak sesuai dengan harapan mereka. Contoh kecil, ketika hujan turun, banyak orang mengeluh, “Ah, sudah turun pula hujan!”, padahal sesungguhnya hujan adalah rahmat Tuhan yang diturunkan ke bumi. Maulita menulis: ‘Banyak yang bilang / Kalau semesta sering tidak adil/ Hanya karena mereka tidak pernah mendapatkan apa yang mereka mau… // Padahal itu bukan salah semesta/ Melainkan salah mereka yang terlalu berharap pada rencana’. Bisa saja manusia menyusun rencana untuk melakukan ini atau melakukan itu, namun kondisi alam semesta yang di bawah kuasa Tuhan, tentu saja tak bisa dikendalikan manusia. Manusia tidak bisa mengendalikan semesta.
Puisi kedua yang berjudul “Depresi” memang agak ketinggian temanya untuk ukuran anak SMP. Persoalan depresi biasanya milik orang-orang yang mengalami beban psikologis yang berat dan kadang dekat dengan pengalaman traumatis. Bagi Maulita, depresi mucul dalam bentuk ‘Terbelenggu dalam suatu tekanan… / Tangisan, kekecewaan, kesepian/ Tak mempunyai teman/ Selalu sendirian jika berjalan.// Yang ada hanya keheningan/ Keheningan yang tak berguna/ Sehingga ingin mengakhiri semuanya’.
Depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai. Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah dua minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga. Depresi yang dibiarkan terus berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja, gangguan hubungan sosial, hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Penderita depresi sering dihinggapi pikiran picik untuk mengakhiri hidup karena mengira dengan mengakhiri hidup maka berakhir pula segala penderitaan. Oleh karena itu penderita depresi memang perlu ditangani tenaga ahli agar tidak terpuruk ke keadaan yang lebih buruk. Dalam mengobati depresi, psikiater dapat melakukan beberapa cara, yakni melakukan psikoterapi atau terapi psikologis, untuk membantu mengatasi masalah akibat depresi, memberikan obat antidepresan untuk mengatasi depresi pasien, dan menjalani perawatan di rumah sakit jika mengalami depresi yang parah.
Pilihan tema depresi yang diangkat Maulita menunjukkan kepedulian seorang pelajar terhadap lingkungan sekitarnya, sebab persoalan tersebut meskipun kebanyakan dialami oleh orang dewasa yang mempunyai risiko stres tinggi namun juga dapat menimpa anak-anak disebabkan oleh tekanan peristiwa buruk berupa kecelakaan tragis, kekerasan dan penindasan, atau peristiwa traumatis lainnya.
Puisi ketiga “Senja” menawarkan warna yang lebih cerah ceria, ‘Menikmati mentari terbenam/ Menunggu fana merah jambu/ Dengan lagu indie yang mengalun merdu’. Senja selalu menjadi tema favorit penulis. Barangkali karena senja melambangkan dua kepribadian yang menyatu. Siang dan malam, dua kepribadian yang sulit untuk menyatu dan hal ini terdapat dalam diri manusia. Siang diibaratkan sisi positif karena memancarkan penerang dan malam sebagai sisi negatifnya karena bereadaan gelap. Bahkan ada beberapa manusia yang lebih dominan sisi malamnya. Lain manusia lain senja, senja mampu mencampur antara siang dan malam dan menghadirkan keindahan. Senja mampu menjadi penengah antara banyaknya waktu siang dan malam sehingga ia dapat begitu menawan bagi para pemburunya. Selayaknya, manusia dapat menjadikan dua hal tersebut motivasi dalam hidupnya.
Keindahan momen sunset sering membuai orang untuk berlama-lama menikmati masa pergantian siang-malam tersebut dengan duduk-duduk di pantai, di ketinggian bukit, teras kafe, atau tempat lain yang memungkinkan mata menangkap pancaran cahaya jingga senja. Asal tidak lupa diri dan abai pada kewajiban sebagai makhluk Tuhan tentu aktivitas tersebut tidak masalah, seperti kata Maulita: ‘Jika ditanya apa yang kaurasakan saat melihat senja/ Jawabannya adalah/ Ketenangan, kebahagiaan/ Dan waktunya untuk berdoa.’ Berasik-masyuk menikmati kemegahan senja untuk membaca tanda-tanda kebesaran-Nya. Terus menulis, Maulita![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post