Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Film merupakan salah satu produk audio visual yang sangat dekat dengan masyarakat. Jika membahas terkait dengan visual, aspek ini adalah hal yang sangat diperhatikan oleh pembuat film karena dengan adanya ketelitian dan persiapan yang matang akan memproduksi karya sinematik yang baik. Sebelum lebih jauh membahas terkait visual dalam perfilman, dunia perfilman memiliki istilah yang disebut mise en scene.
Mise en scene dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang terlihat kasatmata di layar. Mise en scene dapat dikatakan juga sebagai sesuatu yang mampu membangun pemahaman atau interpretasi penonton terhadap film yang ditonton. Sebenarnya, mise en scene dapat dipahami sebagai komunikasi konkret dari bahasa dalam perfilman. Lebih jauh, mise en scene, sebuah tindakan meletakkan sesuatu yang di dalam peristiwa yang dibuat (staging on action). Selain itu, mise en scene sangat penting untuk sebuah film karena mengandung unsur setting, lighting, kostum dan make up, serta ekspresi dan gerak figure. Satu kesatuan mise en scene merupakan hal yang penting sebagai penyampaian tampilan yang ingin disampaikan oleh tim produksi. Tidak hanya itu, peran penting mise en scene dalam sebuah film harus mampu membongkar ideologi atau hal lainnya yang ingin ditampakkan oleh sutradara dan tim melalui karyanya.
Berbincang mengenai film-film yang sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat atau sedang memiliki daya tarik tinggi, film bergenre horor adalah genre yang paling diminati. Hal ini berdasarkan data yang dihimpun dari Filmindonesia.go.id (Oktober) telah merilis adanya 15 film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan penonton pada tahun 2022 berdasarkan tahun edar film. Film-film tersebut adalah KKN Desa penari, Pengabdi Setan 2: Communion, Miracle in Cell No. 7, Ngeri-Ngeri Sedap, Ivanna, Sayap-sayap Patah, Mencuri Raden Saleh, Kukira Kau Rumah, The Doll 3, Kuntilanak, Dear Nathan: Thank You Salma, Mumum, Gara-Gara Warisan, Menjelang Magrib, dan Teluh (2022).
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa adanya 8 film Indonesia (KKN Desa penari, Pengabdi Setan 2: Communion, Ivanna, The Doll 3, Kuntilanak, Mumum, Gara-Gara Warisan, Menjelang Magrib, dan Teluh) yang laris di pasaran adalah film horor. Sambutan meriah tersebut harus dapat diterjemahkan oleh para pihak terkait untuk menganalisis daya minat masyarakat terkait dengan industri kreatif dalam perfilman.
Film bergenre horor yang diproduksi di Indonesia dapat dikatakan sebagai representasi masih melekatnya kepercayaan hal mistis atau gaib yang tumbuh subur di Indonesia. Mungkin, jika kita meminjam istilah dari dikotomi Barat dan Timur, hal tersebut akan memberikan penjelasan signifikan posisi perfilman Indonesia saat ini melalui film-film yang mendapat sambutan meriah dari masyarakat.
Hal ini dapat dilihat melalui representasi yang disampaikan dalam film. Sebelum lebih jauh, kita harus memahami terlebih dahulu terkait representasi. Representasi merupakan konsep identik dengan penggambaran seseorang ataupun kelompok tertentu yang menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi ini dapat dilihat dari adanya mise en scene dalam sebuah karya. Melalui delapan film horor yang mendapatkan ketertarikan yang tinggi dari masyarakat, film ini mampu untuk memberikan pandangan bahwa adanya ketertarikan tinggi dari masyarakat terhadap film-film horor. Dapat diterjemahkan bahwa genre yang diminati oleh masyarakat saat ini adalah genre horor. Genre dapat dipahami sebagai sebuah struktur, bersifat dinamis dan dapat berubah-ubah. Salah satunya karena berkembangnya kondisi masyarakat yang ada (Lacey dalam Permana, 2014).
Jika kita menilik sejarah perfilman Indonesia, pada masa periode sebelumnya (1970–1980), beberapa ciri dan ikonografi masih digunakan oleh film pada periode pascareformasi. Salah satunya adalah penggunaan hantu-hantu lokal yang khas Indonesia. Hantu-hantu tersebut seperti pocong, kuntilanak, genderuwo, dan lain sebagainya. Meskipun memiliki beberapa persamaan, film horor dalam periode pascareformasi memiliki ciri estetik dan naratif yang sangat berbeda dengan film horor pada periode sebelumnya–film horor pada periode 80-an (Permana, 2014). Hal ini pun tetap sama dengan masa kini terkait dengan film horor Indonesia yang masih menggunakan hantu-hantu tersebut untuk memberikan efek seram walaupun pada film lainnya menggunakan boneka, seperti pada Ivanna dan The Doll atau makhluk mistis seperti hantu Sinden dalam KKN Desa Penari.
Jika dilihat dari mise en scene yang ada di Indonesia yang diasosiasikan dengan genre horor, kedelapan film tersebut menggunakan makeup, lighting, dan teknik pengambilan gambar untuk mengungkapkan keseraman dalam narasinya. Secara dominan, heavy makeup digunakan oleh kedelapan film untuk menciptakan tampilan seram yang diterjemahkan melalui hantu atau luka yang berdarah-darah.
Kesimpulannya adalah adanya peran penting mise en scene dalam sebuah perfilman sehingga diperlukan persiapan yang matang dan observasi yang tepat untuk keseluruhan tampilan sebelum melakukan shooting. Selain itu, berdasarkan data dari Filmindonesia.go.id, film yang laris manis di Indonesia saat ini adalah yang bergenre horor. Tentunya, melalui genre ini, tim produksi melakukan persiapan matang untuk membuat mise en scene yang baik dengan menggunakan tampilan aktor atau artis yang menjadi hantu atau hal penting yang menjadi fokus utamanya. Intinya, mise en scene sangat membantu menerjemahkan bahasa abstrak menuju konkret untuk mampu dinikmati dan dipahami pesan yang terdapat di dalamnya.
Discussion about this post