Cerpen: Nayla Anakamiko
“Kupikir aku telah mengenalmu,”
Sebelas tahun bukan waktu yang sebentar. Aku telah mengenalnya selama itu. Ia adalah salah satu warna dalam kanvas kehidupanku. Ada kalanya kami berselisih pendapat. Menyebabkan pertengkaran kecil yang bisa saja meledak menjadi masalah besar. Ada kalanya kami kompak berbuat onar dan membuat keributan. Kenakalan yang mempersulit orang tua kami, benar-benar bukan suatu teladan. Namun, itu adalah warna yang menjaga dunia kami tidak monoton.
Namanya Bahasa. Dia adalah adik kecilku yang sebulan lagi akan merayakan ulang tahun ke sebelas. Meskipun begitu, aku akan selalu melihatnya sebagai adik kecilku. Sementara itu, bulan ini adalah ulang tahunku.Tahun ini sedikit berbeda dari ulangtahun sebelum-sebelumnya. Ketika aku berusia satu hingga tiga tahun aku sama sekali tidak mengingat ulang tahunku. Usia empat sampai tujuh tahun, pesta ulang tahunku seperti anak-anak pada umumnya. Aku mengundang banyak teman, mempersiapkan bingkisan semalam sebelumnya dan tentu saja ada banyak kado menantiku di hari ulang tahun.
Ketika berusia delapan tahun, tidak ada lagi pesta dengan banyak undangan. Aku merayakan ulang tahun hanya bersama keluarga dan teman yang benar-benar dekat saja. Saat itu, pesta ulang tahunku digabung saja dengan adikku sebulan setelahnya. Itu masa-masa dan kesempatan untuk adikku. Bahkan seringkali kado ulang tahunku dari mama dan papa ditunda hingga adikku ulang tahun agar diberi bersamaan.
Tapi tahun ini berbeda. Karena Bahasa yang paling pertama memberi kado untukku.
Bisa dibilang aku terkejut. Itu diluar dugaanku. Aku hanya menunggu kado dari mama dan papa. Setiap tahun juga aku dan Bahasa tidak pernah saling memberi kado ketika ulang tahun. Kali ini Bahasa justru menggunakan tabungannya untuk membeli hadiah ulang tahun.
“Apa isinya, Sa?” tanyaku.
“Buka saja,” jawab Bahasa.
Aku membuka bungkusan itu. Tidak butuh waktu lama, aku segera mengetahuinya. Dua buah novel. Rupanya adikku ini benar-benar mengenalku. Tentu saja, memangnya siapa yang tidak tahu tentang kesukaanku membaca?
“Ya ampun, makasih banyak Sa,” kataku tulus.
Sayangnya Bahasa langsung menginterupsi suasana haru penuh ketulusan itu.
“Jangan lupa kado ulang tahunku bulan depan ya, kak,” ujar Bahasa dengan senyum manis.
Tentu saja, air susu tidak boleh dibalas air tuba. Kesal sih, meski Bahasa mengatakannya seolah peringatan, tetapi perkataan itu jelas tuntutan. Berhubung aku sedang baik dan tidak perhitungan di hari ulang tahunku ini, aku balas bertanya, “kamu mau hadiah apa, Sa?”
“Tidak seru kalau begitu. Tidak jadi kejutan nanti,” balas Bahasa.
“Eeh, tapi nanti kakak beli hadiah kamu tidak suka makanya kakak tanya dulu sekarang,” balasku.
“Kakak ini seperti tidak kenal aku saja. Kakak pasti tahu apa yang kuinginginkan ataupun apa yang aku tidak suka,” ujar Bahasa.
Kami berbagi ruangan yang sama setiap malam. Kami selalu saling berbagi cerita menjelang tidur. Sebelas tahun di bawah atap yang sama dan kini kenyataan menyadarkanku.
Kupikir aku yang paling mengenalnya. Kupikir aku tahu segalanya tentangnya.
Namun kini justru aku yang kebingungan. Hanya untuk memilih hadiah ulangtahun.
“Apa kamu punya saran, Math?” tanyaku pada teman masa kecilku.
“Kamu bertanya pada orang yang salah,” balasnya.
“Habisnya, ini sesuatu yang terlalu aneh untuk dijadikan sebagai masalah rumit, tapi bagiku ini rumit. Merusak harga diri sebagai kakak,” ujarku.
“Aku anak tunggal,” komentar Math.
“Iih, masa iya kamu tidak paham sama sekali dengan perasaanku sebagai seorang kakak. Pasti kamu juga setidaknya punya adik sepupu,” kataku.
“Aku-“
“Jangan bilang kamu cucu paling bungsu!” interupsiku langsung. Memang bicara sama Math itu tidak ada gunanya. Tetapi hanya dia yang bersedia mendengar permasalahan tidak pentingku.
Math menghela napas panjang. “Belikan payung kalau begitu,”
“Hah? Kenapa payung?” balasku.
“Kan kemarin-kemarin kamu cerita, kamu meninggalkan payung adikmu di sekolah dan hilang. Ya sudah, ganti saja payung yang hilang itu,” kata Math.
“Ups, aku bahkan lupa memberitahunya kalau aku menghilangkan payungnya,” jawabku.
“Tapi, tapi, tapi kan … Kayaknya dia tidak mengharapkan itu deh. Kalau dia tahu payungnya hilang pasti dia minta ganti rugi diluar hadiah,” kataku.
“Menurut perhitunganku lebih baik kamu tidak beritahu dia, terus hadiahkan payungnya dan bulang maaf. Dengan begitu dia tidak akan menuntut ganti rugi payungnya lagi dan hadiah ulang tahunnya kelar,” kata Math.
“Kamu terlalu perhitungan.”
“Terserah padamu lah. Harusnya kamu yang paling tahu apa yang diinginkannya. Toh kamu yang tinggal seatap dengannya,” ujar Math.
Hingga tiba hari ulang tahun Bahasa. Aku masih tidak punya ide yang lebih baik dibanding saran Math. Akhirnya aku benar-benar memberi payung sebagai hadiah ulang tahun Bahasa. Tentu saja adikku itu langsung bisa menebak.
“Jadi kakak yang menghilangkan payungku?” katanya.
“Kan sudah diganti nih,” balasku.
“Haaah, pokoknya ini masuk hitungan ganti rugi, bukan hadiah,” kata Bahasa.
“Oke sih, tapi kamu pengennya hadiah apa?” tanyaku.
“Kakak pasti tahu. Jangan pura-pura tidak tahu,” balas Bahasa.
Dan aku masih tetap bingung. Aku tidak tahu apa yang Bahasa inginkan.
Dear Bahasa …
Kupikir aku telah mengenalmu …
Namun, meskipun sebelas tahun berada dibawah atap yang sama, aku masih tidak mengerti kamu sepenuhnya.
Discussion about this post