Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom.
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Pesta demokrasi di bumi nusantara semakin dekat dan membawa nuansa panas dingin yang silih berganti. Para pelaku politik mulai gencar menunjukkan eksistensi diri untuk menyambut kemenangan yang entah terwujud atau tidak. Ada yang berjuang dengan membawa bendera partai di pundak dan punggung mereka. Namun, ada pula yang diperjuangkan oleh partai politik agar berada di sisi mereka ketika hari itu tiba. Sepertinya persiapan perang para sosok yang akan berperang di panggung politik nanti akan semakin membara lagi seiring semakin dekatnya waktu untuk mengambil hati masyarakat.
Kontestasi politik yang berada di depan akan sangat menarik perhatian masyarakat karena menyajikan drama yang luar biasa untuk memperebutkan tahta pimpinan tertinggi di negara ini. Siapa berteman dengan siapa, siapa berkonco dengan siapa, dan siapa yang berbisik kepada siapa pun sudah mulai terdengar ke telinga publik. Setiap puak tentu saja harus pintar melirik kemana arah angin segar condong. Sedikit saja meleset, kesempatan untuk minum kopi di dalam istana akan hilang begitu saja. Dan pada akhirnya jarum pada jamlah yang akan membunyikan lonceng kapan pertunjukan ini akan berlangsung.
Menjelang perhelatan akbar perpolitikan di negara berkembang namun tak kunjung maju ini dimulai, nama-nama masyhur sudah mulai dikumandangkan pada semua kaum. Mulai dari yang kini masih menjabat sebagai kepala daerah, yang lagi duduk di kursi menteri, hingga pemegang tahta legislatif sudah bermunculan di lembaga-lembaga survei. Dalam rentang waktu yang tak terlalu lama, nama-nama mereka silih berganti berada pada elektabilitas tertinggi menurut beberapa lembaga survei. Begitulah rutinitas yang terjadi beberapa periode belakangan pada kegiatan yang diberi nama sebagai pesta demokrasi ini.
Demokrasi menurut Munir Fuady dalam buku Konsep Negara Demokrasi (Fuady, 2010: 2) adalah suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara dimana warga negara secara memiliki hak, kewajiban, kedudukan, dan kekuasaan yang baik dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara, di mana rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan, baik secara langsung misalnya melalui ruang ruang publik (public sphere) maupun melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan semata-mata untuk kepentingan rakyat sehingga sistem pemerintahan dalam negara tersebut berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk kepentingan rakyat (from the people by the people to the people). Secara harfiah, konsep ini sangat bagus untuk semua negara yang menyadari bahwa keinginan dan kebutuhan itu datang dari rakyat. Namun, dalam praktiknya, setidaknya pada pemerintahan sekarang, belum tampak raut wajah kepuasan datang dari rakyat setiap ada kebijakan penting yang dibuat oleh pemerintah. Terkecuali lembaga-lembaga survei.
Makna demokrasi dalam istilah pesta demokrasi sebenarnya sangat dalam. Pada konsep negara demokrasi, yang berpesta di sini seharusnya adalah rakyat. Rakyat yang menentukan sistem pemilihan seperti apa yang mereka butuhkan, bagaimana kandidat yang mereka inginkan, dan apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah dalam mempersiapkan pesta yang akan mereka rasakan nanti. Meskipun sejak tahun 2004 masyarakat sudah merasakan yang namanya pemilihan umum. Mereka diberi kesempatan untuk memilih siapa yang berhak atau tidak berhak duduk di kursi legislatif dan eksekutif, tapi demokrasi sepertinya tidak hanya sampai pada taraf tersebut. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang mengatakan bahwa jalannya demokrasi di bumi nusantara sudah sejalur dengan konsepnya, mungkin itu hanya sebahagian kecil karena terlalu banyak tulisan-tulisan, baik artikel ilmiah ataupun pemberitaan di berbagai media massa yang masih mempertanyakan hal tersebut.
Pudarnya kata demorasi tidak hanya ada pada jalannya pemerintahan maupun pesta politik di negara ini. Ada beberapa golongan, kaum, atau puak yang memberi label demokrasi pada bendera mereka. Ibarat seorang anak manusia yang baru lahir ke dunia tentunya diberi nama kepada mereka sebagai doa yang baik agar anak-anak tersebut kelak bertingkah laku sesuai namanya. Ibarat seorang anak manusia, ada di antara mereka yang tak peduli apa makna dari namanya dan menjadikan nama tersebut hanyalah sebagai pemberian orang tua saja. Kira-kira hal itu juga yang terjadi pada puak yang bernama demokrasi ini. Filosofi yang begitu indah mereka sandang namun tidak pada implementasinya.
Para penikmat politik atau orang-orang yang senang mengikuti berita politik yang disiarkan di media massa pasti banyak mencermati para pimpinan dari suatu golongan yang punya nama demokrasi. Mereka tidak mengaplikasikan demokrasi pada kelompoknya. Ada istilah hak prerogatif keluar di saat tokoh idaman masyarakat yang berasal di tempatnya mendapat banyak dukungan dibandingkan siapa yang ia bolehkan untuk maju bersama rombongan mereka. Hak prerogatif secara historis dan sebagai sebuah fakta aktual, tampaknya tidak lain hanyalah residu dari kewenangan diskresi yang dimiliki Raja atau Ratu (Dicey, 2007: 454). Itu menandakan bahwa puak bernama demokrasi ini masih bernuansa seperti kerajaan yang mana keputusan dan kewenangan ada di tangan Raja atau Ratu, bukan di tangan rakyat.
Sebagai sebuah puak di mana mendapat hak untuk menjadi kendaraan bagi pemuda atau pemudi bangsa berjalan ke singgasana negara, tentu juga perlu memperhatikan bagaimana pola komunikasi politik. Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Meriam Budiardjo (1982) bahwa memahami komunikasi politik sebagai salah satu fungsi partai politik, yaitu meyalurkan beragam pendapat dan aspirasi masyarakat serta mengaturnya sedemikian rupa untuk di perjuangkan menjadi kebijakan politik. Orang-orang yang bergerak dalam bidang politik sudah seharusnya meresapi seperti apa menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat agar masyarakat puas dan percaya kepada mereka. Hal ini berbeda dengan pimpinan daerah yang bisa maju maju lewat jalur independen tanpa label partai. Menjadi seorang pemimpin negara yang bernama Indonesia hingga saat ini masih harus melalui pilihan dari puak-puak yang bergerak di bidang politik.
Meskipun waktu terus berjalan dan semakin dekat dengan pesta demokrasi yang akan dinikmati oleh pemuda-pemudi negeri ini, akan selalu ada waktu untuk berbenah untuk berdemokrasi. Ada banyak sekali peluang dan kesempatan untuk merancang komunikasi politik yang bagus sehingga rakyat memahami bahwa mereka juga punya andil dalam setiap perhelatan politik. From the people by the people to the people. Jika negara ini memang sebuah negara demokrasi, berikan panggung demokrasi ini sepenuhnya pada rakyat. Jangan berikan makna kelabu pada demokrasi karena kata demokrasi sudah terlanjur diagungkan di negeri ini.
Discussion about this post