NOVEL KOSONG
Cerpen:
Afrizal Jasmann
Hari masih pagi. Pancaran sinar matahari belum terik ketika Ivan datang tergesa-gesa ke ruang kerjaku. Sebuah ruang ukuran empat kali tiga yang dipenuhi serakan kertas dan tumpukkan buku-buku yang tidak akan pernah tersusun rapi.
“Apa yang sedang kamu ketik?” Tanyanya seperti mengintrogasi.
Aku tidak menjawab dengan kata-kata. Kubiarkan saja ia melihat sendiri kalau aku sedang berusaha menulis sebuah naskah yang sebulan lagi akan jatuh tempo untuk diterbitkan sebagai utang kontrak dengan penerbit.
“Aku ada ide!” Ucapnya tegas sembari menyodorkan secarik kertas yang berisi tulisan kecil-kecil seperti rumus contekan masa sekolah dulu. Aku mengambil secarik kertas berlipat empat itu. Memang ditulis tangan sangat kecil-kecil sekali.
“Ini azimat apa?” Tanyaku bergurau namun dengan mimik wajah serius.
“Baca dulu…,” Bujuk Ivan.
“Bagaimana aku bisa membaca tulisan sekecil itu. Lagipula kenapa harus ditulis kecil-kecil segala?”
“Ini adalah rahasia…,” ucapnya pelan nyaris seperti sebuah bisikan mengandung mantra. Reflek aku memperhatikan kesegala arah.
“Apa ada orang yang datang bersamamu?” Tanyaku pula persis seperti ekspresi yang ia tampilkan.
“Tidak. kenapa?” Tanya Ivan.
“Bagaimana kalau ada orang yang tahu?” Jawabku sembari menutup gorden jendela ruangan itu.
“Ngapain sih kamu nutup-nutup gorden segala?!” Tanya Ivan lagi. Heran. Kali ini dengan suara normal.
“Katamu ini rahasia. Tentu saja kita harus menutup diri agar tidak ada orang yang tau.”
“Ga gitu juga kali.”
“Nah, lalu gimana?” Tanyaku berlagak bingung sembari kembali membuka kain tipis penutup jendela itu. Dalam hati aku ingin tertawa ngakak menghadapi lakon ini, tapi sampai sekarang aku masih bisa menahan diri agar Ivan tetap pada semangatnya itu. Ivan, pemuda dua puluh lima tahun yang bernama lengkap Taufan Himawan itu seorang penulis cerita remaja, sama sepertiku yang telah menerbitkan beberepa novel untuk pembaca kelas menengah. Ivan apabila sedang bersemangat, ia akan mau melakukan apa saja. Asalkan kita tidak membantah ide-ide dan rencananya. Perbanyak kata setuju dan sesekali katakan ia hebat. Maka segala kesulitan akan lewat.
Bukankah itu jahat? Menipu seseorang dengan mengatakan sesuatu tidak sebenarnya. Tidak. Ini tidak lama. Hanya sebentar, saat ia sedang bersemangat itu saja. Nanti setelah tensinya turun, ia akan menemukan sendiri di mana letak plus minus ide-idenya itu dan saat itulah tukar pikiran yang sebenarnya terjadi.
“Jadi, apa idemu itu?” Tanyaku kemudian setelah memencet “control S’ di kibor leptop dan melipat bilah layarnya.
“Novel kosong,” jawab Ivan kembali seperti sedang membaca mantra. Aku tidak mengerti maksudnya. “Apa judulnya novel kosong?” Tanyaku.
“Bukan. Benar-benar sebuah novel kosong. Sebuah novel setebal 200 halaman. Kosong.” Jawab Ivan detail. Entah apa yang aku bayangkan seketika. Aku benar-benar tidak mengerti.
“Ngerti?” tanya Ivan.
“Tidak.”
“Berarti aku benar,” tanggap Ivan sembari menyalamiku penuh semangat. “Artinya ini adalah sebuah ide yang original. Sangat orisinil. Belum ada sebelumnya. Akulah yang pertama melakukannya.”
“Maaf, aku masih benar-benar tidak mengerti. Coba ceritakan lagi apa, bagaimana, dan kenapa dengan idemu itu,” ucapku. Perlahan Ivan mulai bercerita. Ia bernarasi begitu detail dari awal hingga akhir tanpa jeda. Semangatnya masih seperti semula. Seakan yakin bahwa idenya itu benar-benar hebat.
“Jika hanya berupa novel kosong setebal 200 halaman, lalu apa yang hendak kamu jual?”
“Ya, sebuah ide. Konsep. Sesuatu yang belum pernah dijual orang. Orisinalitas. Sesuatu yang fresh,” jawab Ivan yakin.
“Apakah kamu pernah menbayangkan gimana perasaan pembaca ketika tahu novel yang ia beli hanya berupa lembaran kosong sebanyak ratusan halaman?” tanyaku kemudian. “Mereka akan kecewa dan bisa-bisa kamu terlibat pasal penipuan.” Sambungku segera sebelum Ivan sempat menjawabnya. Terus terang, kali ini aku tidak bisa menunjukkan kata setuju pada Ivan. Apalagi mengatakannya hebat.
“Ini karya sastra, Doni. Bukan penipuan. Kamu harusnya setuju dengan kehebatanku, Don.” Jelas Ivan berusaha meyakinkanku. Tiba-tiba saja aku ingin tertawa ngakak melihat ekspresi kali ini. “Baiklah, lalu gimana kalo ga ada yang beli?” Tanyaku kemudian. Berusaha melunak.
“Aku yakin ada.” Ivan merasa di atas angin lagi. Keyakinannya sudah sampai ubun-ubun. Seakan dunia sudah di tangannya. Dalam keadaan seperti ini Ivan sangat keras bagai baja. Ia tidak akan bisa dipatahkan.
“Kamu lihat selama ini novel-novel yang ada hanya berisi cerita yang sudah dikemas oleh penulis dari A-Z. lalu tamat. Pembaca tidak dilibatkan sebagai siapa-siapa kecuali sebagai konsumen semata. Yang mau ga mau, suka ga suka harus menerima jalan cerita, sedangkan novel kosong tidak begitu. Pembaca diberi ‘ruang kosong’ untuk ia masuki dan terlibat di dalamnya.” Jelas Ivan kemudian.
“Bukankah itu lebih tepat disebut sebagai…..” Tanggapku, tapi Ivan segera memotongnya.
“Mereka bebas untuk menentukan jalan cerita dan ending di tangan mereka sendiri. Aku hanya sebatas menyediakan prolog cerita yang aku bikin. Nanti pembaca bisa melanjutkan cerita itu sampai semua halaman kosong itu terisi. Setelah itu, mereka kirimkan lagi naskah itu padaku di alamat redaksi,” sambungnya cukup detail.
“Kurasa ini akan mentah. Itu bukan novel, tapi hanya menyediakan lembaran kosong untuk ditulis oleh konsumen. Lalu apa bedanya dengan catatan harian?”
“Beda karena ini bukan catatan harian, tapi sebuah cerita yang sudah ditentukan alurnya.”
“Siapa yang menetukan?”
“Kita sebagai yang punya gagasan.”
“Kalo begitu kenapa tidak kamu tulis sendiri novelnya? Kenapa harus pembaca yang nyata-nyata hanya ingin membaca, bukan menulis?”
“Nah, di sinilah nilai jualnya. Sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.” Jelas Ivan tetap pada pendiriannya. Terus terang aku semakin bingung. Ingin rasanya kubedah kepalanya, lalu kukeluarkan otaknya. Aku ingin tahu apa yang sedang bersemayam di sana sekarang hingga ia berbelit-belit begitu, bahkan lebih jauh aku ingin tahu, hal apa yang membuatnya tiba-tiba punya ide seperti itu. Apakah ada seseorang yang telah mempengaruhinya atau ia kena radiasi zat berbahaya. Ah, sudahlah. Aku rasa tidak. Mungkin ini masih wajar. Ivan hanya sedang ingin menunjukkan eksistensinya sebagai penulis yang punya ide-ide out of the box.
“Apa yang kamu tulis?” Tiba-tiba Ivan bertanya tentang gawean-ku.
“Belum ada tema. Hanya sebatas tumpukan ide-ide,” jawabku seadanya. Kehadiran Ivan telah merusak bagian penting ruang konsentrasiku. Aku jadi tidak punya semangat lagi untuk menulis apa-apa sekarang.
“Gimana kalo kita join?”
“Join? Join soal apa?” Tanyaku pula.
“Kita kerja bareng dalam novel kosong.”
“Duuuh..” Batinku. Beban apa lagi yang akan ia timpakan padaku sekarang. Awalnya, kukira Ivan hanya mengajak diskusi. Nyatanya sekarang mengajak terlibat pula dalam ide-idenya yang belum dapat kucerna.
“Baik, sementara anggap saja konsep ini. Lalu reward apa yang akan kamu kasih buat pembaca? Ga mungkin dong setelah mereka baca konsep kamu. Mereka tulis ceritanya sendiri lalu selesai begitu saja tanpa ada sesuatu yang mereka dapatkan.”
“Oke, pada ujung prolog aku memberi catatan agar mereka dapat menulis sesuai petunjuk. Di sini aku memegang kata kunci seperti apa cerita sebenarnya. Setelah selesai, mereka diminta untuk kembali mengirim novel kosong ke redaksi dan bagi yang paling mirip dengan konsep akan mendapat kesempatan untuk nulis bareng tu novel. O iya pada sampul novel kosong selain ada namaku dan juga ada titik titik buat diisi oleh mereka.”
“Apa lagi selain itu?”
“Mmmmm mungkin liburan bareng, tapi setidaknya mereka sudah diberi kesempatan buat jadi penulis terbitan.”
“Sekarang pertanyaanya; gimana kalau produser nolak?”
“Jika ceritanya bagus, kurasa mereka tidak akan nolak.”
“Maksudku jika mereka nolak konsep novel kosong.”
“Aku masih punya satu jatah judul buat diterbitkan dan aku akan ambil kesempatan itu.”
“Kamu akan buang-buang kesempatan, Van. Bukankah kamu tau kesempatan dari bos sangat langka. Di luar sana banyak yang ingin kesempatan itu, tapi justru kamu sia-siakan.”
“Aku akan mengatasinya. Ini unik.”
***
Entah ajian apa yang digunakannya. Akhirnya, Ivan bisa meyakinkan redaksi untuk menerima ide novel kosongnya itu. Seiring waktu berjalan akhirnya novel itu naik cetak dan disebar ke berbagai toko buku. Sehari dua hari, seminggu dua minggu, bahkan sampai pada hitungan bulan aku dan Ivan terus memantau penjualan buku tersebut. Yang dipantau bukan masalah laris atau tidak laris semata, tapi lebih pada apakah ada kiriman balik dari pembaca yang ikut serta dalam konsep itu.
Aku yang hanya sebatas teman kerja satu redaksi ikut merasa harap-harap cemas. Seharusnya aku bisa tidak peduli, tidak mau tahu, tapi justru semakin waktu semakin terseret jauh kedalam hingga pekerjaanku sendiri sering terbengkalai.
“Aku rasa semua sudah jelas. Tidak ada yang mengirim balik,” ucapku pada Ivan saat kami hendak makan siang dibulan keempat setelah novel itu dilempar ke pasaran.
“Masih ada waktu. Kurasa saat ini prosesnya sedang berjalan. Tidak lama lagi cerita-cerita original itu akan berdatangan dan aku akan membacanya satu per satu,” Jawab Ivan masih penuh semangat.
“Hahaha menurutku ini lebih mirip kuis dari pada lomba nulis novel. Yang mana sang juri telah memegang jawaban kunci.” Tanggapku lagi. Kali ini Ivan hanya diam. Satu suapan besar sedang memenuhi ruang mulutnya.
***
“Kemana saja kamu? Ditelepon ga aktif.” Tanyaku saat pertama kali bertemu dengan Ivan setelah hampir seminggu tidak bertatap muka.
“Laptopku rusak. Aku sibuk harus bolak-balik ke tempat servis. Kalo ditinggal nanti konsep-konsepku bisa hilang.”
“Sekarang gimana?” tanyaku lagi.
“Data sudah kuamankan.”
“Sudah ada yang masuk?” Tanyaku pula soal novel kosongnya.
“Mungkin memang tidak akan ada.”
“Tenang. Pasti ada,” jawab Ivan teguh pada keyakinannya.
“Gimana kalau hanya ada satu? Satu pengirim.”
“Aku yakin lebih.”
***
“Halo, Don. Aku sudah mendapatkannya!” Seketika saja terdengar suara Ivan ketika aku baru saja mengangkat telepon darinya. Suaranya lantang penuh semangat.
“Oh ya.., coba ceritakan,” jawabku tidak kalah semangat. Setidaknya apa yang aku khawatirkan selama ini lepaslah sudah.
“Tidak. Aku akan memperlihatkan langsung padamu. Ada beberapa buah, tapi aku tidak membaca semuanya. Jauh dari konsep, jalan sendiri, dan asal tulis. Satu halaman langsung lewat. Kamu di mana?” Cerocos Ivan nyaris tanpa titik koma.
“Lagi ngopi,” jawabku singkat.
“Di tempat biasa? Oke, aku ke sana,” potongnya segera.
Kurang dari sepuluh menit Ivan sudah tiba di Kafe Kayu Semak, tempatku biasa duduk-duduk santai mencari inspirasi sebelum makan siang.
“Aku penasaran dengan yang satu ini. Nyaris sama. Kok bisa ya?” Tanggap Ivan setelah memilah beberapa naskah yang ada di hadapannya.
“Mungkin kebetulan,” tanggapku seadanya.
“Lebih dari sekedar kebetulan. Ini seperti tulisanku sendiri.” Nilainya.
“Mungkin orang dekat. Lihat saja namanya.”
“Melati.”
“Siapa Melati?” Tanyaku dan Ivan nyaris bersamaan.
“Mungkin nama samaran. Nama pena.” Tanggapku.
“Dikirim dari Jogja. Aku tidak punya teman di sana. Lagi pula aku tidak pernah berbagi konsep ini dengan siapa-siapa. Ini kan fresh. Belum ada sebelumnya.”
“Gimana kalo berbagi cerita? Cerita masa lalu,” ucapku yang membuat Ivan mendelik kencang.
“Maksudmu?” Tanya Ivan seketika.
Aku hanya diam. Kubiarkan Ivan mencari jawabannya sendiri.
“Baik. Sementara itu, aku akan menyimpannya dulu. Menunggu kiriman yang lain, baru kemudian kita seleksi,” ucap Ivan kemudian sembari mengemasi naskah-naskah itu, termasuk naskah yang baru saja akan kubaca.
“Kenapa harus menunggu yang lain? Mulai saja sekarang,” ucapku. Kini giliran Ivan yang hanya diam. tidak memberikan jawaban apa-apa. Triing!! Triing!! Tiba-tiba terdengar ponsel Ivan berbunyi. Seketika, pemuda itu meletakkan lagi naskah-naskah yang telah dipangkuannya itu di atas meja.
“Nomor tak dikenal,” ucap Ivan pelan seperti pada dirinya sendiri.
“Halo?” Sambutnya kemudian penuh tanya. Aku pun bertanya-tanya.
“Kamu sudah baca yang aku kirim?” Terdengar samar suara perempuan di ujung sana. Aku dan Ivan saling pandang perlahan. “Siapa?” Bisikku. Ivan hanya menggeleng. “Coba tanya ‘siapa’?” Sambungku lagi dengan nada yang sama.
“Ini sama siapa?” Tanya Ivan.
“Melati.” Jawab perempuan itu renyah. Pandanganku langsung tertuju pada naskah novel kosong yang ditulis oleh Melati yang kebetulan berada pada tumpukkan paling atas.
“Melati itu nama aslimu atau…”
“Kamu sudah ga ingat aku?” Potong perempuan itu cepat.
“Mmmm…siapa ya?” Jawab Ivan bingung.
“Sudah dibaca, belum?” Desak perempuan berinisial melati itu.
“Sudah. Aku hampir selesai membacanya. Menurutku lumayan mendekati konsep.”
“Memang cerita seperti yang kamu mau, kan?”
“Kenapa kamu bisa tahu?” Tanya Ivan sembari terus menduga-duga siapa lawan bicaranya itu.
“Ya aku tau semua…”
“Siapa?” Tanyaku pula masih dengan suara pelan.
“Baik, sepertinya aku ingat kamu siapa, tapi aku belum yakin. Gimana kalau kita ketemuan?”
“Kamu yakin benar-benar ga ingat aku? Kalo gitu yaudahlah. Ngapain juga ketemuan kalo aku sudah dilupain.” Sambung perempuan itu ketus dan menutup teleponnya seketika.
“Kamu benar-benar ga ingat siapa dia?” Tanyaku kemudian ketika Ivan mulai mengantongi ponselnya.
“Aku tidak yakin, tapi….ah ga mungkin dia.”
“Dia siapa?”
***
Seminggu kemudian sudah tidak ada lagi naskah novel kosong yang masuk. Ivan mengajakku bertemu di Kafe Kayu Semak untuk mulai menyeleksi naskah-naskah itu. Semuanya ada lima belas naskah, empat di antaranya adalah yang paling mendekati konsep.
“Naskah dari Melati sudah kamu tamatkan?” tanyaku pada Ivan sembari mulai bekerja.
“Sudah, tapi ada satu hal yang tidak aku mengerti.” Jawab Ivan.
“Soal apa? Oh, ya apa dia nelpon lagi?”
“Hai, apa aku boleh ikut?” Tiba-tiba terdengar suara renyah perempuan muda dari arah pintu masuk.
“?!?!?!?”
Tentang Penulis:
Afrizal Jasmann merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Kritik yang Tak Selesai atas Cerpen “Novel Kosong” Karya Afrizal Jasmann
Oleh :
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat FLP Wilayah Sumbar dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Beberapa tahun belakangan ini, saya tertarik dengan tema-tema perlawanan dalam karya sastra. Salah satu bentuk ketertarikan saya tersebut adalah dengan menulis sebuah tulisan atau artikel ilmiah yang dimuat pada Jurnal Dialektika UIN Syarif Hidayatullah Vol. 1 No. 1 Juni 2014. Tulisan itu berjudul “Perlawanan Sastra dalam Cerpen Koran Indonesia.” Secara garis besar pada tulisan itu saya menyampaikan tentang bagaimana perkembangan budaya media akhir-akhir ini, memberikan peluang kepada wakil-wakil masyarakat tertindas untuk mempertahankan identitas.
Masyarakat tertindas tersebut tidak akan tinggal diam melihat ketidakadilan terjadi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Douglas Kellner, seorang profesor filsafat dari Universitas Texas, yang menyatakan bahwa budaya media mereproduksi wacana dan perjuangan sosial yang ada, mengungkapkan ketakutan dan penderitaan orang-orang biasa, di samping memberi bahan untuk menghasilkan identitas dan memahami dunia. Ketika anggota kelompok yang tertindas mendapat akses kepada budaya media, perwakilan mereka sering mengutarakan pandangan alternatif tentang masyarakat dan menyuarakan persepsi yang lebih radikal.
Dalam tulisan tersebut saya juga menuliskan bahwa sastrawan melakukan perlawanan dengan karya yang dihasilkannya. Perlawanan sastra merupakan salah satu hal yang lazim dilakukan oleh wakil-wakil kelompok tertindas. Mereka melakukan perlawanan melalui media karya sastra yang mereka hasilkan, novel, puisi dan cerita pendek. Wakil kelompok tertindas, yang juga merupakan orang-orang tercerahkan atau kelompok intelektual bukan tidak berasalan menjadikan sastra sebagai media untuk menyuarakan ketertindasan mereka, karena sastra adalah media yang efektif untuk mengomunikasikan berbagai hal kepada masyarakat pada lapisan atas dan lapisan bawah.
Hippolyte Taine dalam Fananie (2000) menyatakan bahwa karya sastra tidak sekadar fakta imajinatif dan pribadi, tetapi merupakan cerminan imajinatif dan budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari subyek tertentu, merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Melalui tulisan seseorang dapat menuangkan berbagai pemikiran.
Cerpen dapat dijadikan sebuah media untuk mengungkapkan pemikiran serta ideologi yang dimiliki seseorang. Penulis dapat dengan bebas mengekspresikan apa yang ada di dalam pemikirannya melalui sebuah cerpen karena karya tersebut merupakan sebuah fiksi. Walaupun cerpen adalah karya fiksi tetapi cerpen seringkali menggambarkan atau merefleksikan keadaan masyarakat, adat istiadat, dan budaya. Para cerpenis juga seringkali mengungkapkan kritikannya terhadap berbagai yang terjadi dalam masyarakat ataupun permasalahan yang terjadi dengan adat istiadat dan pemerintahan melalui cerita yang ditulisnya.
Sekali lagi dapat digarisbawahi bahwa karya sastra, dalam hal ini adalah cerpen bisa dijadikan sebagai media untuk mengkritik suatu kondisi sosial yang timpang. Melalui cerpen ini saya melihat bahwa ada kritik yang dilakukan sastrawan terhadap industri fiksi yang dianggap terlalu mendikte pembaca. Pada Kreatika Edisi ini, redaksi menayangkan sebuah cerpen bejudul “Novel Kosong” karya Afrizal Jasmann. Afrizal merupakan seorang penulis dari Sumatera Barat yang selain menulis cerpen juga menulis novel. Pada cerpen “Novel Kosong”, Afrizal bercerita tentang dua orang sahabat bernama Ivan dan Doni yang merupakan dua orang penulis.
Sebagai pekerja kreatif, Ivan dan Doni berusaha mencari konsep cerita yang menarik untuk novel mereka. Pada suatu waktu, Ivan mendapatkan ide kreatif untuk membuat sebuah novel yang kosong. Ia hanya memberi prolog dan epilog untuk novelnya itu, kemudian novel tersebut hanya berisi lembaran-lembaran kosong saja. Awalnya, Doni tidak setuju dengan ide Ivan tersebut karena menurutnya justru hal tersebut hampir sama dengan penipuan. Akan tetapi, Ivan bisa meyakinkan sahabatnya bahwa gagasannya tersebut akan menarik dan unik untuk “dilempar” ke pasar industri novel. Selain itu, kritik pedas diselipkan pembaca akan industri buku fiksi yang mainstream. Penulis menulis sebagai berikut:
“Kamu lihat, selama ini novel-novel yang ada hanya berisi cerita yang sudah dikemas oleh penulis dari A-Z. Lalu tamat. Pembaca tidak dilibatkan sebagai siapa-siapa kecuali sebagai konsumen semata. Yang mau ga mau, suka ga suka harus menerima jalan cerita. Sedangkan novel kosong tidak begitu. Pembaca diberi ‘ruang kosong’ untuk ia masuki dan terlibat di dalamnya.” (Afrizal Jasmann, 2022).
Pada awal cerita itu, saya berharap bahwa cerpen “Novel Kosong” ini benar-benar berisi kritik-kritik yang substansial terhadap industri fiksi Indonesia. Saya berharap melalui cerpen ini muncul keresahan-keresahan orang-orang kreatif yang disampaikan dengan cara kreatif. Kritik tentu saja bukan hanya sekadar kritik. Akan tetapi, juga sebagai cara untuk memperkaya dinamika sastra kita. Namun, setelah menyelesaikan membaca cerpen tersebut, saya agak kecewa karena tidak menemukan bentuk kritikan lain atas kondisi industri fiksi seperti pada awal ada harapan dari penulisnya.
Selanjutnya, cerita berlanjut setelah melalui diskusi panjang. Akhirnya, Doni bergabung dengan Ivan untuk menggarap proyek novel tersebut. Agar tidak terkesan membohongi pembaca, Ivan dan Doni sepakat agar menjadikan gagasan Ivan semacam karya inovatif dan interaktif dalam menulis novel. Ivan yang akhirnya menemukan penerbit yang mau bekerja sama dengannya mengajak agar penerbit mengadakan semacam sayembara melanjutkan kisah yang ada dalam Novel Kosong gagasan Ivan tersebut. Di sinilah matinya kritik tersebut. Tokoh Ivan digambarkan tidak benar-benar kritis atas kondisi industri fiksi. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini:
“Kurasa ini akan mentah. Itu bukan novel, tapi hanya menyediakan lembaran kosong untuk ditulis oleh konsumen. Lalu apa bedanya dengan catatan harian?”
“Beda, karena ini bukan catatan harian, tapi sebuah cerita yang sudah ditentukan alurnya.”
“Siapa yang menetukan?”
“Kita sebagai yang punya gagasan.”
(Afrizal Jasmann, 2022)
Kutipan di atas merupakan percakapan Ivan dan Doni yang memperdebatkan Novel Kosong yang menurut Ivan adalah inovasi penting dalam karya sastra. Jika pada awal cerpen, penulis menggambarkan Ivan sebagai tokoh yang ingin melakukan pembaruan dalam menyajikan novel dengan melibatkan pembaca (novel interaktif) akhirnya terlihat justru mendikte pembaca, seperti dalam kutipan di atas Ivan mengatakan “Beda, karena ini bukan catatan harian, tapi sebuah cerita yang sudah ditentukan alurnya.” Lalu, dia menambahkan bahwa yang menentukan alurnya adalah mereka sebagai penulis. Hal ini diperjelas dalam kutipan berikut:
“Oke, pada ujung prolog aku memberi catatan agar mereka dapat menulis sesuai petunjuk. Disini aku memegang kata kunci seperti apa cerita sebenarnya. Setelah selesai, mereka diminta untuk kembali mengirim novel kosong ke redaksi dan bagi yang paling mirip dengan konsep akan mendapat kesempatan untuk nulis bareng tu novel. Oiya, pada sampul novel kosong selain ada namaku, juga ada titik titik buat diisi oleh mereka.” (Afrizal Jasmann, 2022).
Bahkan, akhirnya justru semakin tragis, Ivan dan Doni berencana memberi hadiah untuk siapa saja yang bisa menulis novel tersebut yang isinya hampir mirip, bahkan mirip dengan gagasan yang masih ada dalam kepala Ivan. Dari sini kritik yang dibangun dari awal cerita menjadi mentah. Dari sini jugalah cerita tidak mulai logis atau bertentangan dengan akal sehat manusia. Hal itu terlihat pada ending cerita di mana dari beberapa naskah yang masuk ke redaksi. Ada satu naskah yang persis sama dengan pikiran Ivan. Ivan jadi bertanya-tanya, siapa penulis tersebut? Di dalam cerita, Ivan mengatakan seolah-olah penulis bernama Melati yang misterius itu bisa membaca isi pikiran Ivan. Hal ini tentu tidak logis. Pertama, karena Ivan belum menuliskan ceritanya. Kedua, bagaimana mungkin seseorang bisa membaca isi pikiran orang lain kalau tidak ada hubungannya?
Begitulah ending cerita “Novel Kosong” karya Afrizal ini. Novel yang diceritakan dengan gaya bahasa yang ringan ini pada satu sisi menarik karena mengalir lancar dari pikiran penulisnya. Akan tetapi, sebagai sebuah cerita yang memberi harapan akan memunculkan kritik terhadap industri fiksi. Novel ini gagal memenuhi ekspektasi pembaca. Sebaliknya, pada sisi lain (mungkin sebagaimana keinginan penulis) novel ini menyimpan misteri karena memiliki ending terbuka.(*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post