Cerpen: Nayla
Apa yang kamu ketahui tentang bintang? Adakah kamu membaca buku pelajaran IPA-mu? Atau justru kini buku itu hanya tergeletak di kamar, menunggu akan dibaca hanya ketika akan ujian tiba? Jika kalian membaca buku IPA sekalipun, jawaban kalian bintang adalah benda langit yang memiliki cahaya sendiri.
Nah, sekarang, kuganti pertanyaannya. Apa saja jenis-jenis bintang yang kalian ketahui? Setidaknya, jika ada yang menjawab matahari, kalian benar. Matahari adalah bintang yang menjadi pusat tata surya. Pertama, mari kuperkenalkan, Zeanda, si matahari. Sang bintang pertemanan dan pusat kelas. Jika matahari memutuskan untuk membencimu, bersiaplah untuk dikucilkan dari pertemanan.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang kalian ketahui tentang bintang kejora? Pastinya kalian pernah mendengar lagu bintang kejora, bukan? Sebuah bintang yang bersinar paling terang menjelang fajar dan senja. Sesungguhnya, bintang kejora bukanlah sebuah bintang, melainkan planet Venus atau planet kedua dalam sistem tata surya.
Perkenalkan, tokoh utama dari kisah ini. Jihan si Venus. Setidaknya begitulah dia ketika di SD-nya. Seorang bintang kelas, sang juara 1 berturut-turut. Cahayanya begitu terang seperti bintang kejora. Dia memiliki sebuah cahaya yang tidak dimiliki dan tidak akan pernah dikalahkan oleh matahari. Namun, pengaruhnya masih tak sebesar matahari.
Mungkin matahari adalah penguasa langit siang. Namun, pada malam hari, ada beribu-ribu bintang yang mencoba bersinar lebih terang dari yang lain. Cahayanya bahkan lebih terang daripada matahari. Ketika Venus beralih ke langit malam, ke panggung yang berbeda, di manakah tempatnya?
Di sini kita akan bertemu dengan para bintang lainnya. Sebut saja, Tya sang bintang Sirius, Falisha sang bintang Canopus, serta Lydia, sang Alpha Centauri. Namun, jangan lupakan kami, JRCS, serta Firends, dan para bintang kecil lainnya.
Sekali lagi, di manakah tempat sang Venus pada langit malam?
Jihan tak pernah mempertanyakan hal itu kurasa, bahkan menurutku mungkin Jihan tak pernah merasakan kekecewaan dan kegagalan. Dia selalu dan selamanya akan menjadi yang terbaik. Setidaknya, begitu pemikiranku ketika pertama kali mengenalnya di kelas 7. Mungkin bukan cuma aku. Yang lain pun atau setidaknya JRCS merasa seperti itu.
Siapa JRCS? Mereka terdiri atas J untuk Jihan, Jane, Jelita, dan R untuk diriku sendiri yakni Reivallina, juga Rara, dan Riana. Sementara itu, C untuk Chika dan S untuk Salwa. JRCS berawal dari kelompok belajar untuk drama seni budaya. Kelompok ini berkembang menjadi kelompok persahabatan. Dan Jihan, ia berdiri sebagai bintang paling terang di antara kami para bintang-bintang kecil.
Kami merasa Jihan itu sempurna. Mungkin, kelemahannya hanya terletak pada olahraga dan seni lukis hingga sebuah pertanyaan meluncur dari mulut kami. Pertanyaan, yang bahkan orang pintar sekalipun tak akan menjawabnya dengan serius, “Han, kenapa kamu pintar?”
Itulah pertanyaan yang pada akhirnya membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentang Jihan dan pendapatnya tentang apa itu bintang yang sesungguhnya? Mungkin dia memang tak menjawabnya dengan serius. Toh, dia hanya cengar-cengir mendengar pertanyaan itu. Atau menjawab sekedarnya seperti, “mungkin memang dari sananya.” Namun, aku mendengar jawaban lain. Mungkin hanya aku yang mendengar ketika Jihan bergumam, “karena jika aku tidak pintar, tak ada yang bersedia melirikku.”
Aku tak tahu kenapa Jihan berkata begitu. Aku pribadi tulus berteman dengan Jihan, tapi aku akhirnya sedikit banyak mengetahui alasan dibalik perkataan Jihan. Jarak yang jauh dari sekian banyak orang. Aku tak pernah berpikir bahwa aku akan bertemu dengan Zeanda, si Matahari. Berawal dari salah seorang sahabat baikku di SD. Hanny namanya. Dia melanjutkan SMP ke sebuah sekolah berasrama. Cukup lama kami tidak berjumpa hingga akhirnya kami berencana untuk bertemu hari itu. Entah bagaimana ternyata Hanny mengajak Zea untuk bertemu denganku. Setelah kutelusuri ternyata mereka satu sekolah. Aku benar-benar kesal dengan Zea. Jihan selalu menceritakan Zea sebagai seorang sahabat yang baik. Namun, ternyata Zea adalah musuh di dalam selimut.
“Jika dia tidak pintar, aku sendiri mana mau berteman dengannya,” begitu katanya.
“Kau benar-benar jahat! Licik! Musuh di dalam selimut!” balasku.
“Jihan hanyalah anak polos yang tidak bisa memulai pembicaraan. Dia bahkan tak memiliki teman sama sekali ketika pertama kali masuk SD. Membuatnya merasa asing di tempat yang tidak dikenalnya dan kau malah memanfaatkannya!”
“Oh … Kau mengenalnya rupanya. Dia unik kurasa. Introvert, tidak bisa memulai pembicaraan namun terobsesi untuk berteman. Bonusnya dia pintar dan polos. Orang yang tepat untuk dimanfaatkan!” Kata Zea.
“Sampai kapan pun kau mencoba, kau tak akan bisa mengalahkan Jihan! Enam tahun di SD, tampaknya tak cukup untuk membuatmu sadar! Jihan memiliki cahaya yang tak akan pernah kaumiliki dan tak akan bisa kau kalahkan! Orang licik sepertimu tak pantas berdiri di panggung yang sama dengan Jihan!”
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari sana. Hanny yang baru saja dari toilet, bertanya kenapa aku pergi tiba-tiba. Aku hanya membuat sejuta alasan dan secara tersirat, memperingatkan Hanny agar tak terlalu dekat dengan Zea. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa Jihan memang tidak sadar bahwa dia sedang dimanfaatkan? Kenapa Jihan menganggap Zea benar-benar seperti sahabat sejati? Kemudian, aku sadar bahwa akulah yang membuat Jihan menceritakan Zea seperti sahabat. Aku selalu bercerita pada Jihan tentang Hanny. Tentang bagaimana aku dan Hanny adalah sahabat baik. Tentang semua hal-hal menyenangkan yang selalu kulakukan dengan Hanny. Bagaimana persahabatan itu begitu indah. Jihan tak pernah benar-benar mengerti betapa indahnya persahabatan. Jadi, dia hanya bisa memodifikasi segala sesuatu tentang Zea menjadi sebuah persahabatan yang indah. Meski dibalik semua hal-hal menyenangkan yang dilakukan Jihan dan Zea terdapat senyum licik musuh dalam selimut.
“Kenapa tak menceritakannya dengan jujur, Han? Atau … Kamu tak sadar bahwa dia sesungguhnya adalah musuh?”
Pada akhirnya, aku meminta Jihan untuk jujur padaku tentang Zea. Bagaimana persahabatan mereka yang sesungguhnya?
“Aku tak ingin membicarakan keburukan orang lain, tapi aku tak tahu kalau kamu mengenal Zea, bahkan tahu bagaimana Zea yang sesungguhnya,” kata Jihan.
“Aku sendiri bahkan tak menyangka akan bertemu dengannya, tapi dia satu sekolah dengan Hanny,” balasku.
“Aku sarankan kamu memperingatkan Hanny. Zea mungkin bisa menjadi sosok sahabat atau justru saudara. Namun, tak ada yang tahu niat terselubungnya di balik semua itu,” kata Jihan.
“Lalu, bagaimana kamu mengetahui bahwa Zea sesungguhnya adalah musuhmu?” Tanyaku.
“Kamu hanya mengetahui setengah dari kisah SD-ku, Rei. Ah, bahkan mungkin cuma seperempat yang kamu tahu,” kata Jihan sambil tertawa kecil.”
Tak sulit untuk mengetahuinya. Pada awalnya, seseorang akan bertindak diam-diam. Namun, ketika dia telah gagal untuk yang kesekian kalinya, dia akan terang-terangan,”
“Pada saat dia berpikir bahwa semua berada di pihaknya. Nyatanya, beberapa berada di pihakku. Aku mungkin perlu berterima kasih pada Firends yang telah membantuku. Para guru juga selalu memperingatkan tentang betapa liciknya Zea,” sambung Jihan.
“Dan, siapa Firends? Aku belum pernah mendengarmu menceritakan tentang Firends atau apa pun itu,”tanyaku. Untuk pertama kalinya aku baru mendengar nama Firends.
“Mereka temanku. Sebuah kelompok persahabatan juga. Aku yang menamainya. Five Friends disingkat menjadi Firends. Kurang kreatif, memang,” kata Jihan.
“Lalu, kenapa harus Zea? Ketika kamu memiliki Firends, kenapa kamu selalu menceritakan Zea ketika kita berbicara seputar sahabat?” tanyaku. Setidaknya, jika Jihan tahu Zea orang jahat dan ketika dia memiliki sahabat lain, yakni Firends. Kenapa dia selalu menceritakan Zea?
“Entahlah, Rei. Meski aku tahu dia selalu berusaha menjatuhkanku, namun hari-hari menyenangkan yang kami habiskan itu nyata. Menurutku tak ada kepalsuan dalam persahabatan kami. Dia sahabat yang menyenangkan. Terkadang, dia bisa menjelma menjadi sosok saudara,” kata Jihan. Aku setengah tak percaya dengan peryataan Jihan.
“Mungkin semua yang kukatakan tentang Zea, tentang kebaikannya, tak sepenuhnya bohong. Mungkin, itu juga lebih seperti harapan. Harapan agar Zea bisa menjadi lebih baik,” kata Jihan, “Lagi pula, selama ini, Zea masih belum mengalahkanku. Selama dia belum merugikanku dengan persahabatan palsunya itu, kupikir tidak masalah aku mempertahankan persahabatan kami. Memutus tali persahabatan itu tidak baik,”
“Saat dia berpikir memanfaatkanku, mungkin aku juga memanfaatkannya di kelas. Kamu tahu, aku bukan orang yang pintar berteman dan tidak memiliki jiwa pemimpin. Namun, bersamanya, aku tak memiliki masalah pertemanan. Dia adalah tameng bagiku dan bisa dibilang kami menguasai kelas,” kata Jihan.
“Aku … kamu tahu, Han? Kamu adalah orang yang unik menurutku,” kataku. Polos dan Lugu. Pintar dan Licik. Ketika keempat hal itu digabungkan, itulah sosok seorang gadis bernama Jihan. Percakapan itu terjadi di kelas tujuh. Dua tahun kemudian, kami telah duduk di kelas sembilan. Aku dan Jihan berada di kelas yang terpisah. Banyak hal yang terjadi di kelas delapan. Membuatku kembali menanyakan, “Di manakah tempat sang Venus pada langit malam?”
Kelas delapan adalah waktu dimana pertarungan para bintang di langit malam dimulai. Masuk kelas unggulan bukanlah hal yang mudah. Entah sudah berapa liter air mata mengalir di wajah cantik Jihan dalam perjuangannya untuk menemukan cahayanya. Dia tak bisa lagi menjadi Venus yang hanya mampu bersinar saat fajar dan senja. Dia harus menjelma menjadi bintang yang baru. Namun, tak peduli seberapa keras dia memancarkan cahayanya, dia tak akan bisa mengalahkan cahaya Tya si Sirius, Falisha si Canopus, atau bahkan Lydia si Alpha Centauri. Itulah hal yang membuat dunia Jihan tak lagi sama.
“Kamu tak perlu menjadi sempurna, Jihan. Tak ada manusia yang sempurna. Cukup menjadi dirimu apa adanya.” Aku mencoba menyemangati Jihan yang kecewa dengan angka empat yang tercetak di kolom rangking rapor nya.
“Empat itu, cukup bagus.”
“Kamu tidak mengerti, Rei. Saat aku tidak pintar, saat aku tidak menjadi bintang kelas, saat aku bukan sang juara, tak ada alasan bagi orang-orang untuk berteman denganku!” balas Jihan.
“Aku tak pernah peduli itu semua, Han! Aku tak peduli mau kamu bintang kelas atau bukan, mau kamu pintar atau tidak, aku tak peduli! Aku akan tetap berteman denganmu! Karena kamu adalah teman yang menyenangkan!” kataku.
“Terima kasih, Rei,” balas Jihan.
“Memangnya siapa yang bilang bahwa berteman itu harus dengan orang pintar?” celetuk seseorang. Jihan menoleh ke belakangnya. JRCS berdiri di sana dengan rapor masing-masing dan tersenyum pada Jihan.
“Teman-teman?” Jihan antara percaya dan tidak.
Aku telah menceritakan segalanya tentang Jihan pada JRCS. Mereka teman yang setia, yang tulus menerima teman apa adanya. Pastinya, aku membutuhkan mereka untuk menghibur Jihan. Segala kenangan indah kami di kelas tujuh saat kami bersama dan suka cita membuat drama. Hal-hal kecil tentang cerita dan sastra, Jihan dan Jane yang paling bersemangat. Komedi dan tawa selalu bisa diciptakan oleh Rara, Riana, dan Chika. Well, mungkin aku dan Salwa hanyalah penambah cerita dalam kenangan Bulan Teater. Tak ada kepalsuan dalam persahabatan JRCS. Setidaknya, dengan begitu Jihan kembali ceria. Mampu menerima diri sendiri apa adanya karena JRCS akan selalu menjadi temannya. Tak peduli dia pintar atau tidak. Tak peduli apakah dia bintang kelas atau murid biasa. Kupikir semua masalah berakhir di kelas 8. Jihan menjalani hari-harinya penuh tawa bersama kami semua. Berkumpul bersama saat jam istirahat namun harus berpisah pada jam pelajaran. Jihan tak lagi terlalu terobsesi pada juara satu. Selama masih sepuluh besar, “okay, fine,”
Pada akhirnya, Jihan tak lagi berusaha untuk bersinar lebih terang dari Sirius, Canopus, ataupun Alpha Centauri, bahkan aku sendiri telah melupakan pertanyaan yang masih belum terjawab, “Di manakah tempat sang Venus pada langit malam?”
Mungkin itu tak lagi penting selama Jihan menjadi diri sendiri dan tak memaksakan diri, tak penting lagi di mana posisinya, pikirku.
Namun, tampaknya pertanyaan itu memang harus terjawab. Pada pertengahan bulan Desember setelah acara kultum dan pertunjukan bakat yang biasanya dilakukan setiap hari Jumat, terdapat sebuah pengumuman. Beberapa perwakilan dari salah satu sekolah mengadakan sebuah acara dalam rangka ulang tahun sekolah. Acara itu melibatkan seluruh SMP di provinsi. Seharusnya sudah bisa ditebak. Zeanda, bersama dua orang temannya yang berdiri di depan sana, menyampaikan pengumuman tersebut. Hanny juga berada di sana.
“… Jadi, kami sangat berharap SMP ini mengirimkan 10 orang perwakilan untuk meramaikan acara tersebut,” ujar Zea dengan senyum penuh persaingan. Tatapan matanya jelas mengarah padaku dan Jihan. Jihan dan Zea sempat mengobrol setelahnya. Mereka tampak seperti sahabat yang sudah lama tak berjumpa dan berbicara seolah tak ada masalah sama sekali. Ketika akan pergi, Zea melewatiku dan berbisik tepat ditelingaku, “Mari kita lihat siapa yang tidak pantas berdiri di panggung yang sama dengan Jihan.”
Aku tak pernah berpikir aku akan berada disini sekarang. Pada acara ulang tahun sekolahnya Zea. Padahal, aku dan Jihan tak terlalu aktif dalam kegiatan sekolah. Jadi, itu seperti mustahil kami yang dipilih menjadi perwakilan bersama dengan Chika dan tujuh perwakilan lainnya. Tentu saja, Tya, Falisha, dan Lydia, juga ikut. Firends merupakan sebuah kelompok persahabatan Jihan ketika di SD dulu. Sesuai namanya yang merupakan singkatan dari Five Friends, anggotanya ada lima, yakni Jihan sendiri, Diva, Indira, Azkia, dan Haifa. Kami bertemu dengan Diva dan Indira dalam acara yang berlangsung selama tiga hari tersebut. Setiap perlombaan dilakukan secara berkelompok. Kami berlima membentuk kelompok untuk perlombaan dan saking kekurangan ide, kami tetap memakai nama Firends. Sementara itu, Zea membentuk tim dengan nama Starlight yang terdiri dari dirinya sendiri, Tya, Lydia, Falisha, dan Hanny. Agak disayangkan memang, aku harus bersaing dengan Hanny, sahabatku sendiri. Namun, Starlight telah menyerukan tantangan pada Firends. Bagi mereka, Jihan adalah sosok yang patut diperhitungkan dan diwaspadai.
Perlombaan di hari pertama, dimulai dengan berolahraga. Aku berhasil mengalahkan Zea di final badminton. Diva berhasil menjadi yang pertama dalam atletik, mengalahkan Tya yang harus puas di posisi ketiga. Indira cukup kecewa mendapat posisi ketiga dalam bersepeda, terlebih yang berada di posisi pertama adalah Lydia. Falisha berhasil menempati posisi kedua dalam renang. Sementara Jihan, Chika, dan Hanny harus kecewa tidak mendapat peringkat. Kami menyemangati diri sendiri, bersiap untuk pertandingan seni di hari berikutnya. Sebuah insiden terjadi di pertandingan tari yang diikuti Jihan. Gadis itu tersandung kabel dan terjatuh. Meski itu adalah kesalahan panitia, tetap saja nilai Jihan turun drastis, menyebabkan gadis itu kehilangan kepercayaan dirinya.
Esok hari adalah pertandingan puncak, yakni ilmu pengetahuan. Namun, Jihan masih belum mendapatkan kepercayaan dirinya dan berpikir untuk menyerah. Padahal, itu adalah keahliannya. Kami harus berusaha tanpa Jihan dalam menyelesaikan soal-soal matematika, IPA, IPS, dan Bahasa. Dengan sedikit kerja keras nilai kami seimbang dengan Starlight. Untuk menentukan sang juara umum, diadakan pertandingan cerdas cermat terakhir. Setiap tim mengirimkan tiga perwakilan. Kali ini, kami harus egois. Kami memaksa Jihan untuk ikut.
“Aku tahu kamu ingin menang, Jihan!” Kataku.
“Tidak. Cukup, Rei! Mustahil mengalahkan mereka. Sinar Venus tak cukup terang untuk mengalahkan gabungan Matahari, Sirius, Canopus, dan Alpha Centauri ….”
“Jangan sombong, Han!” Seseorang menyahut. JRCS berada di sana. Dua anggota Firends lainnya juga. Jihan terkejut dengan perkataan Salwa, “Kamu tak bisa mengalahkan keempat bintang itu sendiri!”
“Benar … Aku tahu itu mustahil! Makanya …”
“Itu mustahil jika kamu tetap menjadi Venus,” yang berbicara adalah Azkia, salah satu dari Firends, “Dan kamu tidak sendiri!” disambung oleh Chika.
“Aku mengerti. Cahayaku tak cukup terang untuk bersaing dengan para bintang.”
“Bukan tak cukup terang namun kamu tak memiliki cahaya sama sekali,” sambung Riana. Aku merasa mungkin semua perkataan mereka ini telah diatur sedemikian rupa.
“Karena kamu, tak pernah ditakdirkan menjadi bintang.” Kini giliran Haifa, anggota terakhir Firends yang menyahut.
“Kamu tidak memiliki cahaya sendiri,” balas Jelita.
“Namun, jika kamu tak memiliki cahaya sendiri, kamu tak perlu menjadi bintang,” kini giliran Rara.
“Karena itu jadilah bulan!” Ia adalah dalang dibalik semua kata-kata indah itu. Si pecinta sastra, Jane.
“Bersinarlah sebagai bulan, Jihan. Pantulkan cahaya dari kami, bantulah kami untuk bersinar lebih terang,” ucap Indira.
Dengan sedikit kata-kata yang telah diatur sedemikian rupa oleh Jane, Jihan mampu bangkit untuk mewakili Firends bersamaku dan Indira. Kami mengalahkan Starlight dengan telak. Jihan si Venus telah menemukan tempatnya di langit malam. Dia bukan lagi bintang kejora. Dia adalah bulan. Penguasa langit malam, yang memantulkan cahaya dari bintang-bintang kecil tak terdeteksi untuk bersinar lebih terang dari yang lain.
Piala Juara Umum, kini berada di tangan Firends. Starlight harus puas di posisi kedua. Kami menunjuk Jihan sebagai perwakilan Firends untuk memberikan kata sambutan sebagai pemenang. Pada akhirnya, pertanyaan itu terjawab.
“Di manakah tempat sang Venus pada langit malam?”
“Aku tak perlu lagi menjadi pintar hanya untuk mendapatkan teman karena aku tak butuh seribu teman palsu yang hanya memanfaatkanku. Yang kubutuhkan hanyalah seorang teman yang mampu menerimaku apa adanya. Aku telah mengetahui satu hal bahwa JRCS dan Firends akan selalu tulus berteman denganku tak peduli apa pun,”
“Mereka menyadarkanku bahwa aku bukanlah bintang yang memiliki cahaya sendiri. Namun, di sini aku berdiri sebagai bulan. Bersama para bintang-bintang hebat tak terdeteksi yang selalu di sisiku, bersama JRCS dan Firends, kami akan bersinar lebih terang dan paling terang di langit malam!”
Begitulah pidato berunsur astronomi yang mendapat tepuk tangan meriah dari seluruh penonton yang mengikuti acara tersebut. Mungkin kata sombong juga diperlukan untuk mendeskripsikan seorang Jihan. Namun, menurutku itu bukanlah kesombongan, melainkan sebuah kepercayaan diri yang harus selalu dipertahankan oleh Jihan. Jadi bintang agar dipandang? Itu adalah sebuah mindset yang salah.
“Teruslah berdiri sebagai bulan dan bantulah kami para bintang tak terdeteksi untuk memancarakan cahaya yang lebih terang. Bersama-sama, kita akan menguasai langit malam,” ujar Firends dan JRCS kepada Jihan.
“Terima kasih, Rei,”
Sesaat setelah perlombaan selesai, Jihan mengatakannya padaku.
“Kini aku mengerti arti sahabat sejati dan cahaya abadi. Kamulah yang pertama kali mengajarkanku tentang itu padaku,” ujar Jihan.
Discussion about this post