C
Kepada Ama Yanuarti
Di sana aku bersidekap dengan kegirangan,
betapa kali ini telah kusematkan segala kerapuhan,
berjejal di antara bukit dan padang yang terhampar,
o, inginku tinggal pada lindap hati ibumu.
Di sana aku lebamnya mentari-mentari letih,
aih, selalu ada pertandangan tentang malam yang tiada terlelapkan,
sekalipun kureguk tanda-tanda angin di tubuh ini,
tahu kapan nadi tanah akan mengalir deras tempat berpijak.
Ini langkahku,
ini tarekatku,
bersemayam dalam kalimat-Nya
Kandang Pedati, 2022
A
Kepada Ama Yanuarti
Puisiku bukan lagi puisi yang menari menemu arti,
bukan esok menanam pagi kehilangan inti bumi,
geguritan alam dan kibasan pelangi,
tapi lembab tubuh bukan keluh yang menemu nanti.
O, mamamu,
ialah hari kemudian dengan pengharapan,
berbalas segala tengadah kedua tangan,
menuju ceruk terdalam di bibir beku.
Aku membaca ulang tentang peta jalan,
kiri kanan persimpangan,
riuh serta ricuh kesah yang mengendap di badan,
kurawat segala kelu yang semrawut dalam satu ikatan.
Ini hari lempung tanah dan rengkah matahari
bukan lagi pilihan,
namun tiada teribakan segala nisbi yang nyeri,
barangkali isyarat berkaca pedusunan.
Kandang Pedati, 2022
M
Kepada Ama Yanuarti
Para pencari jalan pulang,
orang-orang berumah dalam kehampaan,
berlenggang ke sana, menerka kebimbangan,
menggumamkan melodi-melodi serak.
Aku inginkan kepurbaan tubuhmu,
dari yang tak bernama itu,
akan kulepaskan segala dengkur di sepanjang tidur,
bahwa jalan pulang ialah kesesatan yang benar.
Sebab telah kusesati diri-diri yang lain,
hingga diriku menjadi diri yang tahu diri,
antara aku dengan aku-aku yang lain bertubuh satu,
dalam niscaya berulak segala tiba.
Pulang dalam keabadian suci,
dengan waktu berdetak sederhana,
api yang berwarna jingga,
ialah ibumu yang ingin kuibukan
Kandang Pedati, 2022
E
Kepada Ama Yanuarti
Aku hanyalah setubuh luka,
dengan pinta yang tak pernah padam dalam jiwa,
senantiasa bermandi lara di antara rengkah dada,
dan mulut berkepala.
Ingin kusampaikan tentang bibir yang tak terucap,
kata bagaikan patah kaki,
bergumul di mulut,
mengendap dalam geming jantung dan hati.
Jika singgah hanya lalu,
aku tak ingin melenggangkan langkah kaki,
sebab akan muram hari menghampiri,
badan lidap dengan mata ngilu membiru.
Adakah boleh aku berpinta tentang hati yang dilabuhkan,
lelah yang disandarkan,
hiruk pikuk hidup yang didekapkan,
dalam satu keabadian, Ma?
Kandang Pedati, 2022
R
Kepada Yolanda Putri Yohanes
Kudengar jeritan rindu,
seumpama pekik lengking tiupan bansi,
di sini aku termangu memintal limbubu,
membelah malam yang kian berdiri.
Jutaan kilometer telah kuutarakan kepada selatanmu,
senantiasa senggama ialah engkau yang di dalam kaca,
mendengungkan geletar gigil,
saat kugenggam tubuh bayang dalam kepala.
Kotakanlah aku di desamu,
akan kudesakan engkau dalam kotaku,
renangilah jantungku, timbalah hatiku,
akan engkau temukan dirimu dan penantian, kekasih.
Kandang Pedati, 2022
Biodata penulis:
Mhd. Irfan lahir di Pariaman, 26 September. Alumnus Sastra Indonesia Unand. Aktif menulis puisi, cerpen, dan esai. Bergiat di Burak Tour Literasi, Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), dan Labor Penulisan Kreatif (LPK), Lab. Pauh9. Saat ini merindu dengan Anggora Cimor.
Discussion about this post