Membeli Pelangi
Oleh: Ululilmiarham
“Bunda, pelangi itu warna apa saja?”
“Ada tujuh warna, Nak. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu.”
“Tujuh? Kenapa banyak sekali?”
“Karena semakin banyak semakin indah.”
“Indah itu apa, Bunda?”
“Indah itu sesuatu yang kalau dilihat bisa bikin bahagia.”
“Jadi, semakin banyak semakin bahagia, ya Bunda?”
Pertanyaan putri kecilku belum bisa kuiyakan. Ah, entahlah, Nak. Bunda pun tidak tahu definisi bahagia itu apa sebenarnya. Buat kamu mungkin sekadar makan mie instan rasa rendang seperti sekarang sudah cukup membuat bahagia. Buat bunda melihatmu tertawa seperti ini juga sudah cukup membahagiakan. Namun, mungkin bagi ayahmu lain lagi ceritanya. Mungkin buat ayahmu semakin banyak yang dimiliki, semakin bahagia, seperti pelangi yang semakin banyak warnanya semakin elok rupanya.
Entahlah, Nak. Sepertinya kehadiran kita dalam hidupnya tidak cukup membahagiakan. Ayahmu masih ingin lebih banyak. Sebanyak-banyaknya dan ini semua masih belum terpuaskan. Mungkin rumah sederhana kita tidak cukup membahagiakan ayahmu. Padahal, tidak masalah punya rumah yang selalu kebocoran atau kebanjiran saat hujan sedikit lebih deras. Suara atap seng yang menggaung di tengah malam karena diterpa angin kencang juga tidak mengganggu nyenyaknya tidur Bunda dan kamu. Cukuplah berlindung dari basahnya hujan untuk melewati malam-malam. Namun, mungkin ayahmu tidak bisa tidur karena desau bisingnya. Bukan jarang, kan, ayahmu meracau kesal lantaran seng yang nyaris terbang itu tidak kunjung reda teriakannya saat angin menarik-narik pakunya sudah lepas satu atau dua.
Mungkin bepergian dengan motor tidak cukup keren buat ayahmu atau berprofesi sebagai ojek online tidak cukup membanggakan. Prestisius yang selama ini diidam-idamkan nyatanya memang tidak untuk disandang seorang ojek serabutan dengan penghasilan pas-pasan. Memang sudah resikonya harus menghadapi hujan dan panas seharian atau kena ciprat mobil yang melaju kencang sampai membuat jaket hijau pemberian jasa ojek online-nya itu kotor. Ya, namanya juga Kota Padang. Semua rasa ada di sini, Nak. Rindu, pilu, dan haru. Padahal bunda suka sekali duduk berboncengan motor dengan ayahmu dibanding naik mobil mewah seperti dulu. Bisa ngobrol dan berpelukan, ah, buat Bunda itu sudah menyenangkan.
Atau mungkin, ayahmu tidak siap menerima kenyataan hidup harus di-PHK lantaran pandemi Corona. Ayahmu yang biasanya setiap bulannya bisa mengantongi berjuta-juta, sekarang harus kerja susah payah untuk mendapatkan sekadar uang sepuluh ribu sehari. Mungkin makan nasi dengan lauk kecap tidak cukup membuat ayahmu bahagia. Ayahmu mungkin ingin menikmati dendeng batokok atau ayam rica-rica. Sesuatu yang terlalu jauh dari jangkauan kita saat ini.
Ah, Bunda tidak tahu, Nak. Ayahmu tidak berkata apa-apa sebelum pergi menjemput pelangi sore itu. Dengan terburu-buru, Ayahmu mengemasi pakaiannya ke dalam ransel usang dan tidak berpamitan akan ke mana. Ia hanya bilang, akan segera kembali setelah pundi-pundi kita terisi.
“Bunda, Fitri ingin melihat pelangi.”
“Bisa. Kalau nanti sudah terang, kita bisa lihat pelangi.”
“Kapan terangnya, Bunda?”
Kapan? Kapan terang? Entahlah, Nak. Terangmu bukanlah sesuatu yang pasti. Tidak seperti matahari yang kemungkinan besar pasti terbit di timur besok pagi. Tidak juga seperti bulan yang memancarkan cahaya purnama di siklus dua puluh delapan harinya. Atau seperti langit yang berwarna-warni setelah cahaya matahari membiaskan sinarnya di antara tetes-tetes air menjadi pelangi yang ingin kamu lihat itu.
Bahkan sekarang pun tidak ada yang pasti, Nak. Bagaimana jika awan mendung menutupi bulan sehingga sinar purnamanya tidak tersampaikan. Bagaimana jika matahari lupa membias di antara tetes hujan. Kita tidak akan bisa menyaksikan purnama ataupun pelangi sebagaimana yang seharusnya.
Sebagaimana nasib perahu kita yang sejak awal memang penuh ketidakpastian, Nak. Perahu kita kini terjungkir, terbalik, dan timpang. Hanya ada kita berdua padahal kemarin masih berlayar bertiga. Kemarin kita masih menatap ke haluan yang sama tapi sekejap nakhoda telah meninggalkan kemudinya. Kemarin kita bertiga berjanji untuk bersama selamanya, bahkan pun menyusun rencana, membagi peran, agar kita tidak oleng diterpa badai keuangan. Namun, dalam satu kedipan mata kapal kita terperosok dan karam. Kehilangan nakhoda, tak punya tujuan, dan terdampar di pulau pengasingan.
“Bilo ka dibayia uang kontrakan tu?” Wangi parfum Bu Neti menyeruak di antara bau nasi sisa semalam, kencing tikus yang merembes selepas hujan, dan cucian apek belum kering yang bertumpuk jadi satu di kontrakan berukuran 4×10 meter itu. Kutinggalkan kamu yang masih menelan rendang imitasi tadi di sudut kamar kita. Bu Neti, sang empu rumah ini sudah datang menagih janji.
Bunda kalang kabut, Nak. Jujur saja Bunda tidak punya uang sepeser pun. Entah apalagi yang harus dijual untuk menyambung nyawa. Televisi dan kipas angin yang minggu lalu masih ada di kamar kita, kini sudah berpindah tangan. Tergantikan beberapa lembar rupiah berwarna merah yang sudah habis dibelikan beras untuk makan sebulan ke depan.
Bahkan saat malam tadi kamu merengek meminta sebungkus permen seharga seribuan pun tidak bisa Bunda iyakan. Uang Bunda tidak sampai segitu. Apalagi membayar kontrakan rumah.
“Maaf, Bu. Ambo usahoan secepatnya, Bu,” jawabku terbata-bata.
Secepatnya? Kapan itu secepatnya? Bagaimana cara mendapatkan uang secepatnya?
“Bisuak, yo? Ambo harus mambayia cicilan oto, ha. Kalau manunggak cicilan mobil itu, kena denda saya nanti,” jelas Bu Neti.
Kusambut tangannya dan kuciumi berkali-kali. Murah hati sekali Bu Neti ini. Sudah dua bulan Bunda menunggak membayar sewa kontrakan, padahal ia jelas punya kebutuhan lebih penting, membayar cicilan mobil Avanza-nya, ia tetap tidak mengusir kita. Bu Neti pernah bilang bahwa ia tidak tega mengusir kita lantaran kita tidak punya tempat tujuan lagi. Tentu saja Bunda harus sadar diri dan membayar kewajiban ini, ‘kan? Ini sudah dua bulan.
“Iyo, Bu. Terima kasih banyak. Insya Allah saya akan dapatkan uangnya. Bisuak pagi.”
Bagaimana mendapatkan lima ratus ribu dalam satu hari? Ke mana? Di mana?
Bu Neti segera pamit dan mengembangkan payungnya sebelum menembus hujan. Ia berlalu pergi saat menyadari kamu berdiri di belakang. Oh, putri kecilku. Kamu berjalan perlahan, meraba-raba dinding, dan memanggilku dengan suara lemahmu. Kujawab salamnya dan berterima kasih berkali-kali pada Bu Neti sebelum akhirnya menghampirimu yang minta disuapi.
Lima ratus ribu. Besok. Lima ratus ribu. Besok.
Bunda memutar otak, entah bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu. Bisakah tikar usang ini kita jual? Berapalah paling lakunya. Atau mungkin, kasur lapuk kita? Bunda harap kamu tidak masalah tidur beralas lantai. Bagaimana dengan selimut ini? Ah, selimut bulu-bulu bergambar Hello Kitty. Mungkin bisa laku tiga puluh ribu. Bunda harap kamu juga tidak masalah tidur tanpa selimut kesayanganmu itu. Masalahnya, Bunda juga sudah tidak punya selimut atau bantal yang bisa kita sulap jadi uang.
“Bunda, kapan pelangi datang?” tanyamu lagi dengan pipi penuh terisi nasi.
“Nanti, setelah terang, pelangi pasti datang.” Bunda menghela napas panjang. Iya, nanti.
“Yang datang tadi, tidak membawa pelangi?” tanyamu kian penasaran.
Ah, pelangi. Bu Neti juga punya pelangi. Berwarna warni malah. Pasti ada warna merahnya juga yang ia selipkan di saku bajunya. Haruskah Bunda pinjam pelangi itu dulu agar kamu bisa melihat pelangi yang sebenarnya di atas sana?
“Tidak, Nak. Dia tidak membawa pelangi untuk kita.”
Pipi gembulmu berhenti mengunyah. Kuperhatikan tatap matamu yang kosong ke mana-mana. Kanan, kiri, atas, bawah. Tanganmu meraba-raba ujung sendok, mencoba menyuap makanan yang seharusnya masih ada di piring. Kubiarkan tangan kecilmu menggapainya. Mencari-cari sisa nasi yang belum juga kamu dapatkan.
“Gelap sekali, Bunda.”
Iya, gelap. Mendung tidak berhenti sejak kemarin. Pelangi yang ditunggu belum juga tiba. Padahal kita berdua sudah berdoa sekuat tenaga menantikan kehadirannya. Pikiran Bunda masih belum lepas dari pelangi. Bagaimana caranya mendapatkan warna merah pelangi?
“Kapan Ayah pulang membawa pelangi, Bunda?” tanya bibir kecilmu.
Bunda tidak lagi mengacuhkan pertanyaanmu. Ada urusan penting yang harus Bunda cari jalan keluarnya.
Lima ratus ribu. Besok. Lima ratus ribu. Besok.
***
Bunda meninggalkan kamu yang masih meringkuk berselimut kain usang di sudut kamar. Hujan masih mengguyur sampai pagi tadi. Bunda tidak sampai hati membangunkanmu. Terlebih lagi, Bunda sudah berjanji akan membawa pulang pelangi.
Maka tanpa menunggu lama, Bunda bergegas menuju klinik di ujung kota kita. Di sudut terpelosok, di antara bangunan tua dengan sepi yang membungkusi setiap dinding dan pintunya, ada harapan yang diberikan bagi orang-orang yang berani menukar mimpi dengan sebagian kehidupannya. Benar, Nak. Kata orang, Bunda bisa dapat beberapa lembar pelangi kemerahan di sini. Impian yang kita idam-idamkan nyatanya begitu mudah untuk digenggam jika kita tahu harus mengadu pada orang yang tepat. Cukup menukarkan apa yang kita punya pada si laki-laki berseragam putih, maka pelangi kemerahan itu akan berpindah ke tangan kita. Kata orang, impian besar butuh imbalan yang besar. Imbalannya jelas bukan kasur usang, selimut tipis, apalagi cucian kotor. Itu tidak ada nilainya.
“Kira-kira, saya bisa dapat berapa, ya?” tanya Bunda pada laki-laki berseragam putih yang baru saja mengambil beberapa mili darah dari lengan Bunda.
Dari gosip yang Bunda dengar, kita bisa mendapatkan lima puluh atau enam puluh juta, benarkah itu?
“Tergantung apa yang mau Ibu jual,” jawabnya singkat sambil mengamati sekujur tubuhku. Matanya menelisik, menilai tubuh kurus ringkihku yang tidak meyakinkannya. Ia tampak menimbang, apa aku cukup kuat dan sehat untuk melakoninya.
“Yang kira-kira aman, apa ya?”
“Kita lihat hasil cek darah Ibu dulu, ya. Kalau semua oke, nanti kita lanjut.”
Laki-laki itu lantas beranjak kembali ke belakang ruangannya. Bunda hanya mengangguk pasrah. Ini satu-satunya cara yang terpikir di benak Bunda demi pelangi kemerahan kita. Bunda tahu ini melanggar hukum, tapi masa bodoh dengan hukum. Pelangi untuk kontrakan kita, untuk mengembalikan binar kedua matamu, jauh lebih penting.
Penantian beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Bunda bergidik ngeri dengan aroma ruangan serba putih ini. Baunya sangat memusingkan, seperti desinfektan yang disiram ke penjuru ruangan. Apalagi tidak banyak orang yang datang ke klinik ini. Lokasinya memang tersembunyi. Tidak apa-apa. Hanya orang berani yang akan menjejakkan kaki di sini. Demi kamu, kendala apa pun pasti Bunda hadapi.
“Ibu, hasilnya sudah keluar. Ibu aman, tidak ada riwayat gula, kolesterol, dan hipertensi. Jadi ibu mau menjual yang mana?”
Ah, syukurlah! Hati Bunda senang tidak terkira. Lihatlah, Nak, sebentar lagi Bunda bisa membawakan pelangi untukmu. Membawa pelangi untuk melunasi kontrakan kita. Mungkin kalau kita sedikit beruntung, pelangi ini bisa untuk membiayai transplantasi korneamu. Hanya tinggal mencari donor untukmu, Nak. Tenang saja, kalau tidak ada yang mau memberikan matanya untukmu, mata Bunda bisa kamu miliki, Nak. Bunda tidak akan menjual mata Bunda demi pelangi.
Lihatlah, Nak, kita tidak butuh ayahmu untuk membawakan pelangi. Bunda bisa sendiri!
“Gi-ginjal, bagaimana, Dok?”
***
Biodata Penulis:
Ulul Ilmi Arham lahir di Padang, 22 April 1992. Gemar menulis sejak SMA saat bergabung di Media Smansa. Beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi cerpen dan puisi serta di laman instagram pribadinya. Penulis pemula ini masih butuh banyak kritik dan saran. Silahkan layangkan ke instagram @ululilmiarham atau email ululilmiarham@gmail.com.
Kritik Sosial dalam Cerpen “Membeli Pelangi”
Karya Ulul Ilmi Arham
Oleh:
Azwar Sutan Malaka
(DPP FLP Wilayah Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Karya sastra tidak hanya sebagai bacaan pengisi waktu luang saja (fungsi hiburan), akan tetapi karya sastra memiliki fungsi-fungsi yang beragam. Seperti Plato dalam bukunya Republic memandang karya sastra yang baik memiliki tiga fungsi, yakni (1) memberikan ajaran moral yang lebih tinggi, (2) memberi kenikmatan pada pembaca, dan (3) memberi ketepatan dalam wujud pengungkapannya.
Riris Toha Sarumpaet dalam buku berjudul Pedoman Penelitian Sastra Anak (2010) membicarakan tentang fungsi karya sastra dengan mengutip beberapa pendapat ahli seperti Horatius yang menyampaikan fungsi utama karya sastra terdiri dari dulce et utile (sweet and useful). Lebih jauh dalam Bahasa Indonesia dulce (sweet) dapat diartikan sangat menyenangkan sedangkan utile (useful) dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bermanfaat atau bersifat mendidik.
Kedua hal tersebut juga bisa diartikan dengan fungsi menghibur dan mendidik. Dimana karya sastra memiliki fungsi sebagai media untuk memberikan hiburan kepada pembacanya dan sejalan dengan itu karya sastra juga memberi fungsi sebagai media pengajaran yang memberikan nasihat-nasihat dan penanaman nilai-nilai moral kepada pembaca sehingga pembaca mendapatkan nilai-nilai positif dari karya sastra. Lebih jauh Sarumpaet (2010) menyampaikan bahwa karya sastra memampukan manusia menjadi lebih manusiawi; mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupannya.
Jika lebih dirinci lagi, fungsi karya sastra bisa dilihat dari berbagai hal yaitu (1) fungsi estetis dimana karya sastra dipandang sebagai karya yang indah yang menampilkan keindahan melalui penggunaan bahasa, (2) fungsi etis yaitu karya sastra dipandang memiliki fungsi untuk menanamkan nilai-nilai moral melalui nasihat dan amanat yang terkandung dalam karya sastra, (3) fungsi didaktis yaitu karya sastra memiliki fungsi sebagai media pendidikan yang dapat diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra, (4) fungsi reflektif yaitu karya sastra memiliki fungsi sebagai gambaran kehidupan yang mencerminkan realitas sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat, (5) fungsi rekreatif yaitu karya sastra berfungsi sebagai hiburan yang diberikan melalui cerita di dalamnya.
Berangkat dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa karya sastra tidak hanya sekadar bacaan untuk pengisi waktu luang (fungsi rekreatif) saja, akan tetapi karya sastra bisa digunakan sebagai media untuk melakukan kritik sosial. Memanfaatkan karya sastra sebagai kritik sosial sudah banyak dilakukan oleh pengarang-pengarang Indonesia. Seperti HAMKA dalam beberapa novelnya banyak mengkritik kondisi sosial masyarakat Minangkabau yang timpang. Ahmad Tohari mengangkat kondisi sosial kemiskinan dan kebodohan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Pramoedya Ananta Toer mengkritik feodalisme Jawa dan patriarki melalui novelnya yang berjudul Gadis Pantai. Selain sastrawan-sastrawan besar di atas, beberapa sastrawan dari masa ke masa tidak absen dalam mengkritik kondisi zamannya yang tertuang dalam karya sastra.
Pada Kreatika edisi minggu ini ditayangkan sebuah cerpen berjudul “Membeli Pelangi” karya anggota FLP Sumatera Barat, Ulul Ilmi Arham. Ulul menceritakan tentang sebuah keluarga yang terdampak pandemi Covid 19 di Kota Padang. Keluarga dengan satu anak tersebut pada mulanya hidup berkecukupan sebagai sebuah keluarga muda. Tapi karena pandemi yang melanda Indonesia, kepala keluarganya di PHK. Untuk mempertahankan hidup, sang suami bekerja sebagai tukang ojek online.
Kritik sosial yang muncul dalam cerpen ini adalah betapa sepinya hidup di Kota Padang yang dulu dikenal sebagai kota dengan masyarakat yang agamis dan hidup mereka dilandasi nilai-nilai adat dan budaya Minang yang luhur itu. Seorang laki-laki harus meninggalkan anak dan istrinya karena di PHK. Seorang ibu muda untuk bertahan hidup saja harus menjual ginjalnya. Pertanyaanya apakah tidak ada bantuan dari masyarakat di sekitarnya? Apakah tidak ada perhatian dari pemerintah untuk masyarakatnya? Walaupun cerita pendek adalah fiksi atau cerita fiktif akan tetapi untuk menghadirkan karya yang baik, penulis harus jeli melihat situasi realitas yang dijadikan latar dalam ceritanya.
Dalam cerita yang ditulis Ulul ini, dikisahkan bahwa sang suami tidak tahan atau tidak siap hidup menderita lalu meninggalkan anak dan istrinya. Singkat cerita, sang istri harus bertahan hidup dengan mengerjakan apa saja asalkan bisa untuk makan dan bertahan hidup. Akhirnya karena dirong-rong kemiskinan, sang istri menjual ginjalnya. Cerita ini dibuka dengan dialog antara ibu dan anaknya:
“Bunda, pelangi itu warna apa saja?”
“Ada tujuh warna, Nak. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu.”
Tujuh? Kenapa banyak sekali?”
“Karena semakin banyak semakin indah.”
“Indah itu apa, Bunda?”
“Indah itu sesuatu yang kalau dilihat bisa bikin bahagia.”
“Jadi, semakin banyak semakin bahagia, ya Bunda?”
Dari awal membuka cerita, sebenarnya penulis sudah buyar dengan tema cerita yang akan dia angkat. Pada awalnya pembaca menangkap curhatan sang istri bahwa suaminya tidak bersyukur atas hidup yang mereka terima. Seolah-olah sang suami menginginkan sesuatu yang lebih dalam kehidupan mereka.
Pendapat tersebut di atas semakin dikuatkan dengan narasi penulis tentang penerimaan sang istri dan anaknya akan hidup yang apa adanya.
“Buat kamu mungkin sekadar makan mie instan rasa rendang seperti sekarang sudah cukup membuat bahagia. Buat bunda melihatmu tertawa seperti ini juga sudah cukup membahagiakan. Namun, mungkin bagi ayahmu lain lagi ceritanya. Mungkin buat ayahmu semakin banyak yang dimiliki, semakin bahagia, seperti pelangi yang semakin banyak warnanya semakin elok rupanya.” (Arham, 2022).
Cerita bergulir dengan narasi seorang ibu kepada anaknya yang mengisahkan perjuangan mereka mengarungi hidup yang penuh dengan ketidakpastian. Perahu kehidupan yang kehilangan nahkodanya yang sedang diombang-ambing ombak lautan. Untuk menambah dramatis cerita, penulis mengisahkan bagaimana pemilik kontrakan menagih uang kontrakan yang sudah beberapa bulan tidak dibayar.
Sayangnya, situasi seorang perempuan didesak untuk membayar uang kontrakan Rp. 500 ribu perbulan belum cukup menyajikan kepahitan hidup dalam masyarakat kota saat ini. Masih banyak orang yang kehidupannya lebih pahit dibandingkan orang yang menanggung hutang kontrakan tersebut. Sebaiknya jika pengarang ingin menciptakan kepahitan hidup, mengapa tidak dibuat lebih dramatis sekalian, contohnya kedua ibu dan anak itu harus menjadi gelandangan atau apalah yang lebih menyakitkan.
Menghadirkan kepahitan hidup ini penting dalam cerita ini karena kepahitan hidup ini menjadi titik bagi tokoh dalam cerita untuk mengambil langkah yang lebih pahit lagi. Oleh sebab itu keterampilan penulis dalam membaca realitas kehidupan lebih dibutuhkan untuk menyempurnakan cerita ini.
Ternyata apa yang dianggap kepahitan hidup oleh penulis itu (menunggak kontrakan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup anak) belum cukup pahit untuk dijadikan alasan bagi si ibu itu untuk menjual ginjalnya. Menjual ginjal menjadi sesuatu yang satire di tengah-tengah masyarakat saat ini karena sering dijadikan perumpaan untuk kepahitan dalam menghadapi hidup.
Beberapa kelemahan lain cerpen ini seperti kondisi rumah kontrakan seharga Rp.500 ribu perbulan yang memprihatinkan. Diceritakan dalam cerpen ini atapnya yang banyak bocor, dan kondisi atap sengnya yang nyaris diterbangkan angin. Karena cerpen ini menceritakan realitas saat pandemi Covid 19 ini, tentu saja pikiran pembaca akan dibawa pada asumsi bahwa kontrakan Rp.500 ribu di Kota Padang saat ini tentu sudah lumayan baik saat ini. Walaupun ini akan menimbulkan perdebatan namun intinya penulis harus memikirkan kelogisan cerita.
Hal lain seperti gampangnya tokoh dalam cerita ini menemukan tempat praktik yang menerima penjualan ginjal. Dalam realitasnya praktik ini tentu saja ilegal. Tidak mudah menemukan tempat praktik yang membeli ginjal masyarakat di Kota Padang. Sekali lagi terkait dengan logis atau tidaknya cerita, penulis harus memikirkan hal itu sebelum menyajikannya dalam cerita.
Terlepas dari sisi-sisi lemah cerita ini, tentu saja sebagai sebuah cerita cerpen “Membeli Pelangi” ini sudah memberikan pandangan baru bagi pembaca tentang kondisi sosial di saat pandemi Covid 19. Tidak hanya di Kota Padang, akan tetapi di beberapa daerah di Indonesia lainnya juga terdampak oleh bencana besar ini. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post