Besok, Senin pada tanggal 2 Mei 2022 atau 30 Ramadan 1443 H adalah momen Hari Raya Idulfitri berdasarkan kalender awal Ramadan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagian umat Islam yang berpuasa lebih dulu sudah ada yang merayakan Idulfitri pada hari Minggu, 1 Mei 2022. Lalu apa sesungguhnya makna Hari Raya Idulfitri?
Makna Hari Raya Idulfitri tentu tidak hanya sekadar selesai menjalankan puasa sebulan penuh, shalat Id berjamaah, memakai baju baru, bagi-bagi THR, bagi-bagi hamper dan parsel, pulang kampung, menikmati aneka kue dan masakan khas Lebaran, seperti rendang, opor ayam, dan sebagainya, tetapi juga ada hal yang perlu dijaga pada momen Hari Raya Idulfitri, yaitu sikap saling memaafkan dengan tulus dan bersilaturahmi. Bersilaturahmi tidak hanya sekadar berkunjung dan salaman ke rumah orang tua, keluarga, dan sahabat, tetapi juga penting tidak melukai hati orang yang dikunjungi.
Secara etimologi, kata silaturahmi berasal dari bahasa Arab, yaitu silaturahim. Dalam detikedu (28/12/2021), dijelaskan bahwa kata silaturahim berasal dari penggabungan dua kata, yaitu kata shilat dan kata rahim. Kata shilat maknanya ‘sambungan, menyambung, menjalin, atau menghubungkan’ dan kata rahim berasal dari kata rahima-yarhamu artinya ‘1) kasih sayang; 2) rasa sakit pada rahim wanita setelah melahirkan’. Setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia, penulisan kata silaturahim berubah menjadi silaturahmi berdasarkan kesepakatan para ahli bahasa Indonesia. Kata silaturahmi termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya ‘tali persahabatan atau persaudaraan’, sedangkan bersilaturahmi artinya ‘mengikat tali bersahabatan atau persaudaraan’. Bersilaturahmi pada Hari Raya Idulfitri artinya berkunjung untuk mengikat dan mendekatkan tali persaudaraan atau persahabatan.
Mengapa silaturahmi menjadi penting untuk dijaga? Karena tidak jarang ajang silaturahmi menjadi rusak karena pertanyaan ataupun bisik-bisik yang melukai hati saudara atau sahabat yang dikunjungi. Beberapa kategori pertanyaan yang dapat melukai hati saat bersilaturahmi, di antaranya: 1) Kapan wisuda? 2) Kapan menikah?, 3) Sudah punya anak atau sudah berapa orang anak?, 4) Kerja apa atau kerja di mana?, 5) Suami/istri kerja di mana?, Berapa gajinya?, 6) Sudah punya pacar atau calon istri/suami?, 7) Kok tangannya kosong tidak ada perhiasan? (untuk perempuan dewasa), dan lain-lain.
Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut, silaturahmi juga bisa rusak karena sikap membandingkan-bandingkan, seperti membandingkan saudara atau sahabat dengan orang yang lebih sukses pulang kampung dengan mobil mewah atau membandingkan saudara dengan orang lain yang bagi-bagi THR pada orang sekampung, membandingkan saudara yang belum punya anak dengan tetangga yang banyak anak, membandingkan keponakan dengan keponakan orang lain yang lebih sukses dalam hal pendidikan, membandingkan anak kita dengan anak tetangga yang sudah kerja dengan gaji besar, dan sebagainya.
Hari Raya Idulfitri akan lebih bermakna jika mengucapkan kata-kata positif dan menggembirakan hati daripada membanding-bandingkan karena hal paling tidak menyenangkan bagi manusia adalah dibanding-bandingkan. Satu hal yang perlu kita sadari berkaitan dengan sikap membanding-bandingkan bahwa garis tangan, nasib, takdir, dan peruntungan setiap orang tentu berbeda. Perbedaan itu Tuhan yang menciptakan. Selain melukai hati, pertanyaan sensitif dan sikap membandingkan dapat menimbulkan rasa enggan untuk bersilaturahmi pada waktu-waktu yang lain, bahkan juga dapat memutuskan tali silaturahmi.
Kategori pertanyaan sensitif dan sikap membanding-bandingkan dalam kajian sosiolinguistik termasuk ke dalam ketidaksantunan berbahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi dan penyampai informasi, bahasa juga dapat melukai, menyakiti, dan menghilangkan muka atau mempermalukan lawan bicara. Bahasa yang tidak santun merupakan bahasa yang muncul dari luapan emosi, seperti membanding-bandingkan, menggunjing, mencemooh, memfitnah, menganiaya fisik dan hati seperti mengajukan pertanyaan sensitif atau bersifat pribadi, dan sejenisnya.
Pertanyaan-pertanyaan sensitif dan kata-kata yang melukai hati sebaiknya dihindari saat bersilaturahmi jika tidak ingin merusak momen Hari Raya Idulfitri. Alangkah baiknya, kita memilih kata-kata yang baik saat bersilaturahmi, seperti membicarakan kenangan masa kecil, tingkah lucu masa sekolah, dan kenangan manis lainnya. Selain dapat mempererat silaturahmi, kata-kata tersebut juga dapat menjalin silaturasa atau mempererat rasa di antara orang yang bersilaturahmi, seperti rasa menyayangi, menghargai, menghormati, dan mencintai.
Discussion about this post