Kok Dapek Nan di Hati
Cerpen: Ali Usman
Hembusan angin seraya menyapu pepohonan yang rindang di depan rumahku. Hujan tiba-tiba mengejar dengan cepat. Gemuruh petir sesekali meningkahi irama angin dan hujan. Damai terasa hati ini mengiringi irama hujan karunia Allah yang harus disyukuri. Namun, kecamuk pikirankanku mengalahkan semuanya.
“Da… kok buruak bana manuangnyo? Apo nan tajadi?” Hadi menghampiriku, membuyarkan lamunanku mengikuti irama air hujan. Ia ingin menghiburku. Sepertinya ia tahu aku punya masalah. Hadi adikku yang paling bungsu dari delapan bersaudara. Ia baru kelas tiga SMP. Ia baru libur setelah habis Ujian Nasional (UN), sedangkan kakakku yang sulung sampai yang ke enam merantau. Dua orang di Jakarta, satu orang di Malaysia, dan tiga orang di Bandung.
“Ndak ado apo-apo doh. O… iyo, bilo pangumuman UN SMP Di?” Cegahku mengalihkan topik pembicaraan agar Hadi tidak tahu dengan masalahku.
“Kata Pak Ya’kub tanggal 16 Juni besok, Da. Sebenarnya Hadi tidak sabar lagi menunggu kelulusan itu. Kira-kira Hadi bisa lulus nggak Da?” Tidak ada jawaban. Hanya irama titik air hujan di atap rumah yang sesekali di timpali tiupan angin dan gemuruh petir.
“Da! Gimana pendapat Uda? Aku bisa lulus kan?” Pertanyaan Hadi terus menyerangku. Ternyata aku berhasil mengalikan pembicaraan.
“O… tentu lulus dong, Di. Insya Allah. Hadi kan Adik Uda yang paling brilliant di rumah ini. Tul nggak?” Balasku seraya memeluk pundaknya yang tidak jauh lebar dari pundakku. Hadi hanya tersenyum dan menyiratkan wajah keoptimisan.
“Aamiin! Thank’s, Da. Aku ke belakang dulu. Kebelet pipis nih” Bisiknya sambil melemparkan seutas senyuman seraya berlari ke belakang. Suasana kembali haru. Seharu hatiku. Seharu cuaca hari ini dengan hujannya yang lebat dan terpaan angin yang saling berbalasan. Seperti inilah pengalaman hatiku yang paling haru dan menyedihkan. Perjalanan hidup benar-benar memberikan pelajaran atas makna hidup. Makna pendidikan yang baik. Kira-kira itu merupakan hikmah yang harus aku petik. Informasi kelulusan Penerimaan Mahasiswa Undangan Khusus (PMDK) ke Universitas Indonesia (UI) belum berjodoh denganku. Allah mungkin berkehendak lain atas garis nasibku. Garis takdir yang tidak akan pernah diketahui oleh manusia.
“Bu, Hendra merasa malu. Sepengetahuan Hendra, belum ada di keluarga kita ini yang mengecewakan Ibu. Hendra… Hendra…” Tiba-tiba suaraku tertahan. Semua mata tertuju padaku.
“Apa maksudmu Dra? Ibu belum paham.” Potong ibu seraya menghentikan suapannya.
“Aku belum berhasil, Bu. Aku tidak lulus PMDK di UI” Jelasku seraya menundukkan kepala.
“Kenapa, Dra? Di mana salahnya? Selama ini kan kamu sudah ikuti semua prosesnya. Nilai dan prestasi di sekolah oke. Selalu lima besar. Di mana letak kesalahnnya?” Pertanyaan ibu bertubi-tubi menyerangku.
“Iya, Dra. Kenapa bisa tidak lulus? Ayah selalu melihat kamu berikhtiar dan berdoa sungguh-sungguh. Jarang absen dari tilawah dan qiyamullai. Kenapa seperti ini?” Ayah juga menyerbuku dengan pertanyaan yan tidak bisa ku jawab.
“Apa aku tidak salah dengar, Da? Uda tidak lulus. Uda kan hebat! Ya kan Yah! Bu!” Susul Hadi dengan irama tak percaya dan turut meyakinkan ayah ibu.
Semua mata tertuju padaku. Sesekali kulirik ketiga pasang mata itu bergiliran, membuat aku makin tidak bisa berargumen. Wajah-wajah yang terpaku menunggu jawabanku tak kuat aku tatap. Makan siang pun diwarnai dengan ketegangan dan diskusi yang terputus gara-gara sikapku. Semua suapan tertahan pada piring masing-masing menunggu penjelasanku. Hening.
“Bu! Yah! Hendra ti… ti… dak… Tidak bisa menjelaskan semua pertanyaan tadi, Hadi, Uda juga tidak menyangka seperti ini. Makanya kemarin itu termenung. Uda belum dapatkan informasi yang lengkap dari Pak Husen wakil kesiswaan SMA 1 Padang sekolah Uda,” Jelasku menatap mata Hadi yang terus menanti jawabanku.
“Yah! Bu! Insya Allah besok, Hendra temui Pak Husen dulu di sekolah menanyakan informasi kelulusan itu valid atau tidak. Kemudian bisa juga dijelaskan pada orang tua masing-masing oleh semua siswa yang ikut.”
“Kita tunggu besok ya…?” Serentak Ayah dan Ibu menjawab.
Hening di meja makan membuatku terpaku. Makanan dipiringku tidak jadi dilanjutkan karena hati dan pikiran sedang berkecamuk. Terngiang kembali pertanyaan-pertanyaan keluarga. Mereka tidak percaya dengan informasi yang aku berikan. Mudah-mudahan ketidakpercayaan mereka bertanda baik bagiku. Atau memang ada sesuatu yang salah atas pengumuman itu. Risau menyerbu hati. Galau mengacaukan pikiran.
“Pengumuman kepada seluruh siswa kelas XII yang ikut seleksi PMDK ke UI berkumpul di ruang wakil kesiswaan,” Guru piket mengumumkan sesuatu usai shalat zuhur. Bergegas aku melangkah, menuju ruangan wakil kesiswaan. Aku jadi tidak sabar menunggu informasi kelulusan itu dengan lengkap dari Pak Husen.
Satu persatu teman-temanku datang ke ruang Pak Husen. Aku duluan yang datang disusul Azis, Yanto, Lindung, Suci dan Riri. Mereka sambil bercanda memasuki ruangan. Mereka sepertinya optimis lulus.
“Gimana Dra, Zis, Yanto, Suci, Lindung, dan Riri, kira-kira lulus nggak?” Tiba-tiba Pak Husen muncul dengan pertanyaan seperti itu seraya tersenyum. Mungkin ia ingin menebak ekspresi kami.
“Insya Allah, Pak. Kami lulus” Jawab Suci dan Riri serempak seraya saling tersenyum. Dengan yakinnya menimpali candaan Pak Husen.
“Kamu Dra, Zis? Dan Kamu Ndung? Gimana lulus nggak rasanya?” Pertanyaan itu membuat kami terdiam. Beda dengan Suci dan Riri yang begitu pede menimpali. Tidak ada jawaban, cuma seutas senyum yang kami berikan. Mungkin Azis dan Yanto sama perasaannya denganku. Belum punya keyakinan bisa lulus. Kekhawatiran menggelayuti langit-langin ruangan itu.
“Oke-oke! Para calon mahasiswa yang Bapak banggakan, langsung ya ke intinya. Calon mahasiswa dari SMA 1 Padang. Abdul Azis lulus di Jurusan Teknik Informasi. Lindung Nasution lulus di Jurusan Sastra Jerman. Medya Anggun Suri lulus di Jurusan Akutansi. Ririn Wahyuni lulus di Jurusan Psikolog. Dan Syafwan Hendra…” Tiba-tiba suara Pak Husen putus di ujung. Hening. Beliau terpaku menatap kertas yang ada di tangannya. Apa maksud semua ini? Diam memenuhi ruangan itu.
“Gimana saya Pak? Saya lulus kan?” serta merta kakiku melangkah menuju Pak Husen.
“Lanjutkan Pak! Saya gimana?” Menyodorkan wajahku ke hadapan Pak Husen menanti jawaban yang menggembirakan.
“Ada apa Pak! Gimana dengan Hendra? Kok Pak diam?” serempak teman-temanku menimpali. Berdiri menuju Pak Husen. Reflek Pak Husen menyembunyikan map yang berisi surat pengumuman itu dan menahan kami dengan tangannya.
“Tenang-tenang! Tunggu sebantar, ya! Bapak diskusikan dulu dengan kepala sekolah” Pak Husen serta-merta beranjak pergi menuju ruang kepala sekolah. Aku terduduk. Teman-teman menatapku dengan mata penasaran. Mereka kembali duduk dan terdiam. Hatiku galau dan kacau. Harap cemas terhadap keputusan itu. Ruangan kembali dipenuhi sunyi.
“Kenapa ya, Dra? Pak Husen terdiam ketika menyebut namamu?” Tanya Azis memecah kebekuan kami.
“Aku tidak tahu,” balasku lirih. Menelan ludah. Tertegun.
“Jangan-jangan, Pak Husen ingin ngasih surprise untuk kamu, Dra?” Tebak Suci sambil menunjukku.
“Mungkin iya, Dra. Kamu kan siswa terbaik di sekolah kita. Lagian kamu pilih jurusan yang tidak terlalu banyak peminatnya Jurusan Sastra Arab, kan? Katanya kamu mau ke Timur Tengah, kan? Tepatya Al-Azhar University. Aku optimis kamu pasti lulus Insya Allah” Timpal Riri menghiburku. Aku hanya mengangkat bahu. Terserah Allah mana yang terbaik untukku.
Ting tong. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Perutku sudah keroncongan. Pak Husen belum juga muncul juga. Teman-teman sudah tidak sabaran. Mereka kelihatan resah, tapi anehnya semuanya bungkam seribu bahasa. Mungkin mereka memikirkan tentang diriku. Tiba-tiba, Pak Husen datang. Penasaran menyesak dadaku. Apa maksud semua ini? Pak Husen memperhatikan kami.
“Kok pada diam? Sudah nggak sabaran ya?” Terka Pak Husen seraya tersenyum kepada kami. Ia mematut surat pengumuman itu. Melemparkan tatapannya padaku. Kepalanya menunduk lagi ke arah kertas tersebut. Ia menaikkan alis matanya dan tersenyum kepada kami.
“Gimana Pak? Kok diam? Senyum Bapak membuat kami makin…,” Suara Riri mencairkan suasana yang beku.
“Apa pendapatmu, Ri?”
“Aku yakin, Pak, Hendra lulus karena ia temanku yang pintar. Jago bahasa Inggris, bisa cas-cis-cus bahasa Arab, Sains apalagi.”
“Apa argumenmu, Zis?” Pak Husen melemparkan pertanyaan kepada Azis.
“Insya Allah, Hendra lulus, Pak. I’m sure that. Ya kan, Dra?” Aku hanya tersenyum simpul membalas tatapan Azis dan teman-temanku, tapi feelingku mengatakan aku tidak lulus. Semoga prasangka itu salah.
“Baik! Para calon mahasiswa UI yang bapak cintai!” Suara Pak Husen tinggi dan jelas sambil membacakan surat pengumuman itu.
“Hendra, sayang sekali… kamu… t-i-d-a-k…l-u-l-u-s” Ruang pecah oleh keterkejutan semua telinga yang mendengar. Mataku tersentak oleh bulir-bulir bening itu. Air liurku terteguk mendengar keputusan itu. Aku terdiam dan teman-temanku terpaku. Pak Husen juga terpana. Suasana kembali hening. Diam. Sesekali terdengar suara kendaraan di jalan raya.
“Tapi kamu diterima di Jurusan Sastra Indonesia. Pilihan kedua. Gimana, Dra?” Suasana agak sedikit cair dengan penjelasan ini.
“Bagus, Dra! Itu kan jurusannya Mbak Helvy Tiana Rosa. Ia dosen sekarang di UI lho… yang punya cerpen, Ketika Mas Gagah Pergi, yang terbit tahun 2000 kemarin” suara Suci mencairkan kebekuan. Diiringi anggukan teman-teman. Aku terpaku mendengar pernyataan itu. Mereka berusaha menimpali. Menghibur dan menenangkan hatiku. Namun risau menyerbu hatiku. Galau mengacaukan pikiranku.
Selaksa harapanku sirna. Aku tertegun mendengar perngumuman itu. Hampa terasa dunia. Aku tidak menyangka bisa seperti itu. Rasanya tidak mungkin. Aku sudah memaksimalkan ikhtiar. Lantunan do’a pun selalu mengiringi usaha itu. Hatiku berkecamuk tidak menentu. Galau merisaukan perasaanku. Kenapa?
“Hai…Dra! What the metter? Kok bengong aja?” Hamid membuyarkan lamunanku. Tepukannya pun mendarat di pundakku.
“Eh… kamu, Mid. Nothing friend’s, Cuma duduk-duduk saja sambil menunggu kamu” Kupaksakan suasana santai. Sunggingan senyumku mencoba menata hatiku. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Ah… yang bener. Kamu nggak usah bohong, deh. Tu wajah tidak bisa berbohong. Ibarat cermin yang selalu jujur bila kita berada di depannya. Tul nggak? Ngomong dong…! Ayo…! Katanya kita friend’s!” Tebakan Hamid menerka apa yang aku pikirkan.
Aku melangkah pergi meninggalkan Hamid. Daripada malu lebih baik aku meninggalkannya. Aku merasa tidak enak, kalau masalahku diketahuinya. Khawatir bisa menjadi beban pikiran baginya. Hati ini terus bersuara, nanti dulu ceritanya karena bisa menyebabkan ia sedih punya teman sepertiku. Bukan kah seorang muslim yang baik itu adalah yang paling bermanfaat kepada muslim yang lainnya?
“Dra…! Dra…! Tunggu dulu. Kok kamu seperti itu? Apa kita nggak temanan lagi?” Teriakan Hamid kembali menjagakanku dari kecamuk pikiran ini. Galau memporak-porandakan harapanku. Hamid terus menuyusulku. Ia berjalan di sampingku dengan terus mematut-matut wajahku. Mungkin kalau aku cermin, tampaklah kerutan tujuh belas yang membuat wajah Hamid berkerut juga.
Perjalanan sepulang sekolah terasa hampa. Galau. Beban pikiran, harapan, dan kekecewaan bercampur aduk. Angin lembut siang itu menghembus asa di dada. Seolah-olah menyapu harapanku. Menerbangkannya jauh dari cita-cita. Apakah ini yan terbaik untukku? Atau ini pertanda kegagalanku menyenangkan hati ayah dan ibu? Seketika wajah ayah dan ibu hadir dalam imajinasiku. Wajah yang penuh harapan.
“Gimana, Nak? Benar yang kamu sampaikan kemarin? Ayah merasa tidak percaya. Ya kan, Bu?” Seraya menganggukkan kepala ke arah ibu.
“Betul, Dra. Ibu pikir, informasi itu belum benar. Ada sesuatu yang salah. Rasanya tidak mungkin seorang siswa yang cerdas tidak bisa lulus. Betulkan?”
Ibumu benar, Dra. Ayah sepakat. Keluarga kita, insya Allah keluarga berpendidikan. Selama ini, belum ada sejarahnya anggota keluarga kita yang tidak berhasil sesuai dengan bakat dan cita-citanya.” Ayah meyakinkan argumennya.
“Ayo, Dra. Ayah dan Ibu yakin kamu anak yang cerdas. Rajin tilawah dan tahajud. Tak mungkin rasanya Allah tidak mengabulkan do’a-do’amu.”
“Iya, kan.”
“Tit… tit… tit…” Klakson mobil bus kota sahut-menyahut menyapa para penumpang. Membuyarkan lamunan yang hadir dikepalaku. Harapan asa ayah dan ibu terus bergelayut dalam ingatan. Tanpa terasa aku telah sampai di Pasar Raya Kota Padang. Bus angkutan terus berpacu mencari penumpang. Mereka saling kebut berebut setoran. Angkutan kota (angkot) tak ketinggalan melaju cepat. Musik-musik keras menambah bising kota. “Dra! Dra…! Tunggu dong…! Cepat sekali langkahmu, seperti dikejar hantu aja. Hei! Wait me please!” Dengan nada kesal Hamid memanggilku. Langkahnya makin cepat. Menyusulku. Jarakku dengan Hamid sudah lima meter di depannya. Hamid menggurutu sekali dengan gelagatku kali ini.
Sebenarnya aku tidak ingin membuat Hamid kesal, tapi entah kenapa aku merasa orang paling sial hari ini. Kenapa nggak sial, teman-teman yang sama denganku ikut seleksi PMDK ke UI lulus semua di jurusan pilihan pertama mereka, sedangkan aku tidak. Kenapa? Kenapa?
“Baaa…! Tiba-tiba pundakku ada yang memukul serta merta aku menoleh.
“Astaaaghfirullah…! Apa-apa nih, Mid. Bisa copot jantungku. Mau kamu tanggung jawab. Hah!” wajahku memerah menatap muka Hamid. Wajah itu memancarkan sumringah senyum ikhlas.
“Kamu, sih. Nggak dengar aku. Ninggalin aku begitu saja. Kamu tau, Nggak? Kamu nggak seperti biasanya. Tidak seperti Hendra yang ku kenal.” Hamid menghalangi langkahku. Ia berdiri di depanku. Aku terpaku.
“Terserah. Aku lagi nggak mood sekarang.” Aku kesal. Serta merta kudorong tubuhnya ke arah kananku hingga ia terperanjat. Aku melangkah cepat menuju masjid. Deru mobil menemani perseteruan singkat kami. Sesekali menoleh ke belakang, Nampak Hamid geleng-geleng kepala memperhatikan tingkahku. Wajahnya terlihat kecewa penuh tanda tanya.
Panas Kota Padang terasa membakar kulit. Angin panas ikut menimpali kulitku sehingga sengatannya begitu pedih. Deru angkot menyesalkan. Mengacaukan pikiranku yang sedang sial hari ini.
“Allahu akbar! Allahuakbar!” Alhamdulillah sudah azan. Waktu zuhur sudah masuk. Langkah makin ku percepat menuju masjid Taqwa Muhammadiyah.
“Mid, aku shalat dulu ya!” sorakku kepada Hamid sambil melambaikan tangan. Ia hanya mengangguk. Hamid langsung naik angkot menuju rumahnya di Komplek Singgalang. Sepertinya ia masih kesal dengan sifatku tadi. Aku terkadang heran juga, kenapa aku keterlaluan pada Hamid? Padahal ia berniat baik untuk menghiburku, kerena ia bisa membaca pikiranku. Ia bisa memaknai kerut di keningku. Angkot yang ditumpangi Hamid terus melaju meninggalkanku. Menyisakan rasa sesal di dadaku. Hamid. Sorry friend’s.
Di tempat wudhu’. Aku basuh muka dengan harapan bisa membasuh kesal di wajah ini. Kubasahi kepala agar pikiran yang lagi kusut ini dapat dirapikan kembali bersama sejuknya air wudhu’ ini.
“Ya, Allah…! Hilangkanlah kegalauan yang menggelayut di kepala ini. Hapuskan ya, Allah… gundah-gulana di dada ini. Gugurkanlah sesak di hati ini mengiringi jatuhnya air wudhu’ ini, Aamiin” usai berwudhu’, aku langsung menuju ruang masjid untuk shalat zuhur berjama’ah.
”Allahuakbar.” Imam sudah takbir. Aku juga takbir menghambakan diri menghadap sang Khalik. Menyerahkan segala keluh kesah yang menyesak dada. Memasrahkan diri demi tercapainya harapan yang tersemat di hati. Empat rakaat shalat zuhur sudah berlalu. Ku sempurnakan dengan shalat sunat rawatib ba’da zuhur. Ku coba menata hati dan pikiran dengan mencurahkan semua kegalauan.
“Ya, Allah… mudahkanlah urusan hamba… Apakah ini takdirku? Jurusan inikah yang terbaik bagiku ya, ‘Aliim? Tapi ya, Ghafar… ya, Rahiiim…” bulir-bulir bening itu tak terbendung lagi. Menetes membasahi kedua pipiku. Aku larut dalam pecahnya tangis penuh harap ini. Harap Allah ijabah do’a ini. Amin.
Suaraku tersekat oleh isakan haruku yang tak terbendung. Aku terpaku diam di tengah-tengah lalu lalangnya jama’ah masjid usai shalat zuhur serta kesejukan memenuhi relung hatiku. Pikiran terasa fresh dan tenang. Seolah-olah cahaya ketenangan turus dari ‘Arasy sana. Alhamdulillah. Aku usap bening-bening yang membasahi pipiku. Aku segera ke luar masjid untuk pulang. Aku harus ceritakan semuanya kepada Ayah dan Ibu tentang hal ini. Ternyata kabar itu benar dan jelas, kerana langsung Pak Husen memperlihatkan data dan menjelaskannya padaku.
Di rumah. Ayah, ibu, dan Hadi telah menunggu. Mereka penasaran dengan informasi kelulusanku. Di kepala mereka berkelebat ketidakpercayaan. Benarkah? Penasaran menggelayuti ruangan. Hening.
“Tok-tok-tok! Assalamu’alaikumm Yah! Bu!”
“Wa’alaikumussalam!” Suara dari dalam rumah menyahut. Agak beda bunyinya. Koornya ramai sekali. Siapa, ya?
Pintu terbuka. Tangan Hadi menariknya serta-merta mataku tertancap pada wajah Hamid. Wajah yang selalu dihiasi dengan senyum tipisnya. Aneh. Terasa aura yang begitu beda. Semua pandangan bermuara pada wajahku. Apa…?
“Hamid! Kamu? Maafkan aku! I’m sorry my friend’s. Aku menyesal atas sikapku tadi. Aku lupa diri. Hariku terasa sial tadi itu. Maafin aku, ya! Kamu pasti kesal, kan?” Serta-merta aku jabat tangan Hamid. Mungkin aneh baginya, semua mata menatapku. Aku langsung jabat tangan ayah dan ibu bergantian menciumnya.
“Ado apo, Da? Kok tangan Da Hamid Uda cium? Seharusnya kan tangan Ayah Ibu dulu,” Hadi pun ikut heran.
“Ndak ado apo-apo, Di.” Balas Hamid.
“O, iya, Dra. Ajak Hamid duduk,” ungkap ayah tiba-tiba mencairkan keheranan.
“Yuk, Mid. Mari kita duduk di sana!” Ajakku seraya menunjuk kursi-kursi di ruang tamu. Ayah, ibu, dan Hadi mengikutiku menuju ruang tamu.
“Silahkan Nak, Hamid. Ibu ke belakang dulu, ya.” Basa ibu.
“Makasih, Bu.” Sambil mengangguk kepala seraya diiringi seutas senyum.
Suasana hening memenuhi ruang tamu. Mataku melirik sesekali kepada Hamid, ayah, dan Hadi. Tatapan mereka sepertinya menantikan sesuatu dariku. Aku jadi gelagapan. Bingung mau bicara apa? Mulut terasa kelu bersuara.
“Kenapa diam Di? Ayah? Hamid?” Aku beranikan diri memecah kebekuan. Ibu datang dengan membawa lima gelas es sirup melon. Semua pandangan beralih ke arah ibu.
“Diminum dulu sirupnya Nak Hamid!” Sapa ibu seraya meletakkan secangkir es sirup melon di depan Hamid kemudian kepadaku, ayah, dan Hadi. Ibu langsung duduk di samping ayah. Hadi angkat bicara.
“Da ba a jadinyo? Di jurusan apo uda lulus?”
Aku terperanjat mendengarkan pertanyaan Hadi. Pertanyaan yang harus aku jawab dengan jelas. Ayah, ibu, dan Hamid mematut mimik wajahku yang bingung. Harus mulai dari mana? Aku nggak mau mengecewakan Ayah, ibu, dan Hadi juga.
“Kok bengong, Dra?” Sentak ibu.
“Ceritakan informasi itu, Dra. Ibu dah nggak sabaran, nih. Kamu akan jadi mahasiswa, kan? Harus yakin dan percaya diri. Lihat Ayah tu, sudah siap untuk mendengarkan ceritamu.”
Aku menelan ludah. Adrenalinku segera menghadirkan keberanian untuk bicara. Bismillah. Allahu ma’i.
“Ibu, ayah, Hadi, dan Hamid. Alhamdulillah aku lulus di Universitas Indonesia Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia. Inilah informasi yang pasti, Bu” Wajah ibu mengguratkan mimik tidak percaya. Hening. Bagaimana dengan ayah, Hadi, dan Hamid?
*Kok Dapek Nan di Hati: Seandainya Sesuai dengan Harapan
Biodata Penulis:
Ali Usman lahir di Padang, 25 Februari 1982. Memiliki satu istri dan empat orang mujahid dan mujahidah. Sehari-hari bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Pernah beberapa kali terpilih sebagai kepala sekolah berprestasi tingkat Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat.
Cerita Inspiratif dan Kegagalan untuk Fokus pada Tema
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumbar)
Ragdi F Daye (2021) memberi catatan khusus untuk cerpen “Kok Dapek Nan di Hati,” karya Ali Usman ini pada pengantar Kumpulan Cerpen berjudul Idul Fitri untuk Ibu (2021). Catatan khusus itu memuat kata kunci “pilihan kekalahan”. Artinya, secara sederhana cerpen karya Ali Usman ini mengisahkan pada tema-tema kalah dari nasib yang dialami tokoh utama yang diceritakan dalam cerita.
Lebih jauh Ragdi F Daye menyampaikan bahwa tidak ada petualangan yang lebih jauh daripada keseharian yang meremukkan siapa pun yang ada di dalamnya. Apa pun yang menjadi akar permasalahan—mulai yang personal, relasi seseorang dengan keluarga inti, sampai usaha merengkuh impian yang bahkan sebenarnya tidak muluk-muluk—mereka, tidak pernah ada buah ranum yang merekah di akhir cerita.
Cerpen “Kok Dapek Nan di Hati,” menceritakan perjuangan seorang tokoh bernama Hendra, seorang siswa SMA di Padang yang sedang berjuang untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri. Singkat cerita Hendra digambarkan sebagai tokoh yang rajin, pekerja keras (dalam bahasa penulis rajin berdoa dan berikhtiar) untuk lulus di perguruan tinggi ternama di Indonesia. Perguruan tinggi itu tentunya yang dia impikan dan mungkin juga menjadi impian sebagian besar anak-anak SMA di Indonesia ini.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, Hendra tidak lulus pada jurusan yang dia inginkan baik melalui jalur mahasiswa undangan maupun jalur seleksi masuk resmi. Di akhir cerita Hendra lulus di jurusan yang merupakan pilihan kedua pada sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Walau pilihan kedua, Hendra tetap bersyukur atas takdir itu. Selain Hendra, keluarganya juga bersyukur atas apa yang diperoleh Hendra tersebut.
Dalam bahasa Ragdi F. Daye cerpen ini menggambarkan seolah segalanya terasa kelabu dan beku seolah warna-warni cerah tidak pernah tercipta. Cerpen ini menampilkan orang yang kalah ketika ada tokoh yang telah mencapai kemenangan. Ia tetap melakukan semacam otosabotase atas kemenangan itu. Inilah yang terjadi pada cerpen “Kok Dapek Nan di Hati,” seperti dalam kutipan berikut ini:
“Tapi kamu diterima di Jurusan Sastra Indonesia. Pilihan kedua. Gimana, Dra?” Suasana agak sedikit cair dengan penjelasan ini. Aku terpaku mendengar pernyataan itu. Mereka berusaha menimpali. Menghibur dan menenangkan hatiku. Namun, risau menyerbu hatiku. Galau mengacaukan pikiranku.
Selaksa harapanku sirna. Aku tertegun mendengar perngumuman itu. Hampa terasa dunia. Aku tidak menyangka bisa seperti itu. Rasanya tidak mungkin. Aku sudah memaksimalkan ikhtiar. Lantunan doa pun selalu mengiringi usaha itu. Hatiku berkecamuk tidak menentu. Galau merisaukan perasaanku. Kenapa? […]
“Ibu, Ayah, Hadi, Hamid. Alhamdulillah aku lulus di Universita Indonesia Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia. Inilah informasi yang pasti, Bu” Wajah ibu mengguratkan mimik tidak percaya. Hening. “Bagaimana dengan Ayah, Hadi dan Hamid?”
Mengakhiri catatannya, Ragdi F Daye menyampaikan bahwa kekecewaan tentu merupakan kewajaran. Bagaimana pun yang terjadi pada Hendra adalah sebentuk ketidakbersyukuran yang justru menghancurkan yang semestinya hari bahagianya. Bukankah pilihan kedua tetap sama-sama sesuatu yang dipilihnya sehingga ia pun sejatinya telah meraih keinginannya?
Sebenarnya melalui cerpen ini pembaca dapat mengambil pelajaran bahwa setiap perjuangan akan menghasilkan sesuai dengan bobot perjuangan itu. Sebaliknya, setiap hasil merupakan buah dari perjuangan yang telah dilakukan seorang anak manusia sebagai hamba Sang Pencipta di dunia ini. Dalam kasus tokoh Hendra dalam cerpen ini hasil yang diperoleh Hendra pada dasarnya adalah buah dari perjuangannya dan hal itu patut disyukuri.
Secara garis besar, cerpen ini memiliki pesan moral agar pembaca ikhlas menerima segala takdir yang telah ditetapkan Allah SWT kepada sang hamba. Selain itu, tentunya nasib sebagaimana artinya tetap harus diperjuangkan agar menjadi takdir terbaik bagi manusia. Hal lain yang tak kalah penting sebelum nasib itu menjadi takdir adalah mengiringinya dengan doa-doa terbaik kepada Allah SWT.
Pesan moral yang dimuat dalam cerita ini tentu tidak salah. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi yang diterbitkan Gajah Mada University Press, Yogyakarta tahun 2012 menyampaikan bahwa moral dalam karya sastra merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya yang merupakan makna yang terkandung dalam cerita.
Moral dalam cerita merupakan cerminan pandangan hidup pengarang. Sikap dan tingkah laku tokoh dalam cerita merupakan pandangan mengenai moral yang diterapkan oleh pengarang. Moral dalam cerita merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan.
Lebih jauh Nurgiyantoro menyampaikan istilah “bermoral”mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang bersifat relatif. Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life, bangsanya. Pesan moral dalam sastra lebih memberat pada sifat kodrati manusia yang hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan, dan dihakimi manusia.
Sementara itu, jika dilihat kekurangan cerpen ini, kalau pembaca cermat membacanya maka akan ditemukan bahwa cerpen ini kadang tidak fokus pada cerita dan tema awal yang sudah ditulis penulis. Contohnya hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
Klakson mobil bus kota sahut-menyahut menyapa para penumpang. Membuyarkan lamunan yang hadir dikepalaku. Harapan asa Ayah dan Ibu terus bergelayut dalam ingatan. Tanpa terasa aku telah sampai di Pasar Raya Kota Padang. Bus angkutan terus berpacu mencari penumpang. Mereka saling kebut berebut setoran. Angkutan kota (angkot) tak ketinggalan melaju cepat. Musik-musik keras menambah bising kota. “Dra! Dra…! Tunggu dong…! Cepat sekali langkahmu, seperti dikejar hantu aja. Hei! Wait me please!” Dengan nada kesal Hamid memanggilku. Langkahnya makin cepat. Menyusulku. Jarakku dengan Hamid sudah lima meter di depannya. Hamid menggurutu sekali dengan gelagatku kali ini. (Usman, 2021).
Kutipan di atas menunjukkan betapa penulis menyeret pembaca pada pikirannya yang tidak fokus tersebut. Kalimat pertama pada kutipan ini boleh diterima sebagai pengantar situasi/latar yang disampaikan penulis. Sementara itu, kalimat selanjutnya dapat dilihat bagaimana penulis menghubungkan situasi hiruk pikuk kota tersebut dihubungkan dengan masalah tokoh utama di dalam cerita. Pada kalimat selanjutnya ketika penulis menceritakan bagaimana bus kota saling berpacu mencari penumpang, kemudian mereka digambarkan berebut setoran dan bahkan juga dibahas bagaimana Angkot juga terlibat dari saling rebutan setoran tersebut, hal ini sudah tidak relevan dengan cerita atau tema utama dari cerita. Menurut saya, terlalu jauh menggambarkan situasi tertentu sehingga menyeret pembaca keluar dari topik utama cerita ini.
Hal tersebut sangat jelas jika dilanjutkan pada kalimat selanjutnya di mana penulis juga membahas kendaraan umum itu yang saling berpacu dan juga bagaimana membunyikan musik di atas kendaraan umum dengan volume yang sangat keras. Hal ini bahkan membuat penulis seolah terjebak dari godaan untuk menceramahi pembaca dengan mengatakan bahwa musik pada kendaraan umum tersebut hanya membuat bising suasana kota saja. Hal tersebut dalam pandangan saya tidak perlu dilakukan penulis. Seharusnya cerita ini tetap fokus pada persoalan Hendra dengan cita-citanya yang menjadi tema utama.
Selain kesalahan yang sudah dibahas di atas, hal yang cukup mengganjal dalam cerpen ini adalah tentang dialog yang digunakan tokoh yang mencampuradukkan bahasa. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
“Hamid! Kamu? Maafkan aku! I’m sorry my friend’s. Aku menyesal atas sikapku tadi. “Ado apo, Da? Kok tangan Da Hamid Uda cium? Seharusnya kan tangan Ayah Ibu dulu” Hadi pun ikut heran.
“Ndak ado apo-apo, Di.” Balas Hamid.
“O, iya, Dra. Ajak Hamid duduk.” Ungkap Ayah tiba-tiba mencairkan keheranan.
“Yuk, Mid. Mari kita duduk di sana.!”
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bagaimana penggunaan bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris dalam dialog-dialog tokohnya. Kita bisa memahami bahwa maksud penulis barangkali ingin menciptakan suasana yang alami dalam gaya berbahasa anak muda sekarang. Namun, hal penting yang harus dipahami adalah cerita ini akan dibaca oleh orang-orang yang tidak hanya dari latar budaya Minangkabau. Masyarakat di luar Minangkabau akan susah memahami dialog yang menggunakan bahasa daerah apalagi hal tersebut tidak merupakan bahasa umum. Apalagi tidak ada penjelasan berupa catatan di akhir cerita untuk menjelaskan makna bahasa daerah atau bahasa asing tersebut.
Terlepas dari kekurangan cerita ini, hal yang paling utama adalah penulis sudah berhasil menyuguhkan sebuah kisah inspiratif yang mudah-mudahan bermanfaat untuk pembaca. Selain itu, bagi penulis sendiri mudah-mudahan cerpen ini bukan cerpen terkahirnya. Cerpen ini menjadi bagian atau rangkaian panjang dari proses kreatif penulisnya. Semoga ke depan penulis menghasilkan karya-karya yang inspiratif dan bermutu untuk pembaca karya sastra di Indonesia. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post