Ria Febrina, S.S., M.Hum.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Tidak banyak yang tahu bahwa Ferdinand de Saussure dibesarkan oleh kolega dan mahasiswanya. Buku Linguistik Umum yang dijadikan pedoman oleh linguis pada hari ini ternyata merupakan pemikiran Ferdinand de Saussure yang dicatat oleh mahasiswa dan kolega selama beliau masih hidup. Catatan tersebut lahir dari perkuliahan dan seminar yang diberikan oleh Ferdinand de Saussure di tanah kelahirannya, di Jenewa, Swiss. Pada tahun 1906, universitas memberinya tanggung jawab untuk mengajarkan linguistik umum. Namun, pada musim panas tahun 1912, Ferdinand de Saussure jatuh sakit dan meninggal pada bulan Februari 1913 dalam usia 56 tahun. Mahasiswa dan kolega pun mengumpulkan karyanya dalam perkuliahan dan menerbitkan menjadi sebuah buku.
Mereka menggarap dari catatan yang ditulis oleh mahasiswa dengan tambal sulam dan membandingkan antarcatatan untuk mendapatkan gagasan yang memadai. Hal tersebut kemudian menjadi karya luar biasa melalui buku Course in General Linguistics yang kemudian menjelaskan pengaruh dan reputasi Ferdinand de Saussure dalam bidang ilmu linguistik. Oleh karena itulah, kita mengenal Ferdinand de Saussure sebagai Bapak Linguistik modern yang dikenal dengan pandangan keilmuannya mengenai strukturalisme. Memang ia bukan orang pertama yang mengemukakan strukturalisme, tetapi landasan filosofis yang digagas Ferdinand de Saussure menjadi nilai filosofis dalam memahami arus strukturalisme.
Jika sekarang kita menyebut istilah arbitrer, istilah tersebut berakar dari Ferdinand de Saussure. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2021), arbitrer bermakna ‘sewenang-wenang’ dan ‘manasuka’. Karena itulah, banyak peneliti atau sarjana muda yang mengenal arbitrer dengan makna ‘manasuka’. Manasuka yang dimaksudkan tidak semata-mata sesuka hati pengguna bahasa, tetapi berkaitan dengan kesepakatan yang digunakan oleh pengguna bahasa mengenai satu hal, satu topik, atau satu benda yang dibahas.
Barangkali kata download dan upload—tidak akan cepat mengubah pemikiran pengguna bahasa Indonesia—menjadi unduh dan unggah dalam beberapa tahun terakhir jika Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia dan juga ahli bahasa tidak nyinyir menyampaikan kepada publik. Manasuka ini bermaksud pada kesepakatan bersama—yang tentunya didorong oleh para ahli—untuk memilih satu istilah yang tepat. Pemilihan unduh dan unggah tentunya didasarkan pada kebijakan bahwa kata tersebut merupakan milik kita sebagai pengguna bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan download dan upload yang merupakan bahasa Inggris.
Bahasa bersifat arbitrer inilah yang kemudian paling banyak menyelamatkan sejumlah istilah dan kosakata dalam bahasa Indonesia agar tetap utuh digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia pada hari ini, khususnya di tengah-tengah terjangan istilah dan kosakata dari berbagai bahasa asing. Melalui prinsip manasuka, Ferdinand de Saussure mengungkapkan bahwa tanda linguistik bersifat arbitrer karena tidak ada hubungan alamiah antara tanda (signified) dan penanda (signifier). Jadi, apa itu bahasa? Bahasa pada dasarnya adalah sistem tanda. Bunyi-bunyi yang berupa kategori fatis, seperti [eeee], [mmm], [eeengg], dan [aaaa] tidak akan bermakna, sedangkan rangkaian bunyi yang terdiri atas /b/, /u/, /k/, dan /u/ dan membentuk sebuah kesatuan /buku/ akan dapat menyebabkan orang lain membayangkan sebuah benda persegi panjang yang berupa lembar-lembar kertas yang berjilid, baik yang berisi tulisan maupun yang kosong.
Menurut Saussure, itulah bahasa. Bahasa merupakan kumpulan pola atau kumpulan kaidah yang kemudian disebut sebagai sistem. Ketika orang-orang memahami rangkaian bunyi yang bermakna tadi menunjukkan sebuah benda yang disebut buku, sebenarnya sudah terbentuk sistem berupa fonem atau satuan bunyi yang dapat membedakan makna. Rangkaian yang membentuk kata /buku/ tersebut diasosiasikan dengan benda yang dimaksud. Ada atau tidaknya benda tersebut, ketika seseorang mengucapkan urutan bunyi itu, orang lain akan serta-merta mengasosiasikannya dengan benda yang dimaksud.
Gagasan Ferdinand de Saussure
Ada gagasan yang paling mendasar dari Saussure yang sangat kita kenal saat ini. Pertama, diakronis dan sinkronis. Ferdinand de Saussure menyadari sifat historis dari sebuah bahasa. Bahasa selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Oleh karena itu, dalam pandangan Ferdinand de Saussure, sangat penting melihat pembedaan yang jelas antara fakta-fakta kebahasaan sebagai sebuah sistem (sinkronis) dan fakta-fakta kebahasaan yang mengalami evolusi (diakronis).
Ferdinand de Saussure sangat menyadari fakta-fakta tersebut karena sejak menjadi mahasiswa, ia sudah melakukan kajian mengenai bahasa. Beranjak dari membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of Language: and Outline of Linguistic Science (1875), Ferdinand de Saussure juga melahirkan sebuah buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles dans les langues indo-européennes atau Catatan tentang Sistem Vokal Purba dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa (1878). Bahkan, pada tahun 1880, ia mendapat gelar doktor dengan prestasi gemilang summa cum laude dari Universitas Leipzig dengan disertasi yang berjudul De l’emploi du génetif absolu en sanscrit atau Kasus Genetivus dalam Bahasa Sansekerta.
Persinggungan Ferdinand de Saussure dalam mengkaji bahasa ini yang kemudian menetapkan pemikirannya bahwa dalam memahami bahasa sebagai sebuah sistem, perlu mengkaji bahasa secara sinkronis (dalam satu masa). Menurut Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra (2006) dalam Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, pembedaan sinkronis dan diakronis ini merupakan rentetan dari pandangan Ferdinand de Saussure antara hubungan tanda dan penanda yang arbitrer (Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra (2006) menyebutnya dengan tinanda dan penanda yang arbitrer).
Jika ada hubungan tertentu antara tinanda dan penanda yang tidak semena-mena, relasi tersebut akan menghambat setiap perubahan yang terjadi pada setiap tanda kebahasaan. Sementara itu, dari masa ke masa, kita sama-sama melihat bahwa tanda kebahasaan selalu berubah. Oleh karena sifat arbitrer itulah, tanda kebahasaan tunduk pada sejarah. Culler (dalam Putra, 2009: 46) menyatakan bahwa kombinasi antara sebuah penanda dengan sebuah tinanda pada suatu waktu merupakan hasil dari proses sejarah.
Kedua, langue (bahasa) dan parole (tuturan). Menurut Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics, secara historis, tuturan selalu didahulukan. Meskipun demikian, bahasa lebih bersifat kolektif dan homogen, sedangkan berbicara tidak kolektif, bersifat individual dan bergantung pada kehendak pembicara. Dengan demikian, bahasa diatur oleh pikiran yang digabungkan dengan suara. Perpaduan suara dan pikiran menghasilkan suatu bentuk. Bentuk tersebut bagi Saussure berwujud ada.
Salah satu wujud bahasa dapat berupa kata. Kata inilah yang mengungkapkan ide dalam suara dan suara menjadi tanda sebuah ide. Namun, suara tersebut hanya ada melalui makna dan fungsinya sebagaimana dijelaskan dalam konsep kehadiran kata buku tadi. Kita dapat deskripsikan bahwa makna buku tadi dapat sampai kepada seseorang karena parole yang diwujudkan sudah berada dalam sistem langue yang sama, yakni sama-sama berbahasa Indonesia. Jadi, parole merupakan ujaran yang dihasilkan individu, sedangkan langue merupakan bahasa yang sudah disepakati bersama.
Ketiga, form (wadah) dan content (isi). Menurut Ferdinand de Saussure, sebuah kata bermakna karena berbeda dengan kata lainnya. Misalnya, kata buku dapat dibedakan menurut bunyinya dengan baku. Namun, secara kontekstual, kata tersebut dapat dibedakan dengan pensil, pena, dan penghapus atau dengan kamus dan ensiklopedia. Dengan perbedaan tersebut, identitas kata buku pun menjadi ada. Bagi Ferdinand de Saussure, hal-hal yang membedakan bentuk berupa baku sebagai wadah sebuah bahasa dan juga antara pensil, pena, dan penghapus; kamus dan ensiklopedia sebagai isi sebuah bahasa, itulah yang menyebabkan lahirnya sebuah kata berupa buku tadi. Artinya, sebelum sebuah kata ditandai dalam sebuah bahasa, kata tersebut belum bermakna apa-apa. Oleh karena itu, Ferdinand de Saussure sampai pada pandangan bahwa bahasa adalah seperangkat perbedaan–perbedaan, yaitu perbedaan-perbedaan suara yang dikombinasikan dan digabungkan dengan perbedaan ide. Inilah yang kemudian menjadi bagian penting dari gagasan Ferdinand de Saussure.
Keempat, sintagmatik dan paradigmatik. Ferdinand de Saussure mengklaim bahwa sebuah tanda bermakna karena tanda itu berbeda dengan tanda lainnya. Perbedaan itu dapat bersifat sintagmatik atau paradigmatik. Sintagmatik adalah sesuatu yang sama yang dapat dibandingkan dengan sesuatu yang lain yang menentukan nilai tanda itu, sedangkan paradigmatik adalah sesuatu yang tidak sama yang dapat ditukarkan dengan sesuatu yang lain yang menentukan nilai tanda itu. Chandler dalam Semiotics: The Basics mengungkapkan bahwa sintagmatik menyangkut penempatan, sedangkan paradigmatik menyangkut penggantian atau substitusi. Hubungan sintagmatik bersifat horizontal, sedangkan hubungan paradigmatik bersifat vertikal.
Kita dapat analogikan pada sebuah kalimat. Sebuah kalimat terdiri atas sejumlah elemen berantai yang saling berhubungan antara subyek, predikat, obyek, keterangan atau fungsi sintaktis lainnya. Hubungan antar-elemen itu merupakan hubungan sintagmatik. Sementara itu, sebuah elemen dalam kalimat itu dapat digantikan oleh tanda lain yang berasal dari paradigma yang sama. Misalnya, subyek mereka dapat diganti oleh saya, kami, dan dia. Hubungan antara pronomina satu dan lainnya yang dapat menempati posisi subyek merupakan hubungan paradigmatik.
Dengan mencermati gagasan strukturalisme Ferdinand de Saussure tersebut, memang tampak bahwa ia lebih menekankan pada aspek linguistik yang berupa bahasa, sistem tanda, simbol, maupun kode dalam bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, tak heran jika Ferdinand de Saussure dikenal sebagai bapak linguistik yang sangat kompeten dalam menganalisis makna dibalik teks bahasa maupun simbol-simbol yang melatarbelakanginya.
Keberhasilan Ferdinand de Saussure dalam mempelopori kajian linguistuk ini tak lepas dari kegigihannya dalam mengkaji bahasa. Satu hal yang juga perlu kita ketahui bahwa Ferdinand de Saussure awalnya tidak kuliah di jurusan bahasa. Linguis kelahiran 26 November 1857 ini berasal dari klan tertua dan terpandang di Jenewa dengan pendiri bernama Mongin atau Mengin Shouel.
Dalam tradisi keluarga, ia diwajibkan kuliah di bidang sains, seperti fisika dan kimia. Oleh karena itu, pada tahun 1875, Saussure masuk ke Universitas Jenewa karena mengikuti tradisi keluarga sebagai mahasiswa fisika dan kimia. Namun, bisa dibilang kalau Ferdinand de Saussure kuliah dengan ogah-ogahan. Pada tahun pertama, ia tidak memanfaatkan waktu untuk kuliah. Karena tidak ada perkembangan, ia pun meminta kepada orang tua untuk mengizinkannya belajar bahasa Indo-Eropa di Universitas Leipzig. Universitas tersebut merupakan pusat bagi ahli sejarah bahasa, yakni Junggrammatiker atau Neo-grammarian (Tata Bahasawan baru).
Di perguruan tinggi inilah, Saussure belajar bahasa dari tokoh besar linguistik, seperti Brugmann dan Hübschmann. Ia pun menemukan kecocokan pemikirannya dengan para linguis. Bahkan, semasa studi, Saussure menemukan konsep bunyi sengau. Namun, penemuan Saussure tersebut ditolak oleh para linguis terkenal karena bertentangan dengan hipotesis yang ada. Namun, gurunya, Brugmann, mempelajari, menguatkan penemuannya, dan melahirkan hukum bunyi-bunyi sengau.
Sebuah riwayat yang tak akan banyak dialami oleh para linguis lainnya. Tak salah memang jika setelah lulus dari universitas tersebut, Saussure diterima di Paris dan mengajarkan bahasa Sanskerta, bahasa Gothic, dan bahasa Jerman Tinggi di Ecole pratiques des hautes erudes. Tak hanya mengajar, Ferdinand de Saussure juga aktif dalam komunitas Masyarakat Linguistik di Paris dan memiliki pengaruh dalam membentuk generasi linguis Paris. Pada tahun 1891, ia memutuskan kembali ke Swiss meskipun koleganya memberinya penghargaan dengan gelar Chevalier de la Legion d’Honneur. Sebuah gelar tertinggi pada masa itu. Namun, dari kepulangan inilah, Ferdinand de Saussure mengembangkan gagasan lingusitik yang kita pegang hingga hari ini.
Dari Ferdinand de Saussure, kita bisa belajar arti mencintai. Sebagaimana sebuah pandangan, “Kerjakan apa yang kamu cintai dan cintai apa yang kamu kerjakan!”.
Discussion about this post