Elly Delfia, S.S., M.Hum.
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia Unand dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora UGM)
Kekompleksitasan teks dapat dipahami salah satunya dengan hermeneutik. Hermeneutik merupakan ilmu tentang seni interpretasi atau penafsiran teks. Dalam artikel yang berberjudul “Complex Texts: Analyzing, Understanding, Explaining, and Interpreting Meaning“, Ruth Wodak (2011) menjelaskan kekompleksitasan teks dan hermeneutik. Wodak berpandangan bahwa teks dapat dianalisis, dipahami, dijelaskan, dan ditafsirkan maknanya melalui hermeneutik.
Wodak menjelaskan pendekatan teoretis dan metodologis hermeneutik dalam ilmu sosial humaniora secara sistematis dan kualitatif. Menurut Wodak, hermeneutik merupakan teori paling menarik dalam ilmu sosial humaniora. Ia mengelompokkan hermeneutik ke dalam tiga bagian, yaitu hermeneutik klasik, hermeneutik objektif, dan hermeneutik kritis. Ia juga berpendapat bahwa dalam hermeneutik, kritik terhadap teks mensyaratkan tiga hal yang disebut dengan trikotomi, yaitu 1) fokus menjelaskan, 2) menafsirkan, dan 3) mengkritik.
Wodak juga menyebut pendekatan lain, seperti resource hermeneutic arc yang terlihat mengabaikan bagian penting struktur dan dimensi material dari konteks dan juga kritik refleksi diri. Selain itu, Wodak menyatakan kebanyakan intuisi dan spekulasi nonstransparan dalam hermeneutik boleh jadi melebihi, seperti melebihi sejarah, kebudayaan, linguistik, dan pengetahuan filologi secara sistematis serta eksplisit tergabung ke dalam analisis teks dan wacana.
Dalam kajian hermeneutik, teks pada dasarnya bukanlah sesuatu yang kosong belaka. Teks harus diberi makna dan ditafsirkan agar manusia memperoleh manfaat dari teks tersebut. Teks merupakan sesuatu yang mengandung memiliki kekompleksitasan makna. Hermeneutik dipandang sebagai seni menjelaskan teks sebagai manifestasi kebudayaan, khususnya teks dalam arti yang lebih luas. Teks juga harus dipastikan memiliki validitas dan kecukupan interpretasi serta proses pemahaman terkait objek seni yang dijelaskan. Seni dalam hal ini tidak tergantung pada deskripsi sistematis, kategorisasi, atau analisis dalam bentuk dan isi serta konteks dari bahasa yang digunakan (Wodak, 2011:624).
Teks dalam hermenutik tidak hanya tentang bentuk, fungsi, dan makna yang tertulis seperti halnya teks dalam sudut pandang linguistik. Teks dalam hermeneutik tidak terikat pada sistematika. Penafsiran teks juga bisa lebih bebas dan luas. Penafsiran teks dalam hermenutik juga meliputi bagian yang tersirat dari makna dan menjelaskan hubungan yang lebih luas antara teks tertulis dengan perilaku manusia dan interaksi yang lebih bermakna yang dilakukan oleh manusia. Berbeda dengan analisis linguistik, bentuk dan isi tentu saja menjadi bagian penting dalam menjelaskan kausalitas keilmuan. Dalam hermeneutik, penafsiran makna tidak terikat pada sistem dan struktur. Segala kebudayaan dan kebiasaan manusia bisa ditafsirkan secara lebih menyeluruh (holistic). Hermeneutik menafsirkan hubungan makna perilaku manusia dan setiap interaksi manusia diyakini bermakna dan masuk akal. Teks dalam hermeneutik terdiri atas berlapis-lapis makna (the meaning layer). Dalam beberapa bagian, analisis teks dengan teori hermeneutik mempunyai kemiripan dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Perbedaan yang mencolok di antara keduanya adalah terletak pada penerapan kritik yang terus-menerus. Pendekatan analisis wacana kritis juga memiliki trikotomi, yaitu 1) penjelasan, 2) interpretasi, dan 3) kritik.
Wodak membagi hermeneutik atas tiga, yaitu hermeneutik klasik atau hermeneutic arc, hermeneutik objektif, dan hermeneutik kritis. Hermeneutik klasik fokus pada setiap teks sebagai indeksikal untuk struktur interaksi tertentu. Pandangan hermeneutik klasik dikemukakan oleh Paul Ricoeur (1974), sedangkan hermeneutik objektif tidak dapat diterapkan terhadap pembaca yang berasal dari komunitas sosial yang sama. Pembaca atau penafsir teks harus berasal dari komunitas lain agar ia dapat menafsirkan teks secara objektif. Dalam hermeneutik objektif, pengetahuan dan keahlian linguistik dihilangkan dan tidak diperhitungkan. Penafsiran teks murni dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, agama, dan aspek lain di luar bahasa dalam perspektif mikro. Banyak salah tafsir yang menonjol dapat dihindari jika analisis teks dengan pengertian linguistik, retorika, dan pragmatik, atau dengan pertimbangan teori argumentasi.
Selanjutnya, hermeneutik kritis. Wodak menyebut istilah hermeneutik kritis terinspirasi dari filsuf dan sosiolog, Jurgen Habermas. Habermas berpendapat bahwa sebagai aspirasi universalis, hermeneutik kritis hanya dapat dipertahankan jika tradisi diasumsikan sebagai situs kebenaran dan pemahaman praktis merupakan kebohongan serta kekerasan yang berlangsung terus-menerus. Menurut Habermas, dalam fenomena hermeneutik, penggunaan bahasa tergantung pada proses sosial dan material. Jadi, tidak hanya linguistik secara alami, tetapi juga bahasa merupakan dominasi dan kekuatan sosial yang berfungsi melegitimasi kekuasaan yang terorganisasi dan mengandung ideologi. Ia juga menjelaskan bahwa teori kritis dan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis atau CDA) bertujuan mengungkapkan hubungan kekuasaan dan jaringan yang ada di dalamnya agar terlihat ke permukaan. Pendapat Habermas mengacu pada konsep psikoanalisis Sigmund Freud sebagai prototype hermeneutika yang mendalam. Wodak juga menggabungkan pemahaman dan penjelasan hermeneutik kritis ke dalam ilmu yang berorientasi pada refleksi diri sesuai dengan pernyataan Habermas bahwa komunikasi yang terdistorsi dan realisasi kekuasaan akan tampak nyata sehingga dapat direfleksikan dan dapat diubah. Hermeneutik kritis mendukung gagasan refleksi diri. Sehubungan dengan ini, muncul kritik terlepas dari kebutuhan memahami dan menjelaskan teks. Bagi Habermas, wacana selalu inheren dan terkait dengan tindakan.
Berbeda dengan Habermas, Karl Otto Apel mengusulkan trikotomi metodologis yang menuntut penjelasan ilmiah sosial dan pemahaman historis tentang hermeneutik dalam memaknai tradisi. Hal terminus atau kekurangan dari mediasi dialektis dan pemahaman dialektis disebut kritik ideologi. Teks dan konteks dapat dilihat dengan pendekatan banyak tingkatan dan banyak lapis makna. Lapis makna dilihat dengan pendekatan pragmatik linguistik yang mempelajari berbagai tindakan komunikatif. Ini bertentangan dengan penelitian linguistik mikro yang mengabaikan konteks situasional, struktural, dan sosiolinguistik.
Wodak juga fokus pada DHA (Discourse Historical Approach). DHA memungkinkan analisis lebih sistematis, eksplisit, dan transparan terhadap teks sehingga dapat ditarik dimensi historis, yaitu intertekstual dari praktik diskursif dengan mengeksplorasi wacana tertentu yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Hermeneutik dan analisis wacana kritis dapat menjadi salah satu pendekatan yang digunakan untuk menafsirkan, menganalisis, dan memaknai teks. Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara kerjanya. Analisis wacana kritis mempercayai trikotomi yang membuat penafsiran terhadap teks lebih sistematis, sedangkan hermeneutik tidak terikat pada sistematika dan bisa menciptakan interpretasi yang lebih luas terhadap sebuah teks.
Bagian yang menarik dari hermeneutik dan analisis wacana kritis adalah bahwa teks tidak hanya bisa dibuka, dibongkar, dan dimaknai sebatas teks semata. Penafsiran teks juga dihubungkan dengan konteks lain di luar teks, seperti agama, politik, dan aspek sosial budaya. Hermeneutik dan analisis wacana kritis hadir sebagai pencerahan terhadap kajian linguistik mikro yang cenderung sistematis dan terbatas. Linguistik mikro yang hanya bicara tentang struktur bahasa sebagai jalinan struktur teks yang kompleks mulai dari fonem, morfem, frasa, klausa, kalimat, dan teks, paragraf hingga wacana tanpa dikaitkan dengan aspek sosial budaya penutur bahasa.
Pandangan-pandangan teoretis para ahli tentang keberadaan hermeneutik dan analisis wacana kritis sangat berguna untuk legitimasi dan kekuatan kedua teori ini, apalagi dalam menjelaskan objek dan masalah kebahasaan yang berkaitan dengan konteks sosial budaya. Pandangan para ahli menjembatani hermeneutik dan analisis wacana agar dapat diterima dan digunakan sebagai teori dan metode dalam penelitian kebahasaan. Hermeneutik dapat digunakan untuk menafsirkan atau menginterpretasi berbagai macam teks-teks, seperti menafsirkan ayat-ayat atau firman Tuhan dalam kitab suci Bibel dan Alquran, hadits-hadits, teks-teks filologi, novel, cerpen, puisi, lukisan, seni patung, dan karya seni lainnya. Kehadiran hermeneutik penting sebagai sebuah paradigma ilmu pengetahuan untuk memahami, memaknai, dan menafsirkan teks yang ada di sekitar kita agar kita menjadi lebih arif dan bijaksana dalam memahami dan menjalani kehidupan.
Discussion about this post