Fikrul Hanif Sufyan
(Pemerhati Sejarah dan Ketua PUSDAKUM Muhammadiyah Sumatera Barat)
Tubuh tambun, berkumis lebat, suara menggelegar, dan tulisan bernada pedas. Demikian ciri khas dari Laki-laki yang lahir di Nagari Koto Laweh Kabupaten Tanah Datar pada 1895. Namanya sudah menginternasional karena gerakan protes yang dibangunnya untuk menentang kapitalisme dan kolonialisme itu diabadikan dalam beberapa literatur yang ditulis Harry J. Benda, Ruth McVey, Audrey Kahin, Joel S. Khan, Jeffrey Hadler, dan lainnya.
Semasa hidupnya, Ahmad Chatib gelar Datuk Batuah yang berasa dari Suku Guci itu, pada usia delapan tahun sudah berangkat ke Mekah, untuk mendalami Islam pada Syekh Ahmad Chatib El Minangkabawi, seorang imam Masjidil Haram bermazhab Syafii. Beberapa tahun berikutnya, Haji Datuk Batuah mendalami Islam pada murid terbaik Ahmad Chatib bernama Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) ayah dari HAMKA di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Kecerdasan dan kepiawaiannya menguasai ilmu agama, mendorong HAKA merekrut dirinya menjadi guru bantu agama dan pembantu redaktur majalah Al-Munir Al-Manar di Sumatera Thawalib Padang Panjang. Jadilah, ia dikenal luas di kalangan guru-guru dan murid-murid sekolah Islam modernis.
Jelang penghujung November 1923, saat ia kembali dari Tanah Jawa pasca berjumpa dengan Haji Misbach, di Sumatera Thawalib, ia kemudian mendirikan sebuah pers yang ia namakan Pemandangan Islam –dan organ pergerakan yang diberi nama Sarekat Rakyat. Tidak tanggung-tanggung, ia memberi nama ajarannya dengan Kuminih –sebuah sintesa antara Marxisme, Islam, dan adat Minangkabau.
Keberadaan gerakannya juga ditopang oleh sahabat dekatnya bernama Natar Zainuddin blasteran India –Padang, eks aktivis VSTP–yang mendirikan pers Djago! Djago! dan kantor International Debating Club (IDC). Keduanya, segera menjadi momok menakutkan bagi pemerintah Kolonial Belanda. Asisten Residen Padang Panjang dan Residen Sumatera Barat, kerap dibuat geram dengan suara protes dan makian yang bersumber dari tulisannya. Haji Datuk Batuah menulis kebersamaan dan persatuan orang Minang mengusir orang-orang Belanda. Ia meyakinkan pembaca bahwa ajaran komunis tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebagai obat penawar dari masyarakat yang ‘sakit’.
“Tuhan memerintahkan agar manusia hidup bersama-sama, adil, dan tidak merugikan sesamanya,,” demikian petikan dari Djago! Djago! tanggal 20 November 1923). Selain mengemukakan keburukan kaum kapitalis, ia juga menyerang kebijakan pajak Pemerintah Hindia Belanda yang menyengsarakan rakyat (Djago! Djago! tanggal 20 November 1923). Pada surat kabar lainya, Haji Datuk Batuah kembali mmenyerang pemerintah dan para penghulu yang menjajakan dirinya pada penjajah (Doenia Achirat tanggal 11 November 1923).
Cupak diisi
Limbago (lembaga) dituang
Dimana tanah diinjak
Disinan langit dijunjuang (dijunjung)
Masuak (masuk) kandang kambing membebek
Masuak (masuk) kandang jawi malanguah
Kok kini Balando alah lamo masuak ka bumi kito injak (sekarang Belanda sudah lama masuk ke bumi kita injak)
Ba a Balando indak manjujuang langik awak (mengapa Belanda tudak menjunjung langit kita).
Indak patuik lai manga angku-angku manjujuang nan indak patuik dijunjung (Tidak pantas lagi engku-engku menjunjung yang tidak pantas dijunjung).
Haji Datuk Batuah tentunya sadar, rakyat harus dibangkitkan kesadaranya lewat protes-protes terhadap kapitalisme dan kolonialisme yang mengungkung kebebasan hidup mereka. Class struggle dan ajaran Marxis yang murni dan memusingkan, tidak pernah ia ajarkan. Haji Datuk Batuah meyakinkan pendukungnya bahwa komunisme datang untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan. Ia hanya menanamkan kesadaran kelas, dimulai dari pembebasan Bumiputra (inlanders) dari segala bentuk perbudakan, kesewenangan, dan ketidakadilan imperialis yang mengeksploitasi kekayaan alam, menzalimi rakyat dengan belasting, serta kekerasan terhadap pribumi.
Asisten residen Padang Panjang, para penghulu pro-Belanda pun meradang. Siasat licik pun disusun untuk segera meringkus Haji Datuk Batuah dan Natar. Pada 11 November 1923, Haji Merah itu pun diringkus PID-dan Veldpolitie-tatkala ia menuju ke kantor Pemandangan Islam setelah melaksanakan salat Zuhur di Surau Jembatan Besi. Tanggal 23 Januari 1925, ia menerima salinan besluit. Dirinya dibuang ke Kalabahi dan Natar ke Kafananu Nusa Tenggara Timur. Mereka dikenai tuduhan persdelict dan merusak tatanan rust en orde (Fikrul Hanif, 2017). Tuduhan dan pasal berlapis karena tulisannya telah menghasut rakyat untuk melawan pemerintah, menentang kapitalisme, dan menolak belasting.
Pemerintah Hindia Belanda yang sudah gerah dengan dunia pergerakan di Tanah Air segera membuat pusat konsentrasi untuk penentang kolonialis dan kapitalis. Boven Digoel adalah jawaban yang manjur untuk membuang mereka dari idealisme membangun Indonesia merdeka. Pembuangan ke Digoel bukanlah sanksi yang dijatuhkan melalui proses hukum, melainkan sebuah tindakan administratif yang bersumber dari hak istimewa exorbitant rechten Gubernur Jendral Hindia Belanda (Indonesia Vol. 61 tanggal 6 April 1996, hlm. 93-118). Boven Digoel tidak sama dengan kamp konsentrasi seperti di Jerman. Menurut Pluvier (1953), Digoel memang berbeda dengan kamp Nazi, mulai dari perlakuan terhadap para penghuninya yang sengaja dilakukan pembiaran sampai penghuninya mati tersiksa karena buasnya alam.
Elit pergerakan, seperti Haji Datuk Batuah cs memahami benar sebab-sebab mereka diasingkan ke Digoel. Interniran politik ini ditempatkan di Tanah Merah. Berapa orang interniran politik ini di Tanah Merah? Ketika anggota dewan Hindia Belanda, W.P. Hillen, mengunjungi Digoel pada April 1930, tercatat penghuni kamp berjumlah 2.000 orang, termasuk 1.308 orang tahanan dan 70 orang di antaranya berasal dari Sumatera Barat.
Meskipun dihadapkan dengan lingkungan alam yang buas, dan serangan nyamuk malaria yang mematikan, Haji Datuk Batuah tidak pernah berubah. Ia tetap radikal dan tidak mau tunduk pada Belanda. Bersama Mas Marco, Natar dan lainnya, ia pun diasingkan ke lokasi yang lebih menyeramkan, yakni di Tanah Tinggi.
Sampai Maret 1943, tatkala tentara Dai Nippon merangsek masuk ke Indonesia, pemerintah Belanda pun cemas. Mereka harus menyembunyikan kejahatan mereka dan harus segera mengeskternir para tapol ini menuju Australia. Van der Plas menyebut interniran Digoel dengan sebutan ‘penjahat profesional’ dan antisosial sebab Australia tidak mau menerima tahanan politik. Para interniran ini ditempatkan di Kamp Tahanan Perang di Cowra, New South Wales ke 36th Australian Employment Company (AEC). Sampai akhirnya kejahatan dan kebohongan Belanda itu pun dibongkar lewat petisi tanggal 20 Agustus 1943.
Haji Datuk Batuah dipulangkan ke Jakarta dengan menumpang kapal Angkatan Laut Australia HMAS Manoora pada Februari 1946. Pemulangan eks Digoelis secara besar-besaran menyebabkan ketegangan hubungan diplomatik antara pihak Australia dengan pihak Belanda, terutama setelah terbukanya kedok Van der Plas, setelah eks Digoelis berhasil mengirimkan petisi pada Justice a’Beckett Terrell. Sesampainya di Jakarta, Haji Datuk Batuah berjumpa dengan Bung Karno dan petinggi RI lainnya. Pada Mei 1946, ia kembali ke kampung halamannya di Nagari Koto Laweh untuk kembali menggerakan dan membangun kesadaran masyarakat mengenai arti penting mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kedai-kedai kopi, surau, dan RRI adalah saluran politiknya untuk menggelorakan semangat juang orang Minang di tengah invasi imprealisme Belanda. Aktivitasnya di PKI pun tidak memudar. Ia dilabeli tokoh komunis tua oleh para peserta rapat dalam pembentukan Front Pertahan Nasional tahun 1947 di Istana Bung Hatta Bukittinggi.
Sampai 14 Februari 1947, Haji Datuk Batuah pun diganjar selaku anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sertifikatnya langsung ditandatangani oleh Bung Karno. Sejak saat itu, aktivitas politiknya melejit dan makin sibuk dengan siaran politiknya untuk menggelorakan mengusir kembali Belanda dari Indonesia. Ketika Muso membujuk agar Sumatera Barat mau bergabung dengan Madiun untuk Soviet Raya pada 18 September 1948, Haji Datuk Batuah pun menolaknya mentah-mentah dan ia juga tidak mengakui usaha Coupt yang dilakukan Muso cs. Pada Juli 1949, tepatnya pada bulan Ramadan, tokoh komunis tua kharismatik itu pun menghembuskan napas terakhirnya setelah salat Subuh. Jasadnya dibaringkan di ranah kelahirannya, tepatnya di belakang Kantor Wali Nagari Koto Laweh.
Ia dimakamkan secara sederhana. Tidak ada satu pun petunjuk yang menegaskan di tanah itu telah berkubur seorang pahlawan perintis kemerdekaan sekaligus anggota KNIP. Hampir 72 tahun jasadnya terbaring dan hampir-hampir dilupakan. Bila mempersoalkan keterlibatannya di PKI adalah tidak wajar dan aneh. Pada tahun 1920-an, Haji Datuk Batuah berjuang untuk Indonesia merdeka lewat Sarekat Rakyat dan tulisan protesnya. Ia pun menolak bergabung dengan PKI Muso di Madiun. Apatah lagi ddituduh terlibat G.30.S 1965 karena ia sudah berkalang tanah di tahun 1949.
Sudah selayaknya bila pemerintah memberi perhatian terhadap jejak-jejak perjuangaan Haji Datuk yang kini masih bisa dijumpai di Nagari Koto Laweh, yakni rumah kediamannya Saadiah (istrinya) dan pandam pekuburan yang terletak di belakang Kantor Wali Nagari Koto Laweh Kabupaten Tanah Datar.
Discussion about this post