Ada banyak definisi tentang bahasa dari para linguis, di antaranya bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran, media atau pesan yang disampaikan untuk berkomunikasi, sesuatu yang bersifat konvensional, dan sebagainya. Pada umumnya, bahasa dinyatakan sebagai lambang. Jika bahasa adalah lambang, pembentukan dan penggunaannya tidak terlepas dari kesepakatan masyarakat yang kemudian dikenal dengan istilah konvensional. Para pemakai bahasa tersebut bersepakat perihal bunyi, huruf, dan kata-kata untuk mewakili sesuatu yang ada di dalam pikiran mereka. Hal ini pula yang kemudian membuat bahasa bersifat arbitrer ketika para pemakainya menggunakan bahasa dengan cara tidak beraturan. Hal terpenting dari peran bahasa tersebut adalah pesan yang disampaian oleh penutur atau penulis bisa diterima dan dimengerti secara efektif oleh pendengar atau pembacanya.
Sifat yang konvensional dan arbitrer ini juga membuat bahasa menjadi suatu sistem yang dinamis. Bahasa akan selalu mengalami perubahan karena dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Oleh sebab itu, dalam ruang lingkup semantik, makna dari suatu kata atau frasa bisa mengalami perubahan. Ada kata atau frasa yang dulunya digunakan dalam konteks yang positif, tetapi untuk saat sekarang menjadi sedikit negatif atau tabu (seperti kata budak). Ada kata atau frasa yang maknanya menjadi menyempit atau meluas. Hal ini bisa ditemukan dalam kata kitab. Dulu, kata kitab digunakan untuk cakupan yang bermakna “bacaan”. Akan tetapi, saat ini, kata kitab memiliki cakupan makna yang lebih sempit karena cenderung hanya digunakan untuk buku yang bersifat suci atau sakral. Berbeda dengan kata kitab, kata bapak dan ibu justru sebaliknya. Dua kata ini mengalami perluasan makna. Dulu, kata bapak dan ibu digunakan untuk kedua orang tua kandung. Akan tetapi, kata-kata ini kemudian memiliki cakupan makna yang lebih luas, yaitu bisa digunakan untuk laki-laki dan perempuan yang lebih tua dan dihormati. Contoh-contoh ini memberi pemahanan bahwa makna suatu kata atau frasa bisa mengalami perubahan.
Tidak jauh berbeda dengan contoh-contoh di atas, seiring berkembangnya zaman, kata-kata baru juga banyak bermunculan. Hal ini terjadi karena kebutuhan untuk menamai sesuatu yang keberadaan juga baru hadir. Kita bisa melihat contoh kata unggah sebagai padanan kata upload serta kata unduh sebagai padanan kata download. Dua kata ini terdengar familier ketika teknologi semakin berkembang pesat, sehingga Indonesia membutuhkan kata-kata baru untuk mewakilinya. Jika ada kata-kata yang baru, tentu ada juga kata-kata yang sudah mulai ditinggalkan karena frekuensi penggunaannya sudah sangat jarang diucapkan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa bahasa menjadi sesuatu yang konvensional, arbitrer, dan dinamis.
Dari pemaparan tersebut, bisa dipahami bahwa kesepakatan penggunaan bahasa tidak terlepas dari situasi saat bahasa itu digunakan. Para linguis kemudian menyebutnya sebagai ragam bahasa. Ada banyak hal yang membuat suatu bahasa bisa digunakan secara berbeda, baik dari kosakatanya, maupun dari strukturnya. Bahasa Indonesia bisa digunakan berbeda karena pengaruh dari media. Ada bahasa yang digunakan secara lisan dan juga tulisan. Penggunaan bahasa dalam media tulisan cenderung lebih patuh pada kaidah daripada penggunaan bahasa secara lisan.
Perbedaan penggunaan bahasa juga sangat terlihat dari situasi formal, semiformal, dan nonformal. Penggunaan bahasa dalam situasi formal bisa kita temukan dalam berbagai kegiatan kenegaraan, pekerjaan, sekolah, dan sebagainya. Situasi nonformal adalah situasi yang paling banyak kita lewati di dalam kehidupan, seperti percakapan sehari-hari. Hal ini kemudian membuat masyarakat Indonesia bisa menyesuaikan penggunaan bahasa dengan situasi yang dihadapi, meskipun tidak sedikit yang sering mencampuradukannya. Ini juga merupakan bagian dari kesepakatan masyarakat, kapan menggunakan bahasa yang formal dan kapan menggunakan bahasa yang nonformal. Bahasa formal cenderung lebih terstruktur, kosakata yang digunakan bersifat baku, dan menggunaan ejaan yang tepat dalam media tulisan. Sangat berbeda dengan itu, bahasa nonformal seakan abai dengan berbagai kaidah. Hal utama yang dituju dalam bahasa nonformal (percakapan sehari-hari) adalah kesuksesan sebuah komunikasi. Hal yang terpenting dalam komunikasi nonformal adalah apa yang disampaikan oleh penutur, bisa dimengerti oleh pendengarnya secara efektif.
Bagi orang Indonesia, hal ini tidaklah sulit dilakukan sebab ketika seorang anak sudah bersekolah maka ia bisa terbiasa dengan situasi itu. Akan tetapi, situasi itu menjadi sulit bagi penutur asing yang belajar bahasa Indonesia. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, banyaknya perbedaan antara kosakata formal dan nonformal dalam bahasa Indonesia. Perbedaan itu tidak hanya karena hilangnya satu atau beberapa huruf seperi saja menjai aja, sudah menjadi udah, atau perbedaan satu huruf dalam sebuah kata seperti teman menjadi temen dan kemarin menjadi kemaren, tetapi, juga disebabkan oleh perubahan total dari kata-kata tersebut. Kata-kata yang berubah total seperti sangat menjadi banget atau tidak menjadi enggak. Kedua, kesulitan itu juga disebabkan banyaknya kategori fatis yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Setiap daerah yang berbeda budaya akan memiliki kategori fatis yang berbeda. Kategori fatis itu contohnya seperti sih, dong, nah, deh, ah, mah, teh, atuh, untuk bahasa Minangkabau, contohnya seperti do, gai, nak a, dan lai. Kategori fatis ini menjadi sulit dipahami karena tidak memiliki padanan dalam bahasa lainnya. Hal ini disebabkan kategori fatis memiliki peran sebagai bentuk ungkapan ekspresi yang kerap disampaikan dalam komunikasi lisan. Ketiga, kesulitan itu akan semakin terasa jika seorang penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia belum berinterkasi langsung dengan masyarakat Indonesia yang lebih luas. Artinya, penutur asing itu hanya mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia secara formal dari Lembaga pendidikan. Bahasa yang digunakan dalam situasi formal tentu sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan sebagai percakapan sehari-hari.
Keempat, kesulitan berbahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh penggunaan bahasa Indonesia formal yang dipakai dengan cara yang kurang tepat oleh masyarakat Indonesia. Cara yang kurang tepat ini lebih banyak ditemui dalam ejaan kata. Contoh yang sangat mudah ditemui adalah penggunaan preposisi di dan ke, seperti yang dijelaskan dalam artikel yang ditulis oleh Elly Delfia dengan judul “Preposisi di dan Afiks di- dalam Bahasa Indonesia” yang dimuat di Scientia, edisi 12 Juli 2020. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa membedakan antara preposisi di dan ke dengan afiks atau imbuhan di- dan ke-. Contoh penggunaan preposisi di dan ke adalah di sana, di rumah, di kantor, ke pasar, ke sekolah, dan contoh penggunaan imbuhan di- dan ke- adalah dimakan, ditulis, dibuat, kedua, dan ketiga. Penutur asing yang belajar di kelas dengan mendapatkan pedoman atau kaidah-kaidah berbahasa Indonesia sering merasa kebingungan ketika mendapati teks-teks yang ejaannya tidak tepat seperti yang sudah dicontohkan sebelumnya. Hal yang paling disayangkan ketika kesalahan itu didapati dalam ragam formal seperti surat resmi, peraturan atau imbauan pemerintah, berita di surat kabar, majalah, berita online, judul berita di televisi, dan sebagainya.
Tidak hanya persoalan presposisi, kata-kata lain juga sering ditulis dengan tidak tepat seperti olahraga (menjadi olah raga), terima kasih (menjadi terimakasih), dan narasumber (menjadi nara sumber). Ini membuat penutur asing yang belajar Indonesia sering mengalami gagal paham ketika mereka mencocokkan kata yang sudah ditemukan dengan kata-kata yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Mereka kemudian berpikir bahwa olahraga (tidak ada spasi) dan olah raga (ada spasi) adalah dua kata yang berbeda. Ketika mereka mencari di KBBI dalam bentuk aplikasi online makna olah raga, mereka tidak menemukan kata tersebut.
Persoalan KBBI, ternyata juga memiliki dilema tersendiri. KBBI merupakan singkatan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertama kali diterbitkan pada tahun 1988. Dilansir dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (kemdikbud.go.id), dinyatakan bahwa pada saat penerbitan KBBI edisi kesatu, sedang diadakan Kongres Bahasa Indonesia V. Dari awal dicetak hingga saat ini, KBBI terus mengalami perubahan. Perubahan itu baik dari segi teknis maupun dari segi bahasa yang ternyata, bahasa Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat setiap tahunnya. Hingga saat ini, KBBI telah dicetak untuk edisi kelima (dengan berbagai perbaikan mutakhirnya pada tahun 2020). KBBI ini tidak hanya ada dalam bentuk cetak, tetapi juga bisa diakses dalam bentuk aplikasi dan secara online. Namun sesungguhnya, sejarah kamus bahasa Indonesia tidak dimulai dengan adanya KBBI. Jauh sebelum diterbitkannya KBBI, Indonesia telah menerbitkan kamus bahasa Indonesia. Akan tetapi, untuk saat ini, KBBI menjadi sumber referensi utama untuk penggunaan bahasa Indonesia.
Kembali pada persoalan bahasa formal dan nonformal. Di dalam KBBI, juga terdapat keterangan tentang bentuk tidak baku. Jika Anda mencari suatu kata, di dalam KBBI, sudah terdapat keterangan apakah kata tersebut baku atau tidak baku. Contoh yang bisa diambil adalah kata definisi. Masih banyak orang Indonesia menulis kata tersebut dengan defenisi. Jika Anda mencari kata tersebut, di dalam KBBI tertulis bahwa bentuk tidak baku dari definisi adalah defenisi. Ini mempermudah pengguna bahasa Indonesia untuk mengetahui kata yang baku. Akan tetapi, hal ini kemudian juga menjadi dilema yang berbeda ketika masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan bentuk yang tidak baku tersebut terutama dalam ragam formal. Contoh yang paling sering ditemui adalah penggunaan kata kuitansi, bahkan ada lembaga pemerintah yang membuat panduan laporan penelitian menggunakan kata kwitansi bukan kuitansi. Ketika itu menjadi panduan, orang yang akan membuat laporan tersebut menggunakan kata yang sesuai dengan contoh format tersebut.
Persoalan lain yang kemudian muncul adalah beberapa kata yang ternyata menjadi baku di dalam KBBI, tetapi sangat jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini berbeda dengan kata kuitansi dan kwitansi yang penggunaannya masih berimbang atau bertumpang tindih. Akan tetapi, ada kata lain yang memang sangat jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Contoh dari kata-kata itu adalah kamerawan, seriawan, dan telanjur. Di dalam KBBI, kata kamerawan memiliki makna “orang yang pekerjaannya menggunakan kamera untuk merekam gambar (objek) film atau televisi”. Kata kamerawan ini lebih banyak dikenal dengan kata kameramen, meskipun di dalam KBBI telah dituliskan bahwa kameramen adalah bentuk tidak baku. Hal ini berbeda dengan kuitansi dan kwitansi yang keduanya masih familier di telinga masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kata kamerawan masih begitu asing untuk masyarakat Indonesia sehingga ketika penutur asing menggunakan kata tersebut, mereka dianggap “salah” dengan alasan orang Indonesia tidak menggunakan kata tersebut. Alasan ini lumrah terjadi karena berkaitan dengan sifat bahasa yang merupakan kesepakatan pemakaianya (konvensional) sehingga walaupun kameramen sudah ditulis sebagai bentuk yang tidak baku. Akan tetapi, masyarakat Indonesia masing menggangap kata yang tepat adalah kameramen.
Kasus yang terjadi pada kata kamerawan juga berlaku untuk kata seriawan (di dalam KBBI bentuk tidak bakunya adalah sariawan). Kata seriawan berbeda dengan kuitansi yang masih familier (masyarakat hanya bingung dengan ejaannya), terasa asing karena sebagian besar masyarakat menggunakan kata sariawan, bahkan kata sariawan ini selalu digunakan di dalam iklan televisi (untuk jenis iklan yang berkaitan dengan itu). Oleh sebab itu, ketika penutur asing megikuti kata baku yang ada di dalam KBBI, justru dianggap salah oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi sebab kesepakatan bahasa itu sendiri, kata sariawan selalu digunakan masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal kata seriawan. Hal ini juga terjadi pada kata telanjur. Kata telanjur memiliki makna “1. terlewat dari batas atau tujuan yang ditentukan; 2. terdorong; 3. Sudah terdahulu mengerjakannya; 4. sudah berlebih-lebihan atau terlampau; 5. Sudah terlambat”. Contoh penggunaan kata telanjur adalah: Saya sudah telanjur datang ke sana. Kata telanjur tidak familier bagi msayarakat Indonesia meskipun kata tersebut termasuk kata baku. Sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengenal kata terlanjur (pakai r), bahkan masyarakat Indonesia mengenal berbagai lagu dan lirik lagu dengan menggunakan kata terlanjur, seperti judul lagu “Terlanjur Basah” yang dinyanyikan oleh Meggy Z, “Maafkan Aku Terlanjur Mencinta” yang dinyanyikan oleh Tiara Andini, “Terlanjur Cinta” yang dinyanyikan oleh Rossa ft. Pasha, dan “Terlanjur Sayang” yang dinyanyikan oleh Memes. Sesungguhnya, masih banyak kata-kata yang memiliki kasus serupa dengan kata kamerawan, seriawan, dan telanjur. Ini menjadi dilema juga bagi pengajar dan pelajar bahasa Indonesia bagi penutur asing ketika teks formal yang ada di masyarakat memiliki perbedaan kata baku di dalam KBBI, bahkan masyarakat Indonesia pun tidak mengetahui atau menggunakan kata itu.
Discussion about this post