Cerpen: Devi Vita Sari
Tubuh kecil itu menatap resah sorot mentari pagi yang biasanya belum bertamu kala ia masih berkutat dengan kukusan dandang di atas tungku. Langkahnya macam tak ingin kalah cepat dengan rangkakan mentari. Lincah meraih perabot-perabot kusam yang menurutnya diperlukan. Sembari teliti mengecek kematangan tiwul di dalam kukusan dandang, kuyup peluhnya tak ampun membanjiri pelipis. Namun, ia tak sempat menyekanya. Jemari remaja enam belas tahun itu sibuk meniup bara api tungku yang kian mengecil.
Pagi ini seorang anak yang akrab disapa “Calon Dokter” oleh warga dusun itu bangun terlambat. Entah hingga pukul berapa semalam dirinya bertarung dengan soal-soal buku yang katanya kunci sakti lolos perguruan tinggi musabab kesialannya pagi ini. Seleksi itu memang tinggal menghitung hari. Demi terwujudnya mimpi lama itu, hari-hari ia habiskan dengan buku sakti. Hari-hari pula ia membantu sang Mamak yang telah berjanji mengumpulkan uang untuk seleksi dengan menyiapkan dagangan tiwulnya. Semenit saja terlambat bangun bisa jadi masalah besar buat pendapatan Mamaknya.
“Tiwulnya sudah beres, Mak!” serunya dari dapur.
“Bagus. Mari bergegas, Lail!” sahut perempuan paruh baya dari ambang pintu depan. Tubuhnya ringkih menjinjing bakul berisi bungkusan tiwul hangat yang siap ia dagangkan hari ini. Namun, semangatnya masih sama seperti setahun silam kala tubuhnya masih terbaring di ranjang rumah sakit melawan sakit paru-parunya.
Trotoar pasar riuh oleh seruan pedagang kaki lima yang nampak lihai merayu orang-orang yang melintas, termasuk Lail dan Mamaknya. Namun, bukan untuk menawar barang pedagang, mereka melintas untuk menjajakan tiwul di bakulnya. Mencari orang yang berminat menyuap tiwul untuk sarapannya pagi ini. Satu per satu orang melambai. Satu per satu bungkus tiwul berkurang hingga di kala adzan Dhuhur dikumandangkan dari toa surau, bakul tiwul itu akhirnya kosong. Menyisakan Lail dan sang Mamak yang terduduk lunglai di pinggiran trotoar.
“Kamu hitung uangnya, Ndhuk. Uhuk… uhuk…” ujar Mamak sembari menahan sesak yang merayap di dadanya.
“Mamak tidak apa-apa?” Lail bertanya cemas. Di sampingnya, Mamak menggeleng. Kembali menyuruh putrinya menghitung uang dagang hari ini.
Uhuk… uhuk…!
Batuk Mamak bertambah kencang. Tubuhnya terbungkuk tak kuasa menahan batuk yang terus keluar. Jemarinya menelungkup mulut. Ia masih berusaha agar batuk tak sampai lolos ke udara. Ia takut benar Lail mencemaskan batuk sialan itu karena pekan ini dirinya telah berjanji mengumpulkan uang untuk Lail. Ia berusaha bertahan dan melupakan soal batuk yang masih tinggal di tubuhnya. Namun, sayang seribu sayang. Batuk kali ini memang hebat. Batuk yang meninggalkan bercak darah pada jemari Mamak. Lail yang masih sibuk dengan uang receh, sontak berhenti menghitung. Dengan cekatan, ia mengelap dahak merah itu, lantas mengajak Mamaknya pulang.
“Kita naik angkot saja, Mak.”
“Jangan, Lail. Mamak masih sanggup berjalan. Kamu hanya buang uang saja,” tolak Mamaknya. Lail tahu benar bahwa Mamaknya sedang tidak baik-baik saja. Ia sudah terbayang betapa runyam urusannya bila paru-paru Mamak kambuh di sini. Maka di parkiran angkot itu, ia terus membujuk Mamaknya untuk menumpang ke dalam buat pulang.
“Kita jalan kaki, Lail!” geram dengan bujukan putrinya. Mamak menarik lengan gadis enam belas tahun itu keluar dari parkiran angkot. Sambil terbatuk, ia terus menggenggam tangan putrinya menuju tepian jalan. Ia bersiap menyeberang di lintasan bermotif zebra. Di sampingnya, Lail masih bersungut-sungut. Ramai jalanan pasar tak lagi dihiraukannya. Deru mesin dan nyaring klakson pun tak sempat masuk ke dalam telinga. Sungguh keras kepala Mamak tiada tandingannya, begitu ujar Lail dalam hati.
Sementara itu, batuk Mamak semakin rapat-rapat. Membuatnya sesekali mengusap dada yang sudah tak tertahan sesaknya. Jerebu asap kendaraan yang ramai melintas macam tak ampun menusuk pernapasan Mamak. Tubuhnya telah kalap oleh sesak. Genggamannya pada Lail mengendur. Ia tersungkur pada tubuh putrinya. Saat itu pula, Lail tersadar dari lamunan. Ia merasakan kala tubuh Mamak roboh padanya. Mendorong tubuh kecil Lail ke aspal jalan. Sorot lampu kendaraan menyilaukan mata Lail persis usai dirinya jatuh bedebam di atas jalanan pasar.
“Ndhuk…” suara khas itu sayup-sayup memanggil Lail.
Seketika dirinya berusaha membuka mata yang terpejam. Namun, nihil. Suara itu terasa dekat namun Lail tak dapat menemukan sosok pemiliknya. Sedetik berlalu. Lail dapat merasakan genggaman yang sama kala ia berada di tepian jalan pasar hangat mengelus tangannya. Telinganya juga menangkap rintih tangisan Mamak. Namun, ia tak mendapati tubuh Mamak di segala sudut. Ia bahkan tak melihat segelintir debu yang melintas di depannya. Hanya gelap yang hadir memenuhi mata Lail.
“Mak.., Mamak di mana?”
***
Siang itu, kala tubuh Lail tersungkur membentur permukaan aspal, sebuah colt menabrak dirinya yang jatuh amat dekat dengan kap mobil itu. Jalanan pasar sontak riuh. Orang-orang di tepi trotoar hingga pedagang kaki lima mengerubungi tubuh Lail yang telah bersimbah darah. Lail yang tak sadarkan diri dilarikan ke rumah sakit. Keberuntungan tak berpihak pada dirinya. Lail, anak semata wayang Mamak yang bermimpi besar menjadi dokter itu kehilangan penglihatannya. Mamak yang pertama kali mendengar kabar buruk itu tak pelak menangis penuh duka nan sesal. Bila bukan karenanya, putrinya tak akan menanggung kemalangan ini.
***
“Mamak jangan berbohong!” tangis Lail terpecah di atas ranjang besi kamar inap. Tangannya mencengkeram sprei hijau yang membalut kasur tipis itu. Bayang-bayang kepahitan mengalun di kepalanya usai Mamak bercerita. Rencana-rencana yang telah lama dipupuk seketika hanyut bersisa kelam. Ia sudah tak tahu bagaimana nasib mimpi dokter yang telah bertahun diperjuangkan.
“Mamak! Kembalikan mata Lail, Mak..! Tega sekali Mamak!” deru tangis Lail bertambah hebat. Paramedis yang berusaha menenangkan ditepis olehnya. Hati Lail kini hanya berisikan benci. Mamaknya yang pekan lalu berjanji menabung buat dirinya. Hari ini menjadi alasan mimpinya usai. Bila saja Mamaknya tak keras kepala, bila saja Mamaknya berbesar hati naik angkot, mungkin ia tak akan berbaring di ranjang ini meratapi kebutaannya. Petang ini, di atas ranjang rumah sakit itu dirinya telah jatuh dari mimpi hebatnya. Petang ini, bahkan seekor serangga pun takut untuk mengusik ronta kepedihan hati Lail di ruang putih itu.
Waktu kian berlalu seiring sorot surya yang mulai redup termakan mendung yang selalu hadir di ambang cakrawala. Meneteskan bulir hujan buat menemani malam Lail. Di bawah jendela kamar itu, ia dapat merasakan hawa dingin yang membasuh tubuhnya. Kakinya melangkah. Tangannya meraba ke depan mencari gagang jendela. Namun, sebelum daun jendela itu behasil ditutup, jemari Lail teratuk kaki meja jati. Ia mengaduh kesakitan. Seketika pintu kamar Lail terbuka. Mamaknya yang masih bermukena lengkap masuk meraih tubuh Lail. Namun, putrinya menepis kasar tangan yang memegang bahunya itu.
“Lail bisa sendiri!” bentak Lail. Bak sembilu yang menghujam, perkataan Lail sungguh menyakiti hati Mamak. Batinnya tak kuasa menyaksikan putri yang ia kasihi membenci Mamaknya. Ia sungguh merasa berdosa pada Lail. Dirinya yang telah merawat Lail sejak belia teramat menyayangi buah hatinya. Tak sanggup Mamak menyaksikan Lail kehilangan masa depan yang ia pun tahu seberapa besar perjuangan yang telah putrinya lakukan utuk itu.
“Mamak minta maaf, Ndhuk,” kali ini air mata Mamak telah berlinang.
“Cukup, Mak! Lail bosan mendengar maaf Mamak. Toh, itu tidak merubah apapun.”
“Mamak harus bagaimana, Lail?” suara Mamak serak bersusulan tangis. Bila ada hal yang dapat ia lakukan untuk menebus kesalahannya, jangankan badai, nyawa pun akan Mamak serahkan demi Lail. Anak satu-satunya yang menemani hidupnya selama ini. Namun langkah Mamak berujung jalan buntu. Belum ada pendonor yang berkenan menyumbang matanya buat Lail.
“Kalau mau menangis Mamak keluar saja.”
“Biarlah Mamak menemani Lail,” tangan Mamak mengusap wajah Lail yang duduk di sampingnya.
“Keluar, Mak!” bentak Lail melepas jemari Mamak.
Di sebelahnya, Mamak terpaksa berdiri. Dengan sesak yang masih merangkap di dada, ia meninggalkan Lail yang belum membuka hati untuknya. Membuat kamar yang bersiram remang cahaya bohlam kuning itu kembali lengang. Tersisa Lail yang masih khidmat menyimak rinai hujan yang semakin deras. Ia baru terlelap kala gundukan mendung memanggil gemuruh di penghujung malam.
Hujan malam berganti gerimis pagi. Rintiknya membangunkan tidur Lail dari luar jendela kamar yang terbuka. Bohlam kuning yang tergantung di atap juga telah dipadamkan. Mata Lail mengerjap. Kakinya melangkah menuju dapur. Ruang-ruang yang dilaluinya senyap. Tak ada suara Mamak yang biasanya menyapa pagi Lail lantas menyiapkan sarapan. Tiba di pintu dapur, ia tak mencium bau jelaga hitam dari api tungku seperti hari-hari lalu setiap ia terbangun dari tidur. Langkah Mamak yang cekatan memasak tiwul tak lagi terdengar di atas lantai tanah dapur. Merasakan hening yang janggal di rumahnya, dahi Lail mengkerut. Di mana Mamak?
Lail yang masih berdiri memegang engsel pintu dapur perlahan bergerak meraba ke depan. Diiringi langkahnya yang lambat menapaki lantai tanah, tubuhnya berbelok ke kanan. Tangan Lail yang teliti akhirnya menemukan meja makan tempat Mamak biasanya menyiapkan sarapan. Tudung saji dibukanya. Jemari Lail meraba piring-piring berisi lauk lengkap dengan nasi dan sayur. Tubuh mungil itu lantas duduk di atas dingklik kayu. Ia menyantap sepiring nasi tiwul dengan sayur lodeh kesukaannya.
Pagi berlalu, siang bertamu. Gerimis telah reda. Menyisakan genang air di pekarangan rumah Lail. Menampilkan pantulan mentari di atas kanopi perumahan. Sorotnya membasuh kaki Lail yang tengah duduk di bangku teras. Dari kejauhan telinganya menangkap lantang suara adzan Dzuhur dari surau dusun. Panggilan Tuhan itu sekaligus menjadi pertanda Mamak akan segera pulang.
Dua puluh menit berlalu. Ketika jamaah Zuhur siang ini turun dari surau, Mamak tak kunjung tiba di rumah. Lail pun kian bertanya-tanya dalam benak ke mana Mamaknya berjualan hari ini. Apakah ia berdagang hingga puluhan kilo dari dusun hingga terlambat pulang? Atau Mamak malah tak berdagang namun pergi dari rumah akibat sikap Lail semalam? Resah mulai merasuk dalam pikiran Lail. Ia bangkit dari bangku teras. Berbalik badan menuju pintu depan.
“Mamak…” Di depan daun pintu itu, mulutnya berseru ke dalam rumah. Lail yang tak lagi bisa melihat curiga barangkali Mamak memang tak berjualan. Ia bisa saja hanya tertidur pulas di kamar karena batuknya yang kumat. Kaki Lail mulai melangkah masuk rumah. Ia meraba tikar pandan yang tergelar di ruang tamu. Tangannya yang telah meniti segala sudut ruang itu masih belum menemukan Mamak.
Lail bergerak menuju kamar Mamak. Ia menyingkap tirai yang tergantung di gawang pintu kamarnya. Ia sekali lagi memanggil Mamak. Namun, seisi kamar bergeming. Tak ada sahutan suara khas Mamak kala putrinya tiba di ambang pintu. Langkah Lail terus bergerak maju. Ia memeriksa dipan tua. Di atas kasurnya, hanya ada selembar bantal. Tak ada tubuh Mamak yang disangkanya terlelap. Dalam gelap yang membungkus mata Lail, tersulut kecemasan yang teramat besar. Mamak yang tabiatnya dipanggil lirih saja bergegas mendekat. Benarkah tak mendengar seruan kencang Lail?
“Mamak! Mamak!” Lail berteriak sambil mengelilingi seiri dapur. Ia juga melongokkan kepala ke luar pintu belakang, barangkali Mamaknya mencuci piring di halaman. Namun nihil. Mamaknya jelas tak ada di rumah.
Kelabu mendung menggantung di cakrawala pukul lima. Mengirimkan bunyi gemuruh yang menggetarkan hati Lail kala ia duduk menekuk lutut di atas ranjang. Sore itu, ia hendak mencari Mamak ke pasar. Namun gelegar guruh menciutkan niatnya. Selama buta, tak pernah sekali pun ia bepergian jauh. Apalagi saat gemuruh mengirim berita hujan lebat yang akan segera tiba. Pikiran Lail terombang-ambing. Ia terperangkap di dalam situasi yang pelik. Situasi yang membuatnya sadar betapa tak berguna dirinya bagi Mamak. Saat ini, pasti terjadi sesuatu pada Mamaknya. Namun Lail, putri satu-satunya hanya dapat meringkuk di atas dipan meratapi ketidakpastian. Hatinya yang selama ini tak pernah memantaskan maaf untuk Mamak kini sungguh terpukul. Bagaimanalah ini? Lail sungguh tak tahu apakah dia akan membiarkan Mamak tak pulang. Sementara itu, di belakang mendung, mentari telah menyentuh kaki bukit.
Sepuluh menit berlalu. Keringat mulai mengguyur tubuh Lail. Ia sudah tak tahan lagi. Ia tak bisa membiarkan Mamaknya yang tak kunjung pulang hingga petang. Tak peduli salah siapa dirinya buta, Mamak adalah ibu kandung yang membesarkannya seorang diri sejak Bapaknya tiada. Mamak adalah satu-satunya keluarga yang Lail miliki. Ia membulatkan tekad. Kakinya turun dari ranjang. Tangannya meraih sapu di pojok ruangan lantas melepas gagangnya. Sembari membawa gagang itu, Lail bergegas mencari Mamak.
Hari telah beranjak surup. Tak ada tetangga yang bercengkrama di beranda rumah. Pintu-pintu ditutup. Mereka mungkin hendak bersiap shalat Maghrib. Sementara di langit arak-arakan mendung menyaksikan ketakutan Lail kala melintasi jalanan koral. Tak satu pun orang yang dapat ditanya perihal Mamak. Ia hanya memanggil-manggil nama Mamak hingga tiba di depan gang dusun. Seketika hening. Surup perumahan berganti ramai gerung mesin lokomotif kendaraan. Tak lama, seruan-seruan bermunculan dibarengi rampak langkah kaki yang mendekat ke tempat Lail berdiri. Ia yang masih terdiam menggenggam gagang sapu. Ia berusaha mencari tahu dari mana asal seruan itu. Namun, tiba-tiba, ada yang meraih tubuhnya.
“Lail! Mamakmu, Nak..” tuturnya nelangsa. Lail mengenal suara itu. Ia tetangga yang amat dekat dengan Mamak.
“Apa yang terjadi, Bu Lik?”
***
Pagi itu, pukul dua dini hari Mamak terbangun. Bayang-bayang kebencian Lail kembali mengalun. Menusuk-nusuk kepalanya di gelap pagi buta. Kepahitan yang selama ini Mamak bendung, pagi itu, luluh menjadi tangis. Dengan mata sembab itu, tubuhnya bangkit. Ia berwudhu lantas bersujud di atas sajadah kumalnya. Mamak mengadu pada Ilahi. Dalam hatinya, ia teramat mendambakan putrinya bahagia. Namun, bagaimanalah ia membayar perbuatannya pada Lail? Bantuan telah dicari ke sana-sini. Bantuan yang hingga kini masih nihil. Tak ada satupun pendonor mata yang berhasil Mamak temukan untuk putri kesayangannya. Di dalam sujudnya kala itu, Tuhan mengirimkan ilham. Bila ada seseorang yang pantas memberi sepasang mata untuk Lail, itu tak lain adalah dirinya. Ibu yang paling mengasihi Lail di dunia. Namun, sebelum niat itu matang, Mamak teringat tentang janji tabungannya buat Lail. Bila kedua matanya diambil, ia tak mungkin sanggup berjualan. Sebelum niat itu ditunaikan, ia harus menepati janji itu secepat mungkin. Usai dua rakaat tahajudnya, kaki Mamak tak naik ke ranjang lagi. Mamak bergegas menanak tiwul. Tak lupa ia juga menyiapkan sarapan untuk Lail. Persis ketika adzan Shubuh berkumandang, lima puluh bungkus tiwul Mamak telah siap di dalam bakul. Ia berangkat ke pasar meninggalkan putrinya yang masih terlelap di dipan kamar.
Trotoar pasar tak seramai saat kali terakhir Mamak berjualan bersama Lail. Mamak nampaknya kurang beruntung. Hari ini bukan hari pasaran. Tak banyak orang yang berkunjung ke pasar untuk membeli kebutuhan. Pedagang dari berbagai dusun pun tak banyak yang singgah menawarkan barang. Namun, situasi buruk itu tak membuat surut semangat Mamak. Ia cekatan menjajakan tiwul di bakulnya. Hingga gerimis pagi berganti terik di tengah hari, tiwul di bakul Mamak masih separuh. Ia menatap masygul bungkusan tiwul itu. Pasar mulai lengang. Beberapa kali tawaran Mamak juga sudah ditolak. Di pinggir trotoar itu, Mamak memutar otaknya. Tak lama, kakinya yang rapuh melangkah ke arah terminal bus. Tepat saat Mamak tiba di koridor terminal, belasan bus tiba dari segala penjuru. Mamak pun menghampiri penumpang yang berloncatan turun. Hingga Ashar tiba, tiwul Mamak akhirnya ludas. Kakinya yang semakin penat beranjak pulang ke rumah. Namun, dada Mamak tiba-tiba sesak. Ia merasakan sakit yang begitu menusuk di dalam paru-parunya. Gigi Mamak bergemerutuk menahan sakit itu mati-matian. Di sisa tenaganya sore itu, pertahanan Mamak roboh. Kakinya mengendur. Mamak yang masih menggendong bakul tiwulnya pingsan tak sadarkan diri. Tragedi Mamak membuat seisi terminal geger. Beberapa orang membopong tubuhnya seraya berusaha menyadarkan Mamak, tetapi mata Mamak tetap terpejam. Akhirnya, seorang tetangga dekat Mamak mendekat lantas meminta orang-orang membawa Mamak ke rumah sakit. Nahas, setibanya di ruang gawat darurat Mamak menghembuskan napas terakhirnya.
***
Di tepian jalan, di depan gang dusun itu, sedu sepenuhnya membungkus surup Lail. Tubuh kecilnya seketika lemas. Bak insan yang diambil separuh jiwanya, mata Lail memanas. Isak tangisnya pecah. Ia tak menyangka malam itu kala ia mengusir Mamak dari kamarnya adalah malam terakhirnya mendengar suara lembut Mamak. Ia tak menyangka perbuatannya itu membuahkan sembilu dalam kalbu Mamak yang menjadi muasal kepergiannya surup ini.
“Tahukah Lail kalau Mamak masih menunggu kamu di rumah sakit? Ia tak akan dimakamkan sebelum matanya didonorkan untuk Lail.” Mendengar kalimat itu, isak Lail semakin tak tertahan. Segala sesal mencambuk hatinya. Lail yang tak henti memaki Mamak perihal kebutaannya merasa telah meragukan ketulusan Mamak. Lihatlah, hari ini di atas perjuangannya melawan batuk yang tak kunjung sembuh itu, Mamak memberikan hidupnya untuk Lail.
Surup itu, di bawah arak-arakan mendung, sepotong hati Lail telah diambil oleh semesta. Surup itu, angin malam membisikkan rindu yang teramat dalam akan sosok Mamak yang belum sempat Lail kirimkan ungkapan maaf.
Catatan:
Ndhuk : panggilan anak perempuan Suku Jawa
Tiwul : makanan pokok pengganti yang terbuat dari ketela pohon, makanan khas Pacitan dan sekitarnya
* Nominasi Lomba Cerpen Scientia 2020 bertema “Ibu Perempuan yang Merawat Negeri”
Biodata Penulis:
Devi Vita Sari lahir pada tanggal 21 Mei 2004. Remaja yang kini duduk di bangku kelas sepuluh ini telah mengenal sastra sejak kecil. Di sela kesibukannya belajar dan berorganisasi, Devi menulis cerita fiksi. Karya yang giat ia kirimkan di media online sudah beberapa kali dibukukan. Untuk kategori cerpen, satu dua penghargaan juga telah ia raih.
Discussion about this post