Bus Melaju dengan Cepat
Bus melaju dengan cepat
kita melihat hamparan tanah merah
dan bekas tambang emas yang merana
bagai habis manis tinggal sepah
ditinggalkan begitu saja
tak ada kesuburan yang tersisa bagi tanaman
Bongkahan tanah yang bila kemarau
retak demi retak menjalar ke segala yang terhampar
kerontang hingga bila ditiup angin
dan kita di sana, berselimut merah dengan sibiran debu
kau tunjuk bukit bekas korekan sendok mesin
terlihat bukit itu sangat kurus dan pucat
Di pemberhentian tempat makan
kau menelan kabut itu dalam semangkok nasi
serta sambal yang dimasak di tungku
yang belanganya ialah merah yang menghitam terbakar
hingga tak ada serangga kecil yang melintas dalam kepalamu
selain membalik akal asal mula sebuah alami
dan kuucap, kenikmatan dari situlah kita memburu hidup
Padang, 2020
Di Hadapan Menara
Sebuah kisah kita bentangkan ke jalan-jalan kota
setiap sudutnya berisi cerita, takkan berkesudahan
seperti kincir ditiup angin yang tak henti-henti
kita bagai sepasang almanak genap di tiap-tiap kalender
Pada damaimu, berita tadi siang tersiarkan dengan sebongkah salju
yang kautitipkan kepada tukang pos
diterbangkan unggas besi dari ketinggian puncak
dengan suhu minus
Di hadapan menara itu kau berucap
kepulanganmu bukanlah kepulangan sepertiga musim
saat rempah-rempah tertimbun tanah romawi
dan salib yang dipancangkan dengan sebuah bendera
Tak ada yang tak kita sebutkan
dalam kitab yang usai kita baca sepuluh tahun silam
aku ingin perjumpaan di gigil mekar bunga sakura
lima tahun mendatang kita telah duduk di bawahnya
Menatap dedaunnya berguguran satu persatu
ada yang terbawa arus angin
di sana mahkotaku dijemput
yang kau pakaikan layaknya sebuah pengikatan
Padang, 2020
Kepala-Kepala Putih
Kendaraan tak putus-putus melintas
suara klakson saling bersahutan
mereka seperti dikejar sang iblis
langit mengeluarkan darah pekat
Siang dan malam hanyalah sebuah nama yang diadakan
jam ialah waktu pengingat agar tak terlupa
sementara segala laju terus dihidupkan
dalam sebuah nama pencapaian
Seseorang turun dari mobil mewah
menggunakan jas tanpa sepatu
dengan dasi yang terlilit di tangan
dan seorang bocah yatim piatu
Datang meminta sedikit harap untuk makan:
“jika jas bisa dijual sebagai penebus kemacetan
maka akan kuberikan padamu
sebab sepatuku telah dibawa teman-temanmu”
Mata yang retak kaca menatap deru jalanan
persimpangan seperti rumah mereka
yang ditinggalkan kota lama
menuju kota rekayasa dalam kepala-kepala putih
Padang, 2020
Biodata Penulis:
Mhd. Irfan lahir di Pariaman, 26 September dan sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Ia bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh9. Ia tidak menyukai umpat di belakang.
Discussion about this post