Bahasa Inggris itu sulit, bahasa Inggris itu menyeramkan untuk dipelajari, dan bahasa Inggris itu tidak menyenangkan. Tiga kalimat ini adalah beberapa kalimat yang sering didengar oleh penulis ketika bertemu dengan pelajar Indonesia terutama pelajar yang tinggal di daerah ketika mendengar frasa bahasa Inggris. Kendati pun demikian, pelajar Indonesia tidak boleh putus asa dan menyerah dalam mempelajarinya sebab bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat penting karena ia merupakan bahasa yang akan memperluas cakrawala dan memudahkan seseorang berinteraksi dengan orang dari negara yang berbeda. Adalah hal yang wajar bila pelajar Indonesia melakukan kesalahan bila berbicara dalam bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan, bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu (mother tongue) dari masyarakat Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan setidaknya lima alasan mengapa bahasa Inggris menjadi bahasa yang cukup sulit untuk dipelajari oleh orang Indonesia.
Alasan pertama adalah karena bahasa Inggris berkedudukan sebagai bahasa asing (foreign language). Bahasa ini tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika digunakan, hanya dipakai oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan (urban). Hal tersebut juga tidak terlalu masif dilakukan. Kendatipun demikian, pemerintah Indonesia sudah memberikan perhatian khusus pada bahasa Inggris. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan Permendiknas No. 26 tahun 2006 tentang bahasa Inggris yang diajarkan pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Santoso: 2014). Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Tanpa menguasai bahasa Inggris, sesorang akan sulit untuk berinteraksi dengan orang-orang dari negara yang berbeda sebab bahasa Inggris berkedudukan sebagai lingua franca dalam tataran internasional.
Berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia. Di Malaysia, bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua (second language). Masyarakat Malaysia di daerah perkotaan juga kerap menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Di samping itu, bahasa Inggris juga dijadikan sebagai mata pelajaran wajib dari standar satu sampai bentuk lima dalam jangka waktu 11 tahun (Azmi: 2013). Lain hal dengan Singapura, mereka memosisikan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resmi Negara Singapura selain bahasa China Mandarin, Melayu, dan Tamil.
Menurut Kuo (dalam Dixon:2005), bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa yang netral dalam komunikasi interetnik. Sementara itu, tiga bahasa resmi lainnya dijadikan sebagai “bahasa ibu” pada masing-masing etnik grup di Singapura. Di sisi lain, Singapura juga mewajibkan peserta didiknya untuk mampu menguasai bahasa Inggris di sekolah. Bahasa Inggris digunakan sebagai medium untuk memahami semua instruksi.
Alasan kedua adalah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mempunyai rumpun bahasa yang berbeda. Bahasa Inggris berasal dari rumpun Germanic. Germanic adalah salah satu subkelompok terbesar dari keluarga bahasa Indo-Eropa. Rumpun ini terdiri dari 37 bahasa dengan perkiraan 470 juta penutur di seluruh dunia (Harbert: 2007). Bahasa lain yang juga dikategorikan sebagai Germanic adalah bahasa Jerman. Ada beberapa kata dalam bahasa Inggris yang mirip atau sama dengan bahasa Jerman, seperti:
- Kata “ini” dalam Bahasa Inggris adalah “this”. Sedangkan dalam Bahasa Jerman adalah “Dies”. “This” dan “Dies” memiliki pelafalan dan makna yang sama akan tetapi memiliki bentuk kata yang berbeda.
- Kata “nama” dalam Bahasa Inggris adalah “name”. Kemudian, dalam Bahasa Jerman adalah “name”. “name” dalam Bahasa Inggris dan Jerman memiliki makna yang sama namun pelafalan yang berbeda. “Name” dalam bahasa inggris diucapkan dengan [neɪm]. Sedangkan dalam Bahasa Jerman dilafalkan dengan [na:mə].
Akan tetapi, bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Austronesia adalah istilah yang diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir dituturkan oleh semua orang di Kepulauan Indo-Malaysia dan Oceania. Kemudian, istilah ini juga digunakan untuk menyebut suatu bangsa yang menggunakan rumpun bahasa tersebut. Rumpun bahasa ini terdiri dari 1.200 bahasa dan digunakan oleh kira-kira 270 juta penutur (Tryon:1995). Indonesia dan Malaysia mempunyai rumpun bahasa yang sama. Oleh sebab itu, akan sangat mudah bagi orang Malaysia memahami bahasa Indonesia dan begitu pula sebaliknya.
Beberapa kosakata bahasa Indonesia dan Malaysia yang memiliki kesamaan makna, misalnya seperti cakap, seronok, hemat, dan sebagainya. Beberapa kosakata Malaysia yang juga dimiliki oleh bahasa Indonesia namun memiliki perbedaan makna, seperti kata “kapan” dalam bahasa Indonesia berperan sebagai kata tanya untuk menanyakan waktu, sedangkan di Malaysia memiliki arti kain kafan untuk membungkus mayat yang sudah meninggal dunia. Kemudian, kata “pengacara” dalam bahasa Indonesia memiliki arti pembela perkara atau pendamping tergugat (terdakwa). Sementara itu, di Malaysia, kata ini berarti pembawa acara atau master of ceremony (MC).
Selanjutnya, alasan ketiga adalah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mempunyai fonetik yang juga berbeda. Menurut Low (dalam Ambalegin & Arianto: 2018), bahasa Inggris memiliki 24 konsonan dalam sistem bunyi (sound system). Mereka adalah /b/, /d/, /g/, /m/, /n/, /l/, /r/, /w/, /j/, /p/, /t/, /k/, /f/, /s/, /h/, /ð/, /θ/, /ʃ/, /tʃ/, /dʒ/, /ʒ/, /ŋ/, /v/, and /z/. Kemudian, bahasa Inggris memiliki 3 jenis huruf vokal jika dilihat dari tempat keluarnya bunyi (Kelly dalam Ambalegin & Arianto: 2018). Ketiga jenis vowel tersebut adalah bunyi vowel tertutup (closed vowel sound) seperti (/i:/, /ɪ/, /ʊ/, /u:/), bunyi vowel tengah (mid vowel sounds) seperti (/e/, /ə/, /з:/, /ͻ:/), dan bunyi vowel terbuka (open vowel sounds) seperti (/æ/, /ʌ/, /ɑ:/, /ɒ/). Sementara itu, berdasarkan chart fonologis bahasa Indonesia (Indonesian Phonological Chart), bahasa Indonesia memiliki 25 konsonan, yaitu /p/, /b/, /m/, /w/, /f/, /v/, /t/, /d/, /s/, /z/, /n/, /l/, /r/, /tʃ/, /dʒ/, /ʃ/, /j/, /k/, /g/, /x/, /ŋ/, /w/, /?/, /h/ dan enam huruf hidup, yakni /i/, /e/, /u/, /o/, /a/, dan /ə/.
Dari perbedaan konsonan dan huruf vokal antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tersebut, terlihat dengan jelas kerumitan dari bahasa Inggris jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Secara fonetik, ia memiliki kompleksitas yang jauh lebih sulit. Oleh sebab itu, wajar jika orang Indonesia sering melakukan kesalahan dalam berbahasa Inggris terutama dalam hal pengucapan. Beberapa contoh salah ucap (miss pronunciation) yang dilakukan oleh orang Indonesia dapat dilihat dalam beberapa kata, misalnya:
a.Think
Pelafalan yang benar menurut International Phonetic Alphabet (IPA) adalah [θɪŋk]. Tidak sedikit orang Indonesia yang membunyikannya kata tersebut menjadi [tɪŋk]. Mereka cenderung mengganti konsonan /θ/ menjadi /t/ sebab bahasa Indonesia memang tidak memiliki konsonan /θ/.
b.Anthology
Pelafalan yang benar adalah [ænˈtɑləʤi]. Namun, penulis sering mendengar kata ini dilafalkan menjadi {antoloji]. Hal ini bisa terjadi sebab bahasa Indonesia tidak memiliki bunyi vowel terbuka (open vowel sounds) /æ/. Ia hanya punya konsonan /a/.
c.Measure
Pelafalan yang benar adalah [mɛʒər]. Namun, tak sedikit yang melafalkan menjadi [mɛzər]. Hal ini dapat terjadi sebab konsonan /ʒ/ tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, konsonan /ʒ/ cenderung diganti menjadi /z/.
Alasan keempat adalah adanya inkonsistensi beberapa bunyi dalam bahasa Inggris. Crutteden (dalam Tambunsaribu: 2019) mencatat bahwa ketidak-konsistenan bunyi huruf hidup bahasa Inggris menyebabkan kesulitan bagi para pelajar asing yang bukan penutur asli (native speaker) bahasa Inggris. Beberapa contoh inkonsistensi bahasa Inggris dalam bunyi huruf hidup (vowel) adalah sebagai berikut:
a. Kata “drive” dalam bentuk dasar (basic form)dilafalkan dengan [draɪv]. Sementara itu, pada kata kerja bentuk ketiga (past participle) dibunyikan menjadi [‘drɪvən]. Padahal, pada kata kerja bentuk ketiga, kata “drive” hanya berubah menjadi “driven”.
b. Kata “bite” dalam bentuk dasar diucapkan dengan [baɪt]. Dalam kata kerja, bentuk ketiga berubah menjadi [ˈbɪtən]. Padahal, tidak ada berubahan kata yang signifikan dalam kata tersebut. Hanya terjadi penggandaan konsonan /t/ dan penambahan huruf hidup /ə/ dan konsonan /n/ yakni menjadi “bitten”.
Alasan kelima adalah metode yang diajarkan dalam mempelajari bahasa Inggris masih kurang tepat. Tidak sedikit guru atau tenaga pendidik di Indonesia yang mengajarkan bahasa Inggris pada peserta didik dengan cara meminta mereka menghafal kata kerja (vocabulary) sebanyak-banyaknya. Kemudian, mereka juga dicekoki dengan rumus-rumus yang kadang membuat sakit kepala, misalnya rumus untuk past continuous tense adalah subject + was/were+ verb1 + ing+ complement. Penulis tidak mengatakan bahwa metode seperti ini adalah metode yang salah. Akan tetapi, selain memperbanyak kosakata, peserta didik juga harus memahami rumus-rumus pembentuk kalimat yang diberikan. Kekhawatiran penulis adalah jika peserta didik hanya menghafal rumus tanpa tahu bagaimana cara mengaplikasikannya dalam tataran berbicara (speaking). Proses penguasaan bahasa Inggris tidak akan berjalan dengan efektif. Untuk itu, perlu adanya implementasi dalam memahami rumus-rumus tersebut dengan cara mempraktikkannya tidak hanya di lingkungan kelas, tetapi juga di luar kelas. Salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan cara membentuk kelompok belajar yang mau berkomitmen untuk menggunakan bahasa Inggris di mana pun berada. Pendapat penulis ini diperkuat oleh Yunsirno (2012) yang mengatakan bahwa bahasa bukanlah ilmu. Ia adalah skill komunikasi. Ilmu membutuhkan banyak teori yang memperkuat pemahaman agar tidak terjadi penyimpangan. Sementara skill, ia butuh latihan yang banyak. Oleh sebab itu, penulis melihat bahwa kunci mempelajari bahasa Inggris adalah praktik dan praktik tanpa ada kata usai.
Lima hal di atas adalah alasan mengapa bahasa Inggris menjadi bahasa yang cukup sulit untuk dipelajari oleh orang Indonesia. Meskipun sulit, orang Indonesia terutama para pelajar harus tetap semangat dalam mempelajari bahasa ini sebab ia adalah bahasa yang sangat penting. Kita dihalakan membuat kesalahan dalam mempelajari bahasa Inggris karena bahasa ini bukan “bahasa ibu” kita. Kesulitan adalah proses dari belajar. Salah juga merupakan bagian dari proses belajar. Ia bukanlah hal yang diharamkan, bahkan sangat dianjurkan. Jika kita tidak pernah salah, berarti kita tidak akan pernah belajar hal baru. Akan ada masanya kesulitan yang dirasakan hari ini berbuah manis di kemudian hari. Sigmund Freud (Mark Manson, 2016) mengatakan bahwa akan ada masanya kita tertawa mengingat kejadian pahit dan sulit yang pernah kita alami. Terakhir, penulis berharap agar meme “Ndak bisa basa enggres” tidak menjadi meme yang membuat masyarakat Indonesia berputus asa dalam belajar bahasa Inggris.
Discussion about this post