DI KOTA TUA
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi.
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
Jakarta! Panasnya bukan main. Januari lalu, aku mengarunginya sudah seperti gosong kepanasan karena teriknya matahari. Aku tidak lagi tinggal di daerah yang penduduknya bisa bermurah hati untuk sesama. Namun, tinggal dengan penduduk yang semuanya pintar berhitung. Setiap hari itu seolah-olah hampa tanpa uang disaku. Itulah Metropolitan!
“Kak, aku lagi di kereta. Bentar yah!” pesan singkat dari Kayla lewat Whatsapp. “Oh, iya, Dik! Tidak apa-apa. Hati-hati, ya!” balasku.
***
Agustus lalu, aku sudah berjalan mengelilingi Jakarta ini. Mulai dari naik ojek online. Ikut coba-coba menaiki transjakarta. Bahkan, aku sudah sering bolak-balik naik kereta commuter line. Semuanya ada kenikmatannya sendiri. Ada sebuah cerita yang nanti akan aku ceriakan padamu.
“Ah, macetnya! Kapan aku sampainya, nih!” gerutuku diatas transjakarta.
Jalanan dari Cililitan hingga ke Grogol itu sungguh membuatku kesal. Entah mengapa? Aku seakan ingin keluar dari semua ini hingga aku bisa merasakan bebasnya udara luar. Padahal, didalamnya sudah ada AC. Masih saja aku kegerahan. Jejeran kendaraan yang sudah tak asing lagi bagi orang-orang yang bekerja disini membuat mereka harus bertahan.
“Mba, mau kemana?” sapaku.
“Mau ke Stasiun Grogol. Mau kerja di Citra. Mba sendiri mau kemana?” tanyanya.
“Aku mau ke Citra juga. Tapi, bukan buat kerja. Tapi, ketemu teman.” balasku. “Oh, gitu! Macetnya sih ini nggak bisa selesai,” keluhnya.
“Sabar, Mba. Aku juga baru disini. Jadi, aku sudah merasakan juga sama seperti Mba,” senyumku.
Aku masih merasakan betapa luasnya kota ini. Kabut kecemburuan dimana- dimana. Bercampur debu kelelahan yang tak pernah pudar dari rongga hidung sang pencari rezki Tuhan. Keringat mereka terbuang dan tergadaikan hanya untuk sesuap nasi yang setiap bulannya dibayarkan. Mirisnya! Tapi itulah hidup untuk berjuang dan selalu berjuang.
***
“Kak, dimana? Aku sudah turun nih!” pesan singkat Kayla melepaskan lamunanku.
“Ini kakak di arah pintu keluar dekat Taman Kudus. Belum keluar sih.” “Kakak seberang saja. Aku di seberang. Kita keluar ke jalan Sudirman saja.” “Baiklah! Sebentar yah. Nyebrang dulu.”
Aku mengikuti setiap rel untuk menyeberang ke peron sebelah. Kayla dengan gamis hitam dan jilbab abu-abunya terlihat cantik dengan wajah lelahnya. Sepertinya, dia habis begadang semalam. Tapi, syukurlah dia tidak apa-apa. Masih ceria sepanjang jalan. Malah masih tertawa bersamaku.
“Kirain tadi tersesat di stasiun Tanah Abang. Jadinya, Kayla dicuri orang,” candaku.
“Ah, Kakak. Apaan sih? Hahaha. Ya enggaklah! Orang udah gede pun,” ketawaan Kayla.
“Yuk, keluar dan jalan. Nanti kantornya keburu tutup.” “Yuk, kak!”
Saat itu, kami akan mengantarkan sebuah proposal untuk acara di Pakistan. Tugasku cuma satu yaitu membantu Kayla dan teman-temannya untuk mengurus
proposal sponsorship. Sebab, mereka sibuk UAS dan juga sibuk dengan tugas-tugas mereka. Ini menjadikan mereka kewalahan. Aku tidak menyangka bisa mengenalnya saat ini. Aku senang.
“Kak, pesen Go-Car aja, yah! Biar barengan kita ke kantornya.”
“Oke, Dek! Pakai aplikasi kakak aja. Ada Go-Pay-nya. Biar nggak boros uang.” “Ah, jangan gitu. Masing-masing aja. Biar barengan.”
“Nggak usah. Santai aja, Dek! Hehe.”
Aku melanjutkan untuk memesan kendaraan online itu. Menuju The East Tower. Tujuan utama kami adalah Semen Indonesia. Kata orang kalau mau masukin sponsorship ke Semen Indonesia biasanya bisa. Semoga saja bisa dan diprioritaskan untuk kami.
Gedung megah yang berdiri di tengah Jakarta itu membuatku terperangah. Sebagai orang baru di Jakarta, aku jujur sangat merasa kerdil dan rendahan. Pakaian sederhana, uang seadanya, tampilan juga tidak terlalu mewah. Aku menyadari sulitnya mengais rezki di negeri orang. Memasuki gedung mewah ini sungguh sangat mengesankan. Memberikan pengalaman baru dan lucu sekali.
“Kak, kita lantai berapa?” “Lantai delapan, ya?”
“Oh, iya. Masuk lift ikutin orang ini aja, Kak.” “Oke, Dek!”
Mayoritas isi gedung ini adalah orang Cina. Pekerja-pekerja Indonesia hanya sebagai pekerja rendahan disini. Kebanyakan Cina yang menguasai posisi strategis gedung ini. Aku ingat ketika Pimpinan ICMI mengatakan bahwa sekittar Sudirman hingga Kuningan itu bukan kita lagi yang punya. Orang-orang disana sudah kebanyakan Cina. Miris sekali.
“Kak, ntar, deh! Kita salah bukan?” “Maksudnya?”
“Ini, kakak liat aja. Ini angka lantainya ditekan dimana, ya?” “Haduh, salah lantai ya? Balik lagi, deh!”
“Hahaha. Kakak sih. Capeknya mau balik ke bawah lagi.” “Bismillahin aja, yuk! Namanya juga perjuangan. Hehe.” “Ayo, Kak!”
Ternyata, tombol angka lift gedung ini ditekan diluar dan kita hanya boleh menunggu di lift yang kita tekan tadi. Tidak bisa masuk ke lift orang sebelah. Alhasil, kami menunggu untuk lift kosong dan giliran kami.
“Kay, ini deh, ya. Bener nggak ini lantainya.” “Cobain aja dulu, Kak!”
“Oke.”
***
“Maaf, Mba. Ada keperluan apa, ya?” sapa petugas lantai gedung The East. “Ini, Pak. Mau ke Semen Indonesia. Dimana ya, Pak?”
“Oh, keperluannya apa?”
“Mau antar proposal kerjasama sponsorship.”
“Oh gitu. Mba lurus masuk saja. Nanti ada resepsionis disana. Silahkan berkomunikasi dengan mereka, ya.”
“Oke, Pak. Terima kasih ya, Pak.”
Kilauan serba coklat keemasan. Itu kesan pertamaku memasuki ruangan resepsionis Semen Indonesia. Hanya ada satu orang wanita yang lebih tua dariku. Wajahnya bulat tapi manis. Ah, masih kalah wajahku yang super manis dibanding dia.
Ukiran klasik pahatan kayu dan lantai marmer khas Indonesia. Membuatku yakin kalau perusahaan ini masih milik Indonesia. Beberapa hari yang lalu, Ayah bilang kalau perusahaan ini merupakan perusahaan gabungan dari tiga semen, salah satunya Semen Padang. Mungkin sekian rasa penasaranku.
“Selamat siang, Mba. Ada yang bisa kami bantu?” sapa resepsionis.
“Siang, Mba. Ini kami mau mengajukan proposal sponsorship terkait simposium ke luar negeri. Kira-kira diantar kemana ya, Mba?” kataku.
“Oh iya, Mba. Nanti dititip disini saja. Lokasi pusat Semen Indonesia itu di Gresik. Jadi, dikirim dulu kesana. Mba, bisa nanti hubungi nomor yang di kartu ini,” jelasnya sambil menyodorkan kartu nama Semen Indonesia.
“Baik, Mba. Terima kasih. Selamat siang,” balasku. “Sama-sama. Siang, Mba.”
Aku baru paham kalau Semen Indonesia sekarang itu merupakan Semen Gresik dulu. Ada tiga Semen yang digabung disini. Sahamnya dibeli oleh Cemex. Sudahlah. Indonesia terjual lagi. Tanpa disadari saham itu akan milik orang luar. Yang jelas bukan orang kita.
***
“Kay, habis ini mau kemana lagi?”
“Hmm..Kemana ya, Kak?” tanyanya sambil mikir. “Oh ya, gimana kalau kita ke Kota Tua?”
“Boleh-boleh. Ayok!”
Menuju Stasiun Sudirman kembali dengan mobil online. Sudah semakin siang. Sebentar lagi sore menyapa. Namun, masih ada keinginan untuk bercerita panjang dengan gadis mungil ini. Sebab, kita berjauhan. Mungkin sebentar lagi akan satu kamar. Bisa bercanda dan tertawa bareng.
Menuju Kota Tua mengambil kereta arah Jakarta Kota. Biasanya orang Jakarta cukup menyebutnya “Kota” tanpa ditambahkan “Jakarta”nya. Aku sempat bingung ketika ada yang bicara disampingku mengatakan bahwa dia akan ke Kota Tua. Namun, hanya menyebutkan “Kota”. Lama-lama aku paham kalau itu ternyata “Jakarta Kota” dan sudah pasti “Kota Tua”. Selamat datang kembali di Jakarta, Hanifa.
Akhirnya sampai juga di Kota Tua. Konon kabarnya, bangunan Kota Tua ini sebagai bangunan bersejarah di Jakarta. Mulai bercerita seputar Jakarta dari namanya Batavia. Hingga saat ini bangunan ini kokoh dan sudah beberapa kali perbaikan. Siapa yang tidak kenal dengan Pangeran Jayakarta. Gagah dan berani. Zaman Belanda dulu jadi omongan orang Belanda yang menjajah Jakarta. Datanglah ke Jakarta.
“Udah sampai ini, Kak! Makan, yuk!” “Iya, lapar. Makan, yuk!”
“Kakak, mau makan apa?”
“Apa aja deh. Yang penting kenyang dan itu tidak mahal.” “Ini aja kak. Kaya gado-gado disini. Lebih murah dan enak.” “Oke. Ayuk!”
Baru pertama kali aku menyicipi semacam makanan khas Kota Tua yaitu lontong dicampur mie kuning, sayuran, gorengan, dan diberi kuah kacang seperti makan gado-gado. Aku juga kurang paham namanya. Enak dan mengenyangkan. Duduk di emperan terpal biru. Menghadap bangunan besar dengan merek “Masakan Padang”. Masih saja kita berbicara seputar mimpi kita di masa depan.
“Kak, nanti aku mau cerita panjang sama kakak. Dan, kalau kakak sudah balik dari Padang lagi, kakak harus nginap di kosan aku.”
“Nah, lho? Nginap?”
“Iya, biar kita bisa cerita panjang dan puas.” “Oke deh. Insya Allah, semoga diizinkan ya.” “Aamiin, Kak.”
Kenyang. Kami melanjutkan perjalanan ke arah bangunan kota. Sebelumnya, kami masih dipinggir jalan untuk mencari lokasi makan. Kota yang bersejarah ya Jakarta. Sekelilingnya ada museum. Semua mengandung sejarah tentang Indonesia masa lalu.
Ada ceria yang belum sempat aku ceritakan disini sejak kemarin. Baru saja kita mengukir sebilah cerita di Kota Tua. Sayangnya, aku tak membawa pulpen dan kertas. Aku tak bisa mencatat lebih banyak lagi. Untung saja rekaman ingatanku masih tajam. Sampai langkahnya pun aku hafal.
“Dik, itu Cafe Batavia. Emang nggak mahal, ya?”
“Nggak tahu, Kak. Nekad, yuk! Baterai HP keburu habis. Sambil cerita-cerita.”
Kami masuk. Kaget bukan main. Isinya bukan bagus tapi diluar dugaan. Kami masih pede untuk masuk ke dalam. Memesan teh manis dingin seharga dua puluh lima ribu dengan pajak masing-masing lima ribu. Rasanya seperti belanja di cafe nuansa Belanda. Desain kafe yang vulgar namun masih sopan. Isinya orang-orang berduit semua. Kami masuk dan meminta duduk di tempat yang dekat dengan colokan listrik untuk menambah daya baterai.
“Wah. Gila, Dik! Ini harga teh diluar cuma empat ribu. Disini?” “Dua puluh lima ribu, Kak. Hehe.”
“Keren, deh. Cepet kayanya ini orang kafe.”
“Iya, Kak. Luar biasa. Yaudah, Kak. Lanjut cerita, yuk!”
Masih di lokasi Cafe Batavia. Tepat di depan Gedung Fatahillah Kota Tua itu. Nuansa kafe yang tidak biasa. Aku boleh bilang kalau kafe ini nuansa Belanda. Namun, kami tetap pede untuk singgah walaupun hanya sekedar memesan segelas teh.
Adem dan sangat nyaman untuk bercerita di Cafe Batavia. Bisa bertukar pikiran dan saling bertukar informasi. Aku banyak sekali menceritakan pengalaman- pengalamanku dari aku SD sampai saat ini. Kayla menyimak dan dia tampaknya asyik mendengar dan mengolah kata-kataku. Aku tak tahu kalau dia akan tersindir. Tapi, aku asyik bercerita dengannya. Sudah lama aku tidak cerita pengalamanku dan meminta orang mengkritikku.
Mendung menjelang sore menghampiri Kota Tua. Mungkin beberapa saat lagi cuaca tidak bersahabat dengan suasana hari ini. Masih dengan kisah yang sama. Aku dan Kayla belum keluar kafe. Dengan wajah senyum dan semangat Kayla mencoba memecahkan kebingunganku sehabis bercerita panjang.
“Kak, aku boleh tanya, nggak?” “Boleh. Mau tanya apa?”
“Kakak ada rencana kuliah S2 ke luar negeri, nggak?”
Kali ini dia bertanya serius kepadaku. Aku menanggapi seadanya. Sebab, aku emang punya rencana kuliah ke luar negeri. Namun, aku masih menunggu beasiswa untuk bisa kesana. Salah satunya adalah LPDP. Banyak mahasiswa Indonesia yang lulus LPDP. Aku masih belum menyiapkan untuk hal itu.
“Ya. Kakak juga punya rencana untuk kuliah S2 di luar negeri. Mungkin bukan sekarang. Kakak mau bersiap dulu untuk kesana. Kemaren kakak rencana mau ke Australia untuk mengambil MBA. Tapi, itu nanti.”
“Kak, aku juga punya rencana mau kuliah ke luar negeri. Kalau boleh, aku mau kita bersama, Kak. Aku mau cari teman kesana. Semoga kakak bisa menjadi temanku kesana.”
Aku tersenyum dan dalam hati mengaminkan kata-kata Kayla. Sungguh, aku masih berniat untuk menikah sebelum S2. Namun, aku tidak mau membiarkannya sendiri ke negeri orang. Entah mengapa aku sudah melekatkan hatiku dengannya. Rasa sayang sebagai kakak itu aku bisa rasakan dihadapannya.
“Boleh. Insya Allah kita akan pergi bersama. Doakan kakak panjang umur. Dan, adik juga sehat selalu,” kataku sambil tersenyum.
“Terima kasih, Kak! Aamiin untuk doanya.”
Ada sinar bahagia di wajahnya. Ada semangat baru yang menghampirinya. Aku makin yakin kalau dia sudah termotivasi dengan kata-kataku tadi. Aku juga masih bertanya seputar pernikahanku yang tidak jelas. Aku masih mengatur rencana dan strategi. Ada target yang belum kucapai sebelum menikah.
Aku berjanji pada Ayah untuk menyelesaikan S2 sebelum menikah. Aku juga sudah mengutarakan tekadku untuk S2 sejak lama. Ayah memang susah untuk meyakiniku. Namun, aku akan selalu yakin bahwa Ayah itu hanya mengujiku agar nyaliku bisa terbakar sehingga aku bisa S2 di luar negeri. Ah, Ayah, aku rindu sosokmu.
“Kak, janji ya. Habis dari Padang, kakak harus nginap di kosan aku. Aku akan cerita panjang dengan kakak.”
“Insya Allah, kakak akan menginap. Semoga kita bertemu lagi.”
Sudah sejak di Kantor Saudi Arabian Airlines itu, Kayla merasa sudah mengenalku lama. Tanpa kusadari dia memelukku tanda bersaudara. Aku tahu dia itu suka berteman dan bersahabat. Aku sering memberikan dia nama dengan sebutan “Raline Shah-nya UIN Jakarta.”
***
Jalanan sekitar Kota Tua lembab. Selesai hujan yang membasahi kawasan itu. Banyak sepeda ala Belanda yang mangkir disana. Sepeda wisata yang sering disewakan oleh orang-orang sana untuk para pengunjung. Ada topi ala ratu atau raja Belanda. Bersepeda sore itu mengasyikkan. Apalagi ketika weekend membawa keluarga untuk
bersantai disini sebagai pilihan utama. Menikmati suasana Batavia di zaman Belanda dahulu.
Sudah semakin sore. Waktu ashar juga sudah masuk. Ada mushola mungil di samping rel kereta listrik di stasiun Jakarta Kota. Kami sholat dan menaiki kereta arah ke Bogor. Aku akan turun di Pasar Minggu dan Kayla akan turun di Manggarai dan menyambung kereta ke Tanah Abang. Dari Tanah Abang ke Pondok Ranji. Melelahkan sekali di dalam kereta selama itu.
Senja menyapa begitu indah. Hari ini penuh kenangan. Aku menemukan teman cerita yang pas di Jakarta. Seorang adik kecil yang manis. Sahabat pertama disini. Mungkin ini akan berlanjut hingga ke surgaNya. Melekatkan ukhuwah untuk ke sekian kalinya.
“Sampai berjumpa lagi, Kak! Terima kasih untuk hari ini. Terima kasih dan Jazakillahu khair1, Kak. Semoga semua kebaikan kaka dibalas Allah. Semangat kakak dijaga oleh Allah. Selalulah berjuang. Aamiin.”
“Aamiin. Insya Allah. Waiyyaki2, Dik. Sehat-sehatlah selalu, ya. Sampai bertemu seusai dari Padang.”
“Insya Allah.”
Berpisah sementara di Stasiun Manggarai. Sudah semakin senja. Matahari sore malu-malu balik ke peraduan. Aku juga malu-malu menyimpan rindu padanya. Masih aku ingat kata-kata dan wajah Kayla untuk kuliah ke luar negeri. Ah, aku sangat menyayanginya. Ada sesuatu yang membuatku sayang dengannya. Yang pasti bukan urusan dunia. Tapi, semua karena Allah bukan karena siapa-siapa.
Masih berdesakan diatas kereta. Stasiun Gondangdia hari ini ramai sekali. Berdesakan dengan orang-orang yang pulang bekerja. Mengais rezki Illahi yang tersimpan di bumi. Oh, inilah rasanya bekerja dari pagi hingga petang. Bahkan ada ibu-ibu yang telat pulang ke rumah karena urusan pekerjaanya. Ada ibu-ibu yang ikut berdesakan hanya untuk sebuah uang yang akan diterimanya nanti.
Aku memang belum bekerja. Melihat seorang ibu-ibu seperti ini, aku teringat dengan anak-anaknya nanti. Bagaimana anak-anaknya dirumah? Apakah ada pembantu? Rasanya bukan tugas seorang ibu untuk mencari rezki sampai senja begini. Ada cerita lain dariku nanti. Cukuplah nanti aku ceritakan. Sebab, sekarang sudah mulai semakin gelap.
Sebentar lagi Stasiun Pasar Minggu. Suara operator mulai memecahkan keheningan di dalam kereta. Wajah lelah, kusam, dan berdebu masih kurasakan saat ini. Oh, gerahnya. Semoga saja orang-orang diatas kereta ini diberikan kekuatan selalu oleh Allah untuk mencari nikmat Allah di dunia ini.
***
1. Terima kasih semoga Allah membalas kebaikanmu
2. Sama-sama
Bersambung….
Discussion about this post