KECEWA YANG PERTAMA
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi.
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
“Sudah selesai, Rud?”
Ada pesan singkat dari Kayla. Kayla masih menanyakan proposal keberangkatan mereka ke Pakistan. Ada rencana juga untuk singgah ke Madinah. Namun, mungkin itu hanya isu singkat saja.
“Sudah. Tadi Kak Hani sudah kirimkan lagi desainnya.” “Oke.”
“Minggu depan kita sudah bisa sebarkan.” “Sip!”
Kayla menutup whatsapp singkat dengan Rudi. Baru saja Rudi merasa lega setelah semua ini selesai. Saatnya mereka menentukan kemana saja proposal ini akan disebarkan. Masih bertanya kepadaku untuk cara-cara mencari link sponsor untuk mendapatkan biaya keberangkatan mereka.
Aku menjelaskan secara detail apa saja yang menjadi syarat untuk bisa menembus beberapa instansi dan perusahaan. Semuanya harus sesuai dengan kebutuhan yang mensponsori. Feedback yang dibuat juga harus sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
“Kalian ini akan ke Pakistan, pasti bawa nama. Ini misinya untuk pendidikan. Salah satu kemungkinan besar adalah menggunakan CSR dari beberapa perusahaan dan instansi. Kedutaan Pakistan dan perusahaan besar Indonesia.”
“Trus, Kak?” sela Rudi.
“Kamu bisa antar kesana. Trus, bisa saja ke perusahaan penerbangan untuk mendapatkan biaya tiket. Ke Semen Indonesia, dan lain sebagainya.”
“Kapan kita berangkat, guys?” Rudi langsung menyalib penjelasanku di grup
whatsapp itu.
“Kita atur jadwal kuliah dulu, Rud.” Balas Kayla.
“Yaudah. Kalian semua kirimkan jadwal freenya disini.” “Kak Hani ikut, kan?” tanya Kayla secara pribadi.
“Ikut kalau masih ada waktu kosong.”
“Aku bareng kakak aja, ya. Aku nggak mau diajak Mustafa.”
Lama grup itu heboh. Mustafa muncul dengan gamblangnya. Dia menyela semua pesan grup. Dia memaksakan kalau dia mau pergi dengan Kayla. Kayla tentu saja menolaknya. Kayla tidak mau bertemu lagi dengan Mustafa.
“Aku pergi bareng Kak Hani saja besok. Besok kita free.” “Bareng aku, dong!” sahut Mustafa.
“Kamu pergi bareng yang lain aja. Aku Cuma punya waktu besok. Maaf, ya!” “Shiit..!”
Mustafa kesal dengan jawaban Kayla yang sangat lugas dan juga tanpa ada kalimat yang disembunyikan. Kayla mencoba untuk tidak berbasa-basi terlalu panjang. Demi menghindari debat kusir dengan Mustafa. Rudi akan sangat gerah bila Kayla dan Mustafa sering debat.
Kayla menarik napas pelan dan dalam. Seolah-olah nyawanya baru saja terselamatkan dari cengkraman Mustafa. Sudah alasan yang ke sekian kalinya Kayla tujukan kepada Mustafa. Tetap saja Mustafa keras untuk mengajak Kayla pergi berduaan.
Hanya menerima rasa cinta yang terpaksa. Kayla saat ini juga merasa terpaksa untuk mencintai Mustafa. Banyak ancaman dan tekanan dari Mustafa yang membuat Kayla seperti orang stress. Kadang dia melamun sendiri bahkan kadang pun dia pusing sendiri.
***
“Kay, barengan aja, dong! Kita ke Saudi Airlines dulu, ya?” “Yaudah. Besok bisa kan?”
“Jangan besok. Aku akan atur jadwal lagi. Yang jelas kita barengan aja kalau ke Saudi Airlines.”
“Duh. Haruskah kita menunggu jadwalmu, Rud?” “Iya. Aku ketua, kan?”
“Terserah, deh! Kabari saja intinya.”
Kayla menutup obrolan di depan kelas itu dengan Rudi. Mereka masih terlibat dengan kekesalan sesama mereka. Hanya saja mereka tak mau terlihat jelek di depan teman-temannya. Sengaja saja menyimpan rasa kekompakan dibalik tertekannya.
Bangunan bercorak krem, hijau, dan coklat itu membuat suasana Islaminya terlihat kental. Mirip kampus-kampus yang ada di Madinah. Alumni kampus ini banyak yang lulus untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Bahkan, banyak undangan juga untuk bekerjasama dengan Arab.
Dulu impianku pernah kesini. Sampai aku ditemukan Kayla. Aku memang tidak tahu awal dan akhir dari petualangan duniaku. Hanya saja, mengenal beberapa yang dekat dengan kampus ini membuatku bahagia.
***
“Kak, besok ikut kita ya ke Saudi Airlines. Kita bareng saja dengan yang lain.” “Oke, Rud. Kabari saja jamnya. Nanti kakak akan menyusul.”
“Tempatnya di Menara Imperium. Kakak pasti tahulah. Ada di google juga.” “Iya, deh!”
Saudi Airlines! Sebuah perusahaan penerbangan yang melayani penumpang ke luar negeri terutama ke Saudi Arabia. Dengan logo dan desain emas berbaur ungu membuatnya semakin terlihat profesional. Aku, Kayla, dan Rudi bermaksud untuk meminta Saudi Airlines mendiskon tiket keberangkatan kami ke Pakistan.
“Rud, kakak sudah di depan Menara Imperium. Ditunggu di lobi, ya.”
Aku mengirimkan pesan singkat kepada Rudi. Kayla masih di kereta. Dia sudah meminta izin untuk terlambat mendatangi Menara Imperium. Ada beberapa perusahaan dalam satu gedung menara itu.
“Tunggu, ya, Kak! Sebentar lagi aku sampai.” “Oke. Kayla sudah sampai mana?”
“Aku nggak tahu, Kak! Sepertinya dia telat keluar kelas. Ada belajar kelompok
tadi.”
“Oke sip.”
Rudi bergegas memasuki lobi menara. Kami menunggu Kayla disana sebelum menyapa resepsionis untuk menukarkan kartu identitas dengan kartu sensor untuk masuk ke kantor Saudi Airlines.
Dari kejauhan, Kayla juga buru-buru menyusul Rudi. Ternyata, sudah dari tadi dalam perjalanan ke Stasiun Sudirman. Hanya saja, Rudi menaiki kereta pertama siang itu. Kayla menaiki kereta setelahnya.
“Rud, tunggu! Huh!” teriak Kayla terengah.
“Lah, kamu kenapa lari-lari? Dikejar siapa coba?” “Apaan, sih? Orang pengen menyusul biar bareng.” “Ntar pacarmu ngamuk lagi kalau bareng-bareng aku.” “Huss…! Diam!”
Kayla sedikit kesal mendengar candaan Rudi yang memang mengesalkan itu. Tak ada waktu mereka untuk tidak berdebat dan bertengkar. Sesulit apapun kondisinya, mereka pasti bertengkar. Bahkan, sampai berbuntut panjang hingga Kayla menangis.
Rudi juga tak mau mengganggu ketenangan Kayla. Ada Hasbi, sahabatnya yang juga menyukai Kayla. Tidak mungkin Rudi akan menyukai Kayla dalam waktu bersamaan. Lagian, Rudi hanya sekedar bersahabat dalam sebuah proyek saja. Jarang sekali dia terpengaruh dengan masalah hati.
Egoisnya Rudi, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Sebisa mungkin dia akan mengusahakan kepentingannya dibanding kepentingan kelompoknya. Dia bisa saja keluar dari kelompok ini kalau tak ada yang bisa diajak kerjasama. Tapi, dia tak akan bisa berhasil kalau tidak dengan bantuan Kayla.
Tak lama menunggu. Semuanya sudah lengkap. Mereka memasuki ruangan kantor Saudi Airlines itu dengan perasaan kagum. Mewah memang kesannya. Mereka tak pernah memasuki area perkantoran itu selain Rudi. Rudi memang sering masuk kesana.
Kami disambut oleh resepsionis kantor dan diarahkan untuk menunggu bagian pemasaran Saudi Airlines. Sembari menunggu, Kayla banyak bercerita. Ada Hasbi yang baru datang. Dia selalu melihat tingkah Kayla yang menggemaskannya.
“Woi! Matanya tolong tuh dikondisikan!” teriak Rudi. “Apaan, sih! Orang lagi lihat bidadari surga, nih.” “Astagaaa…!”
Hasbi selalu saja membuat suasana berubah menjadi lucu dan menyenangkan. Walaupun, dia juga menyimpan rasa suka. Namun, tidak menampakkannya secara jelas. Tetap dia pendam.
“Sainganmu Mustafa, Bi! Inget itu!” tegas Rudi.
“Kalau Allah berkehendak. Mustafa pun lewat di dunia ini,” Hasbi mencengir.
Kayla masih senang bercerita denganku. Hingga membahas semua rencanaku untuk menemaninya mengantarkan proposal ke perusahaan lain. Memang aku ingin selalu dengannya. Aku juga tak mau berpisah dengannya. Biarpun itu sedetik. Rasa sayangku sudah kuat buatnya
“Kalian yang mau berangkat ke Pakistan, ya?” sapa seorang wanita cantik bernama Wina.
“Oh, iya, Mba!” jawab Rudi.
“Yuk, ikut saya ke ruangan. Kita berdiskusi disana.” “Baik, Mba!” ujar kami serentak.
Mba Wina selaku Manajer Pemasaran Saudi Airlines sungguh cantik dan baik. Dia menjelaskan kepada kami secara detail seputar keberangkatan kami ke Pakistan. Aku selalu mendengarkan dengan seksama.
“Kami bukan tidak mau mendanai kalian untuk berangkat. Melihat urgensi dari acara ini, kami masih ada yang prioritas. Mungkin lain kali akan bisa kerjasama dengan kalian, ya.”
Wajah-wajah kecewa mulai memancar dari Rudi dan Hasbi. Kecuali Kayla. Sedikit sedih memang. Rudi dan Hasbi sudah kecewa hari ini. Namun, mereka tidak akan lepas kendali. Masih ada perusahaan lain yang belum diajukan proposal.
***
Bersmbung….