SIMPOSIUM PAKISTAN
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi.
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
“Sudahlah! Hentikan dulu debatnya. Kalian mau dibantu nggak, nih?”
Kayla sejak tadi kesal melihat Rudi yang selalu mempermasalahkan setiap bab dari sebuah proposal sponsorship mereka. Beberapa waktu lalu, mereka sangat kompak untuk menyelesaikan proposal ini sampai selesai. Namun, ada-ada saja kekesalan Kayla kepada Rudi. Terutama Hasbi.
Bukan Kayla tak menyukai Rudi dan Hasbi, hanya saja mereka selalu membahas hal-hal yang membuat Kayla sangat tidak suka dengannya. Belum lagi urusan Kayla dengan Mustafa yang memang akhir-akhir ini membuatnya lelah.
“Jadi, bagaimana?”
Hasbi kembali membuka obrolan grup mereka yang sejak tadi panas dan diam sebentar karena menunggu respon dari penghuninya. Ada Mustafa juga yang ikut membaca obrolan ringan itu.
“Begini saja, ini proposal harus dikonsultasikan dengan orang yang benar-benar paham tentang isinya. Kalau ada kawan-kawan disini yang kenal salah seorang yang paham dengan proposal ini. Boleh diusulkan disini.”
“Ya. Kamu benar, Rud!” “Kayla mana?”
Hasbi merasa khawatir dengan Kayla yang sejak tadi tidak muncul di grup ini. Kemungkinan, Kayla sudah bosan dan pergi begitu saja. Dia sedang sibuk menjelaskan kondisinya saat ini kepada Mustafa. Pacarnya yang sejak beberapa bulan ini lumayan membuat stres berat.
Belum lagi tugas-tugasnya yang menumpuk karena galau. Dia tak bisa memegang apapun selain handphone mungilnya. Ada saja telpon dan pesan yang membuat hatinya terluka. Menyakitkan!
“Apa maumu?”
“Aku tak mau apa-apa.” “Lalu?”
“Jika kamu pergi ke Pakistan, aku harus ikut serta denganmu.” “Maksudmu apa?”
“Ya. Aku tak akan membiarkan siapapun laki-laki yang akan bersamamu dan dekat denganmu.”
“Kamu egois! Ini urusanku dan duniaku. Kamu tidak pernah capek-capeknya mengatur hidupku yang belum halal untukmu, Mus!”
“Kamu bilang belum halal?”
“Memang belum halal. Kamu mau bicara apa lagi?”
Kayla setengah membentak kepada Mustafa. Mustafa memang sejak dulu mengejar dan menyukai Kayla. Namun, Kayla tidak pernah menanggapi dengan serius. Kayla hanya memaksakan hatinya untuk mencintai Mustafa. Dia takut, ketika menolak Mustafa. Mustafa akan menunjukkan wajah bengisnya.
“Intinya, aku ikut denganmu!”
Telpon whatsapp itu ditutup begitu saja. Mustafa sedikit kesal karena Kayla menolak idenya untuk ikut Kayla ke Pakistan. Simposium bergengsi ini merupakan sebuah simposium yang sudah pernah diikuti Kayla di Madinah tahun lalu. Kayla sudah sekalian umrah disana.
Kali ini niatnya hanya membantu Rudi dan Hasbi agar bisa kesana juga. Namun, mereka tidak begitu tertarik membantu. Rudi begitu licik kepada Kayla. Hanya memanfaatkan potensi Kayla yang bisa menembuskan proposal sponsorship mereka kepada dekan dan rektor kampus mereka.
Belum lagi Hasbi yang memang berniat sekali untuk ikut tour ke Madinah setelah dari Pakistan. Mereka sudah merancang beberapa hari yang lalu untuk backpacker ke tiga negara sekaligus. Sepertinya, ini hanya jadi omong kosong grup saja.
“Sudah ada yang dapat orang yang bisa diajak diskusi masalah proposal sponsorship ini?”
Tiba-tiba saja grup berbunyi. Rudi kembali menyapa grup dengan pertanyaan yang lugas. Dia nampaknya kesal dan sangat tidak enak hati. Kalau bukanlah dia yang ingin berangkat, dia tidak akan mengurus proposal ini berkelompok. Hanya melelahkan saja batinnya.
“Belum!” Kayla membalas singkat. “Kamu kemaren kemana saja?”
“Bukan urusanmu. Kamu juga carilah.” “Bagaimana, Hasbi dan Mustafa?”
“Aku sedang sibuk dengan urusan kampus. Mungkin aku titip dulu ke Kayla.”
Mustafa yang awalnya tidak akan diikutkan akhirnya ikut juga. Berkat bujuk- bujuk Kayla kepada Rudi. Mustafa muncul di grup panas mereka. Mustafa dan Hasbi tak lebih hanya sebagai penumpang di proposal itu. Nama mereka hanya terpampang untuk merebutkan Kayla. Atas rasa cinta kepada Kayla mereka rela untuk main licik.
“Mus, bisa ikut kumpul di kampusku nggak Jum‟at depan?” “Insya Allah. Aku lihat jadwalnya dulu.”
“Pastikan, dong!”
“Iya. Nanti aku kabari kembali.”
Tak lama membalas obrolan grup. Mustafa menghubungi Kayla yang sedang sibuk menyusun paper tugasnya. Sudah memasuki Ujian Semester. Banyak tugas yang menumpuk. Dia harus mengejar semua ketertinggalannya.
Mustafa menelpon Kayla mengajak Kayla jalan-jalan setelah ada diskusi dengan Rudi Jum‟at depan. Kayla masih sibuk dengan tugas-tugasnya. Alhasil, telpon Mustafa hanya diabaikan begitu saja.
Hanya beberapa saat setelah pesan Mustafa dibaca Kayla. Handphone itu dimatikan Kayla. Kayla butuh ketenangan saat ini. Tanpa harus memikirkan Mustafa dan simposium yang masih belum jelas keberadaannya.
“Aku ada usul. Aku punya kenalan. Beliau sudah biasa mengurus proposal- proposal sponsorship ke luar negeri. Pernah satu tim sama aku di Model United State (MUN) beberapa waktu lalu.”
“Siapa?” Hasbi langsung membalas. “Kak Hanifa. Tim aku dulu.”
“Boleh, tuh!” ujar Mustofa. “Yaudah.”
Hanya Kayla yang diam sejak diskusi itu dimulai. Dia sibuk dengan handphonenya. Tanpa berkata satu kata pun. Dia hanya celingak celinguk memandangi dua orang temannya dan seorang pacarnya yang terpaksa ini. Masih cuek dan tak mau diajak bicara.
“Kay!” panggil Rudi. “Kay!”
“Kayla!” Rudi sedikit kesal.
“Ehm. Ya. Ada apa? Udah sampai mana diskusinya?”
Kayla kaget dan dengan cepat menyimpan handphonenya. Dia pura-pura tidak tahu dan tidak mengenal diskusi simposium ini. Mustafa yang sejak tadi memandanginya hanya berdalih pasrah. Dia tidak bisa memarahi Rudi yang sedikit emosi kepada Kayla. Suasana sedikit hening.
“Kamu serius nggak, sih bantuin kita?” Hasbi menimpali. “Iya. Aku serius.”
“Kenapa dari tadi kamu diam dan nggak respon sama sekali?”
“Maaf. Aku sedang pusing dengan tugas-tugasku yang menumpuk. Yaudah.
Sudah sampai mana?”
“Mungkin kamu butuh istirahat, Kay!” ujar Mustafa.
Kayla terdiam sebentar sebelum meminta diskusi dilanjutkan. Dia memandangi Mustafa dengan mata tajam. Amarahnya mulai memuncak. Namun, dia terpaksa meredamnya. Tidak baik juga perang mulut di depan teman-temannya hanya untuk masalah hati dia dan Mustafa.
“Aku setuju dengan usulan Rudi untuk minta tolong ke Kak Hanifa. Kamu undang saja Kak Hanifa ke grup kita. Agar nanti bisa diskusi kebutuhan apa saja yang perlu disiapkan.”
“Ya. Benar!” Mustofa alih-alih mendukung usulan Kayla.
“Usulanmu apa, Mus? Dari tadi jawabnya iya saja. Kamu sebenarnya ingin ikut simposium atau ikut jagain Kayla?” Rudi memecahkan ketenganga diskusi.
“Tahu aja kamu. Dua-duanya, lah!”
Ucapan Mustafa disambut dingin oleh Hasbi yang dari tadi masih menampakkan muka masamnya. Entah apa yang membuat Hasbi panas. Dia menyimpan rasa suka yang tak biasa kepada Kayla dulu. Namun, saat ini dia merasa harus mundur. Tapi, batinnya menolak.
Bersambung….
Discussion about this post