“Jika aku ingin menyesal, aku ingin menyesal menikahi suamiku. Pasti aku berdosa mengatakan ini karena itu aku perlu menikmati hidup dengan jalan-jalan. Anakku sudah dua. Aku tidak mungkin berpisah dengan suami. Demi anak-anak, aku akan bertahan dan mencari kebahagiaanku sendiri meskipun prinsip hidupku dan suamiku beda. Kami selalu bertengkar hebat soal itu.”
“Kenapa kau tak pernah cerita?” Sofa kaget mendengar pengakuan Nora.
“Kau juga tak pernah tanya kan?!” Nora membalas Sofa. Sofa terdiam
“Iya benar. Kita sering lupa dengan kehidupan kita masing-masing sekarang.” Lanjut Sofa. Jadi, apa sesungguhnya pernikahan yang akan ia jalani? Sanggupkah ia mengarunginya dengan tetap berbahagia jika ia menemukan segalanya tak sesuai dengan harapan, seperti kehidupan Nora.
Tiba-tiba, pesan Azka kembali masuk.
“Kau masih bersedia menungguku? Aku akan terluka melepasmu. Melepas perjodohan kita.”
“Mumikan saja lukamu. Kita akan baik-baik saja tanpa satu sama lain bukan?” Balas Sofa.
“Tidak akan. Akan ku-Merapi–kan dan ku-Singgalang-kan saja kau di hatiku agar makin tinggi menjulang.”
“Terserah kamu. Kuharap kau tak menyesali apa pun jika kita harus saling melepaskan.”
“Kenapa kita harus saling melepaskan? Aku ingin mengenggammu dan berjalan bersamamu.“
“Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu.”
“Jika itu pilihanmu, bolehkah aku tetap merindukanmu?”
“Titip saja rindumu pada langit kelabu tempat orang-orang menyimpan sendu. Dengan begitu, aku tak akan tahu. Pastikan kau tidak jatuh cinta untuk kedua kalinya padaku. Saat kau datang kembali, semuanya tak akan sama lagi. Aku tidak membuka hati dua kali untuk orang yang sama.”
“Aku akan mengingatnya. Jika aku kembali dan kau masih sendiri, aku menanam kebun mawar di hatimu.”
“Tidak. Mungkin kau hanya akan mendapati selongsong hatiku yang kosong.”
“Kau terdengar kejam. Jangan menghapusku terlalu keras. Itu akan menyakitimu.” Balas Azka dengan emoticon senyum. Senyum itu menandakan Azka baik-baik saja. Ia tak akan kalah. Itu sekian percakapan Sofa dan Azka pada suatu siang di musim dingin. Sofa merapatkan syal dan kupluk pink yang bertengger manis di kepalanya. Temperatur musim dingin yang random makin membuat hatinya beku menerima pesan-pesan dari Azka.
Jika Azka kembali, barangkali ia hanya akan menemukan perdu dan semak belukar yang tak bernama. Karena sejak hari itu, Sofa tak ingin lagi menjatuhkan air mata untuk Azka. Serupa kelahirannya yang disambut tawa bahagia maka ia pun harus memilih menjalani hidup dengan bahagia. Ia tak butuh drama untuk berbalik arah dan berlari menemui Azka. Mereka tidak harus saling berpegangan tangan menuju arah yang sama. Sofa berterima kasih atas hadir Azka karena menginspirasi ceritanya, diskusi-diskusinya, dan riset-risetnya. Entah berapa banyak terminal, stasiun, dan bandara yang mesti ia lewati sampai ia harus berhenti dan menambatkan hati. Tak ada pula yang perlu ia benci dan ia kunci. Hatinya hanya tersesat di hati Azka.
“Bagiku mengenalmu adalah pelajaran mengenal sisi paling rahasia dari diri dan hati perempuan. Kau akan melengkapi cerita hidupku. Saat ini, aku hanya perlu sedikit bersedih karena kita sulit saling menemukan. Kita tak harus saling menghapus di media sosial dan di dalam hati masing-masing kan?” Pesan Azka.
“Aku akan mempertimbangkannya.” Balas Sofa.
Saat aku tak menemukanmu di mana pun
Aku akan menjadikanmu hadirmu sebagai pelajaran
Yang akan kutekuni sepanjang hidupku
—Sofa—
Saat aku ingin menemukanmu kembali
Aku akan membangunkan kebun mawar
yang akan merimbuni hatimu
–Azka–
Padang, 30 Mei 20
Catatan:
halmeoni : nenek
Ne. Arraseo : Ya. Mengerti/baiklah
Indonesia saramimnida: Orang Indonesia