Oleh:
Udayana.
Hari ini Senin 18 Mei 2020 , 6 Hari sebelum putri cantikku Sarah Udayana akan genap berusia 21 tahun. Dia sudah menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran dan sudah menyandang gelar Sarjana Kedokteran.
Mestinya Ramadan ini dia sudah memulai coas, tetapi terundur karena Pandemi Covid-19. Semoga putriku diberi kesabaran dan umur yang panjang untuk meneruskan baktinya nanti untuk negeri dan menjalani hidup dengan berpedoman pada Akhlatul Kharimah, Aamiin.
Di depan mata, 6 hari lagi Lebaran juga datang menjelang. Hari Kemenangan dimana kita sudah melewati ingatan untuk selalu melatih kesabaran dan melaksanakan kepatuhan tanpa batas atas perintahNya, menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Ramadan ini sangatlah spesial, tidak ada perayaan “Mandi Balimau” yang selama ini menjadi tradisi kuat turun-temurun. Tak ada Shalat berjamaah di masjid baik yang rutin, sholat Jumat, tarawih bahkan shalat Ied.
Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku Ramadan dimana masjid tidak dapat menjalankan kegiatan rutinnya karena seruan MUI untuk beribadah di rumah demi mencegah umat terjangkit virus corona.
Kepatuhan rakyat terhadap Ulil Amri betul-betul ditunjukkan dengan sangat baik. Setidaknya di kota tempatku tinggal, Pekanbaru.
Di tengah banyak ujian tersebut, batinku selama Ramdan sangatlah hangat. Ibuku yang dalam beberapa tahun terakhir harus memperhatikan kesehatan jantungnya ternyata masih sanggup menjalankan ibadah puasa. Lengkap dengan melaksanakan shalat tarawih sendiri di rumah.
Tak berhenti sampai disitu, Ibuku rutin menelponku untuk membangunkan dan mengingatkan pelaksanaan Sahur. Bagiku itu menghangatkan jiwaku sampai ke titik terdalam yang bisa kurasakan.
Kasih seorang ibu tak akan berhenti sampai dia menua. Dia hanya akan hilang ketika dia kembali pada sang pencipta. Aku bersyukur sekali, Allah memberiku seorang ibu yang bukan hanya mendidik tetapi juga menjagaku untuk selalu berbuat kebaikan.
Tentu saja aku sedih, Ramadan ini aku tak sekalipun bisa berbuka puasa ataupun sahur bersama ibuku. Pandemi Covid-19 ini menjadi penghalang utamanya.
Meskipun aku merantau sejengkal saja dari kampungku tapi aku tahun ini tak bisa pulang menjenguk ibuku di Bulan Ramadan. Ketakutan bahwa adanya kemungkinan aku bisa saja menjadi carrier virus tersebut sehingga bisa saja menularkan kepada ibuku membuatku dengan kesadaran sendiri memutuskan untuk tidak pulang kampung. Tidak juga di saat Lebaran nanti.
Untungnya ibuku memahami hal itu dengan baik sehingga beliau ikhlas dan rela, agar kami semua terhindar dari bencana terjangkit virus Corona. Mencegah jauh lebih baik daripada mengobatinya.
Kondisi kami semua karena wabah yang mendunia ini betul-betul penuh dengan cerita haru. Putri bungsuku Adjani Putri Cemillya Udayana tiba-tiba saja harus berhenti ujian di tengah Ujian Akhir Semester.
Sekolah libur total, dan itu tidak hanya untuk UAS tetapi sampai ke Ujian Nasional. Dia tetap dinyatakan lulus memang, tetapi terasa ada yang kurang dengan tidak adanya dua kegiatan tersebut.
Bulan ini putri bungsuku itu mestinya berada di Jakarta untuk perbekalan bahasa dan sains sebagai bekal studinya ke Jerman, tetapi tidak bisa dilaksanakan. Dia harus ikut program jarak jauh dengan memamfaatkan tentu tidatekhnologi. Hasilnya tidak sebaik bertatap muka langsung di kelas.
Tak terhenti sampai disitu, sampai saat ini belum ada kepastian apakah dia bisa akan berangkat Januari depan atau tidak padahal dia sudah melewati satu fase, masuk peguruan tinggi lewat jalur undangan. Ya, ketika dulu formulir dibagikan ( Program mahasiswa undangan) dia tidak mengisi satupun aplikasi karena tekadnya yang bulat untuk melanjutkan studi ke Jerman.
Aku memahami kegalauannya saat ini dan semoga Ramadan mengajarkan putriku untuk kesabaran dan keyakinan akan takdirNya. Tuhan tak pernah memberi ujian tanpa jalan keluar bagi umatNya yang patuh dan tunduk pada kuasaNya. Semua Dia memberi jalan terbaik bagi putri bungsuku.
Aku sendiri lumayan kaget dengan wabah mendadak ini. Usahaku mendapat ujian berat, tiba-tiba saja perbankan tidak memproses semua aplikasi calon konsumen yang membeli rumah. Akibatnya tentu saja tak ada pemasukan.
Uang berhenti mengalir masuk, sementara pengeluaran tetap ada. Biaya rutin pribadi, gaji dan THR karyawan tetap harus dikeluarkan. Sungguh ini menjadi pukulan yang telak, apalagi kita baru saja melakukan investasi yang dari sisiku termasuk investasi besar.
Untung saja aku memiliki teman-teman yang baik. Ada Pak Joi Kahar , Uda Yenon Orsa dan Nuzul Amri yang membantu meringankan bebanku sehingga hal sulit ini untuk sementara dapat kulalui . mereka membantu dengan ikhlas.
Disinilah aku faham bahwa ikut sebuah perkumpulan seperti Saudagar Minang Raya akan membawamu berkumpul dengan orang-orang baik. Seperti mendapat tambahan saudara baru. Terima kasih saudara-saudaraku di SMR yang telah membantuku meringankan beban menghadapi musibah pandemi covid-19 ini.
Di sisi lain, sepulang dari RAT SMR 14 Maret di Padang, aku betul-betuk mengikuti saran pemerintah untuk tetap tinggal di rumah. Menjauhkan diri dari kemungkinan terjangkit wabah. Aku bahkan mencukur sendiri seluruh rambutku.Botak sempurna agar aku betul-betul jauh dari kemungkinan terjangkit dari orang lain.
Kedua putriku bahu membahu membuat masakan untukku. Ini menjadi luar biasa karena selama ini mereka tidaklah biasa melaksanakan tugas memasak. Aku biasanya makan di luar, anak-anakku juga. Kita terbiasa untuk makan di luar karena aktivitas yang begitu padat. Aku bahkan tidak menyadari bahwa kedua putriku yang telah beranjak remaja dan dewasa ternyata memiliki kemampuan memasak.
Mungkin di tengah wabah ini Tuhan ingin menunjukkan kepadaku, bahwa aku adalah seorang pria yang beruntung karena kedua puteriku ternyata tumbuh menjadi putri-putri yang berbakti dan sayang kepada kedua orang tuanya. Air mataku sering menetes ketika menerima kiriman makanan dari mereka, bukan untuk mengangapnya seperti sebuah drama korea tetapi lebih karena rasa haruku mendapati kenyataan betapa sayangnya kedua putriku pada orang tuanya.
Terima kasih Tuhan, engkau anugrahi rakhmat terbesar dalam hidupku berupa bakti dan rasa sayang yang tulus dari kedua putriku.
Saat ini sudah nyaris dua bulan aku berada di rumah saja. Patuh pada Ulil amri agar membantu terputusnya mata rantai penyebaran wabah ini di bumi pertiwi. Sayangnya dalam beberapa waktu belakangan tiba-tiba pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang tidak lazim.
Kepatuhan orang tidak beribadah di Mesjid, tidak pulang kampung untuk berkumpul di saat lebaran tiba-tiba terasa dicederai oleh kebijakan nyeleneh menghidupkan kembali transportasi udara. Kebijakan yang dibuat seolah-olah dikeluarkan dengan aturan yang ketat tetapi dibantah oleh kenyataan terlihat bertumpuknya orang-orang di bandara.
Selain itu dalam beberapa hari terakhir aku dikejutkan oleh kebijakan bahwa orang-orang berumur di bawah 45 Tahun dapat kembali bekerja. Social Distancing dan isolasi Mandiri yang selama ini didengung-dengungkan seolah kehilangan makna.
Tetapi aku menyadari bahwa negeri kita miskin secara ekonomi, masyarakat pun sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan. Meski kaget akhirnya aku bisa memahami bahwa itu adalah kebijakan yang mau tidak mau harus diambil agar pertahanan kita semua tidak jebol.
Tapi yang tak bisa aku fahami adalah tiba-tiba saja ada konser musik untuk amal yang diadakan BPIP. Aku hanya bisa bilang Wow ! Selama ini kita sudah tidak menjalankan ibadah ke Mesjid dan tidak pulang kampung berhari raya karena patuh pada seruan pemerintah, kenapa mereka mencenderai kebijakannya sendiri dengan konser segala ? Seberapa pentingnya konser tersebut sehingga harus diselengarakn di bulan Ramadan ini ?
Entahlah Hanya hati mereka yang tahu. Aku tidak mau protes karena selain percuma juga berbahaya bagi diriku sendiri. Sebelum merantau ada tiga hal yang dipesankan nenekku tidak boleh dilawan, pertama orang kaya, kedua pejabat negara dan ketiga orang gila. Aku hanya akan melawan dalam hati karena itu masih tetap menunjukkan keimanan walaupun tergolong selemah-lemahnya iman.
Pagi ini aku berfikir mungkin ini cara Tuhan memberi tahu kita bahwa lain kali kita harus benar-benar serius memilih pemimpin. Pilihlah yang terbaik darimu untuk menjadi pemimpin diantara kamu, begitu pesanNya dan kita seperti abai dengan pesan tersebut.
Yang terbaik meliputi banyak hal, Yang terbaik pengetahuannya, Yang terbaik dalam kesatuan rasa dengan masyarakatnya dan yang terbaik dalam keimanannya. Pemimpin yang baik tidak akan melukai hati warganya apalagi untuk hal-hal sensitif seperti agama.
Pemimpin yang baik adalah yang mampu mengangkat kemakmuran dan ketahanan pangan warganya. Mereka yang dapat membawa kita selamat hidup di dunia dan membawa bekal yang banyak untuk akhirat nanti.
Subuh ini aku berdoa agar orang-orang berhenti mencela. Kepatuhan terhadap ulil amri tetap menjadi pedoman kita karena diajarkan dalam kitab suci, memilih ulil Amri yang baik dan kuat pemahaman agamanya akan menjadi PR kita tersendiri nantinya. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.(*)
Discussion about this post