Oleh:
Ustadz Apria Putra MA.
Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi atau yang dikenal dengan Syaikh Mungka atau Baliau Surau Baru ialah salah seorang ulama multidisipliner dari Minangkabau. Ia dikenal sebagai syaikhul masyaikh (maha guru) dari ulama Minangkabau pada awal abad 20.
Selain sebagai pendidik, ia juga merupakan penulis produktif yang menghasilkan karya-karya tulis berpengaruh di masanya.
Syaikh Mungka lahir pada 1857 di Koto Tuo Mungka, Luhak Limapuluh Kota. Ia lahir dengan nama Anggun. Ayahnya Muhammad Tinta’ merupakan orang siak (santri) yang telah memberikan warna keagamaan di masa kecil Syaikh Mungka. Sehingga ia mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu agama hingga Tanah Suci, Mekkah.
Syaikh Mungka wafat pada 1920, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di samping surau, yang telah menjadi saksi pengabdiannya dalam agama, dikenal dengan Surau Baru.
Perjalanan Syaikh Mungka dalam menuntut ilmu dimulai dari surau-surau yang berada di kampung halamannya. Tidak jauh dari tempat kelahirannya terdapat surau yang cukup berpengaruh, yaitu Surau Tobiang Pulai.
Di sini ia belajar agama dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu alat, fiqih, tauhid, dan tasawuf. Ia belajar terutama kepada Syaikh Abu Bakar yang menjadi pemimpin halaqah Surau Tobiang Pulai.
Karena ketekunan dan keseriusannya dalam menuntut ilmu, ia diberi ijazah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah oleh Syaikh Abu Bakar. Dari Tobiang Pulai, Syaikh Mungka kemudian melanjutkan pelajarannya kepada Syaikh Muhammad Soleh Padangkandih di Surau Munggu.
Surau Munggu merupakan salah satu pusat pendidikan Islam abad 19 yang terpenting, terutama dalam pelajaran agama yang menitikberatkan pada pendalaman kitab turast (kitab klasik).
Setelah cukup lama di Surau Munggu, dengan seizin gurunya, Syaikh Mungka melanjutkan pengembaraan intelektual ke Tungkar (Situjuh), yaitu mendalami agama kepada Syaikh Muhammad Jamil Tungkar.
Setelah belajar kepada ulama-ulama terkemuka abad 19, Syaikh Mungka kemudian berkeinginan untuk melanjutkan pendalaman ilmu agama di Mekkah. Maka berangkatlah ia ke Mekkah sekitar tahun 1894.
Di Mekkah ia belajar kepada ulama-ulama terkemuka seperti Syaikh Zawawi (Mufti Syafi’iyyah di Mekkah), Syaikh Hasbullah, Syaikh Ahmad Fathani, dan lain-lainnya. Pada 1900 ia pulang ke Mungka setelah 6 tahun menuntut ilmu agama.
Pada tahun 1912, Syaikh Mungka juga kembali berangkat ke Mekkah, untuk kembali belajar agama. Ini menunjukkan semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Tahun 1915 ia pulang setelah 3 tahun bermukim di Mekkah.
Surau Baru sebagai patron keilmuan Islam
Sepulangnya dari Mekkah pertama kali, yaitu tahun 1900, ia dibantu oleh masyarakat Mungka membangun surau yang ia namai dengan Surau Baru. Di surau inilah ia mengabdikan diri mengajar agama hingga akhir hayatnya.
Pelajar-pelajar yang disebut dengan istilah ‘anak siak’ yang mengaji di Surau Baru berdatangan bukan hanya dari Sumatera Barat, namun juga dari berbagai daerah, seperti Riau, Jambi, dan Bengkulu, bahkan terdapat juga pelajar-pelajar dari negeri jiran, Malaysia.
Dalam satu masa pelajar-pelajar agama yang mendiami komplek Surau Baru mencapai ratusan banyaknya. Murid-murid ini dibagi kepada dua bagian, yaitu pelajar pemula, yang baru mulai belajar tata bahasa Arab, fiqih, tauhid, dan lain-lainnya dengan kitab-kitab sederhana.
Bagian kedua ialah pelajar lanjutan yang terdiri dari pelajar yang sudah ‘alim bahkan diantaranya sudah menjadi ulama di daerah masing-masing. Untuk pelajar pemula, pengajarnya ialah guru-guru tuo (guru-guru bantu).
Sedangkan pelajar lanjutan langsung diajar oleh Syaikh Mungka dengan kitab-kitab tinggi yang berjilid-jilid banyaknya, seperti Tuhfatul Muhtaj, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, dan Ithaf Saadatil Muttaqin Syarah Ihya’ Ulumiddin.
Di antara murid-murid Syaikh Mungka yang terkenal sebagai ulama ialah Syaikh Yahya al-Khalidi Magek, Syaikh Abdul Wahid Tobek Godang, Syaikh Arifin Batuhampar, Syaikh Sulaiman Arrasuli Canduang, Syaikh Abbas Qadhi Ladanglaweh, Syaikh Machudum Solok, Syaikh Rasyid Thahir Parambahan, Syaikh Mustafa Padang japang, Syaikh Hasan Bashri Maninjau, Syaikh Jamil Jaho, dan lain-lain.
Dari sinilah gelar syaikhul masyaikh (maha guru) tersebut muncul, karena ia mengajar dan mendidik ulama-ulama yang berpengaruh di awal abad 20.
Suatu yang menarik dalam mengajar dan beramah-tamah dengan murid dan tamu ialah Syaikh Mungka yang lebih senang berbicara dengan Bahasa Arab ‘Ammiyyah Mekkah. Ini disebabkan karena Syaikh Mungka begitu mumpuni dalam Bahasa Arab.
Bukan hanya berbicara lisan, Syaikh Mungka juga mahir mengarang dalam Bahasa Arab, bahkan menulis-menulis puisi Arab yang terbilang sulit.
Bertukar fikiran dengan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ialah ulama asal Ampek Angkek Bukittinggi yang mengajar di Mesjidil Haram, Mekkah. Ia hidup semasa dengan Syaikh Mungka. Satu ketika ia pernah terlibat perdebatan dengan Syaikh Mungka dalam masalah amalan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Syaikh Ahmad Khatib mengkritik amalan thariqat, sedangkan Syaikh Mungka yang merupakan mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah mempertahankan amalan thariqat. Mereka berdua berdebat dengan menulis kitab masing-masing.
Sebelum tahun 1915, kedua ulama ini pernah bertemu di Mekkah dalam sebuah acara jamuan makan. Setelah diperkenalkan oleh salah seorang yang hadir bahwa di antara tamu yang hadir ialah Syaikh Mungka, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau merasa takjub.
Kemudian mereka duduk berdekatan dan saling bercerita dengan akrabnya, seolah-olah tidak terjadi perdebatan antara keduanya. Begitulah akhlak ulama-ulama silam dalam berbeda pendapat.(*)
Discussion about this post