“Peristiwa G30S/PKI adalah bukti bahwa bangsa ini pernah diuji dengan perpecahan dan pengkhianatan terhadap Pancasila. Jangan sampai itu terulang lagi. Tugas generasi sekarang adalah belajar dari sejarah, menjaga nilai persatuan, dan memperkuat jati diri bangsa,” ujar Latif kepada Scientia.
Ia menekankan, generasi muda hari ini tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dengan masa lalu. Perkembangan teknologi, terutama media sosial, membawa kemudahan dalam berkomunikasi, tetapi sekaligus memunculkan tantangan baru. “Jika dulu ancaman datang dari ideologi yang mencoba mengganti Pancasila, maka sekarang tantangannya bisa datang lewat derasnya informasi yang menyesatkan, hoaks, ujaran kebencian, dan budaya instan yang dapat melemahkan karakter generasi muda,” jelasnya.
Menurut Latif, peringatan G30S/PKI tidak cukup hanya dilakukan dengan seremoni tahunan atau pemutaran film. Generasi muda membutuhkan pendekatan yang relevan dengan kondisi zaman. “Kita bisa mengadakan diskusi terbuka, seminar, atau konten digital edukatif yang menjelaskan sejarah secara objektif. Dengan begitu, anak muda tidak sekadar tahu peristiwa, tetapi juga memahami makna dan pesan moralnya,” kata Yusri.
Ia menambahkan, pendekatan yang mendidik akan membuat generasi muda lebih kritis dan tidak mudah terjebak dalam narasi provokatif. “Penting bagi kita memberi pemahaman yang jernih, sehingga sejarah bukan jadi momok, melainkan jadi cermin dan bekal untuk melangkah ke depan,” lanjutnya.
Pada momen ini, Latif juga mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh membuat bangsa ini kehilangan nilai-nilai dasarnya. Menurutnya, generasi muda harus tetap menempatkan Pancasila dan NKRI sebagai fondasi dalam menggunakan teknologi. Media sosial boleh saja bebas, tetapi kebebasan itu tidak boleh merusak persatuan bangsa.
Ia juga menegaskan bahwa kejujuran adalah hal yang sangat mahal di tengah banjir informasi. Hoaks, kata Yusri, bisa menyulut perpecahan, sehingga setiap orang harus terbiasa memverifikasi informasi agar lahir generasi yang kritis sekaligus jujur.
Selain itu, Latif menilai semangat gotong royong juga perlu terus dijaga. Teknologi memang bisa membuat orang sibuk dengan dirinya sendiri, namun justru seharusnya dimanfaatkan untuk membangun kerja sama produktif, bukan menjauhkan diri dari masyarakat.
Tak kalah penting, ia menekankan bahwa nilai religius dan moral juga harus tetap menjadi panduan dalam menggunakan teknologi. “Jangan sampai generasi muda kehilangan arah moral karena terlalu bebas di dunia digital. Nilai agama dan budaya harus tetap menjadi kompas dalam bersikap,” ucapnya.
Sebagai kader PKB yang berangkat dari rahim Nahdlatul Ulama, Latif menegaskan partainya memiliki komitmen untuk menjaga warisan para ulama: menegakkan Pancasila, memperkuat nasionalisme, dan merawat tradisi keagamaan yang moderat. Ia berharap generasi muda Kota Padang mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga bangsa dari ancaman ideologi yang berbahaya, baik yang datang secara nyata maupun melalui ruang digital.
“Harapan saya, anak-anak muda Padang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga kuat secara moral dan kokoh memegang nilai kebangsaan. Dengan begitu, mereka akan menjadi generasi tangguh yang siap menghadapi tantangan global,” ujarnya.
Latif menutup pesannya dengan mengingatkan bahwa sejarah adalah guru yang paling berharga. “Kalau bangsa ini melupakan sejarahnya, maka ia akan kehilangan arah. Mari kita jadikan peringatan G30S/PKI sebagai pengingat untuk tetap waspada, menjaga persatuan, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan, baik dalam kehidupan nyata maupun di dunia digital,” pungkasnya.(yrp)