Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Era globalisasi memiliki dampak berupa masuknya pengaruh budaya asing melalui teknologi, pendidikan, dan hiburan. Hal ini disebabkan oleh pertukaran berbagai informasi dan budaya yang berlangsung dengan sangat cepat. Era globalisasi tidak hanya menuntut seseorang memiliki keterampilan berbahasa asing, tetapi juga memiliki kemampuan pemahaman antarbudaya (cross-cultural understanding).
Kesadaran akan keberadaan budaya lain selain budaya sendiri haruslah ditanamkan dalam diri sejak dini. Pada era globalisasi, pemahaman antarbudaya dianggap penting untuk membangun toleransi, empati, keterbukaan, dan terhadap keberagaman. Tingkah laku dan sikap seseorang dapat dibentuk dan diajarkan lewat pendidikan, budaya, dan penanaman karakter saling menghargai ataupun secara umum lewat pemahaman antarbudaya. Semua itu dapat ditanamkan, salah satunya, melalui bacaan sastra (Nurgiyantoro, 2013).
Pada sastra anak ditemukan berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu kelompok masyarakat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam berbagai sastra anak asing dan terjemahan, misalnya, terdapat aspek kebudayaan masyarakat pendukungnya. Oleh sebab itu, membaca sastra anak asing dan terjemahan kita dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Pada tahap selanjutnya, bacaan tersebut juga akan menanamkan kesadaran dalam diri anak bahwa ada budaya lain selain budaya sendiri dan kesadaran untuk menghargainya (Nurgiyantoro, 2013).
Sastra anak Jerman merupakan salah satu jenis sastra asing yang hadir di Indonesia melalui terjemahan, adaptasi, dan pengajaran di berbagai institusi pendidikan di Indonesia. Sastra anak Jerman di Indonesia hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari dongeng-dongeng klasik yang ditulis oleh Grimm bersaudara, film dan animasi, buku bergambar, novel, komik, sampai dengan dalam versi digital, seperti buku elektronik dan buku audio. Sejauh ini, pemanfaatan sastra anak Jerman di Indonesia sebatas sebagai media pembelajaran bahasa Jerman pada berbagai institusi pendidikan, seperti SMA dan universitas. Padahal, jika digunakan secara optimal, banyak potensi lain yang dapat digali dari sastra anak Jerman bagi siswa di Indonesia.
Beberapa kendala terkait kurang optimalnya pemanfaatan sastra anak di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, kurangnya tenaga pendidik yang menguasai bahasa Jerman atau tenaga pendidik yang bukan merupakan lulusan Program Studi Bahasa atau Sastra Jerman. Di salah satu institusi pendidikan di Kota Padang, sebagian besar tenaga pendidik mata pelajaran bahasa Jerman merupakan lulusan program studi yang tidak linier dengan pekerjaannya. Guru-guru tersebut mengaku mempelajari bahasa Jerman secara otodidak. Kedua, di beberapa sekolah di Kota Padang, bahasa Jerman kerap dijadikan sebagai pelajaran muatan lokal atau dianggap sebagai bahasa asing pendamping, di samping mata pelajaran bahasa Inggris yang merupakan bahasa asing utama. Ketiga, sulitnya mendapatkan buku cetak berupa materi atau buku cerita berbahasa Jerman. Buku-buku cetak tersebut biasanya tersedia di Pusat Kebudayaan Goethe Institut yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Keempat, untuk dapat membaca dan memahami karya sastra asing membutuhkan pengetahuan bahasa asing yang dituju. Materi pembelajaran bahasa Jerman lebih banyak berfokus pada tata bahasa daripada kegiatan apresiasi sastra. Penguasaan bahasa asing tentunya tidak bisa dicapai hanya dalam waktu satu semester tanpa adanya latihan secara konsisten. Kelima, kurangnya pemfokusan materi pembelajaran pada aspek apresiasi sastra.
Pembacaan karya sastra asing tidak hanya membutuhkan penguasaan bahasa, tetapi juga membutuhkan pemahaman terhadap konteks budayanya. Seringkali pembelajar mengalami kesulitan dalam memahami teks sastra berbahasa asing karena kurangnya pengetahuan dasar tentang bahasa sumber, pokok bahasan teks, latar belakang penulisan teks, dan pemahaman teks budaya yang terdapat agar tidak menimbulkan kepincangan dalam pemerolehan informasi sehingga pembelajar dapat menggali pengetahuan teks sastra secara mendalam (Busri, dkk., 2016).
Beberapa judul buku cerita anak Jerman yang dimanfaatkan sebagai materi pembelajaran pemahaman antarbudaya di sekolah, misalnya (1) Apfelkuchen und Baklava (2016) karya Kathrin Rohmann, (2) Der Tag an dem die Oma das Internet kaputt gemacht hat (2018) karya Marc Uwe Kling, dan (3) Emil und die Detektive (1929) karya Erich Kästner. Ketiga buku tersebut memuat berbagai permasalahan sosial-budaya yang dihadapi masyarakat Jerman sehari-hari. Selain itu, buku-buku tersebut juga menggunakan bahasa Jerman yang cukup mudah dipahami dan membahas permasalahan kehidupan masyarakat Jerman yang berbeda-beda, sehingga siswa dapat memperkaya pengetahuan tentang konteks sosial dan budaya masyarakat Jerman.
Apfelkuchen und Baklava menceritakan persahabatan dua tokoh berbeda bangsa, salah satu tokoh utamanya merupakan pengungsi asal negara perang yang bermigrasi ke Jerman. Novel ini baik digunakan sebagai media pembelajaran keterampilan antarbudaya karena memuat nilai-nilai seperti empati, keterbukaan, identitas, dan penerimaan. Der Tag an dem die Oma das Internet kaputt gemacht hat menceritakan tentang kehidupan modern masyarakat Jerman yang memiliki ketergantungan akan internet. Di dalamnya juga memuat perbedaan sikap generasi muda dan generasi tua mengenai pemahaman akan teknologi dan menyikapi kehidupan di era digital. Novel ini menggunakan kata-kata bahasa Jerman yang sederhana dan memuat permainan kata, sehingga cukup relevan untuk dimanfaatkan sebagai media peningkatan literasi bahasa asing. Adapun Emil und die Detektive (1929) merupakan salah satu buku cerita anak Jerman yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan menjadi buku cerita penting dalam kesusastraan anak Jerman, serta telah banyak dijadikan objek penelitian karya ilmiah. Walaupun tergolong ke dalam karya sastra klasik, permasalahan sosial dan budaya novel ini masih relevan dengan kehidupan modern saat ini. Novel ini menceritakan tokoh Emil yang melakukan perjalanan seorang diri ke Kota Berlin. Oleh sebab itu, nilai pemahaman antarbudaya terlihat pada penggambaran perbedaan kehidupan kota kecil dan kota besar. Selain, itu novel ini juga menyuguhkan gambaran kota Berlin pada akhir tahun 1920-an.
Walaupun demikian, pemilihan sastra anak sebagai materi pembelajaran harus memperhatikan hal-hal seperti relevansi nilai-nilai budaya asing yang selaras dengan budaya Indonesia. Bagaimanapun, mempelajari sastra asing berarti membuka kesempatan masuknya pengaruh budaya asing ke Indonesia. Kecakapan bahasa dan budaya guru yang mengajar bahasa Jerman harus diperhatikan sehingga guru-guru dapat menyesuaikan buku-buku cerita yang dipilih dengan kompetensi bahasa yang dimiliki. Selain itu, guru dapat mengintegrasikan berbagai metode pengajaran sastra anak untuk memaksimalkan pemanfaatan dan menarik minat siswa untuk mengapresiasi karya sastra.