Oleh: Alex Darmawan
(Dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Suatu pagi penulis menerima pesan di aplikasi whatsapp dari mahasiswa. Pesan itu mengejutkan penulis. Bukan informasinya yang membuat penulis terkejut, melainkan penggunaan bahasa oleh mahasiswa yang membuat penulis tidak nyaman. Salah satu contoh pesan yang saya terima seperti ini ; “Salam, Pak. Apakah Bapak hari ini ada di kampus?” Lanjut pesan berikutnya,“ Saya mau bimbingan, jam berapa Bapak punya waktu luang?,Maaf sebelumnya. Terima kasih.” Pikir penulis, kok seperti ini bahasa mahasiswa? Seolah-olah penulis ini seperti teman sama besar saja atau kolega kerja mereka dan lain sebagainya dalam pikiran penulis. Pesan tersebut saya jawab, “Saya ada di kampus dari pagi sampai siang. Kita bisa bertemu setelah waktu zuhur saja.” Lalu jawab mahasiswa, “Saya lagi di kampung boleh atur jadwal baru, Pak?” Intinya, penulis merasa sangat tidak nyaman dan menolak untuk merespon kembali pesan tersebut.
Beberapa minggu yang lalu, sebelum libur panjang dimulai dan setelah ujian akhir semester dilaksanakan di kampus. Para dosen berkumpul di ruang kerja. Mereka bercengkrama satu sama lainnya. Salah satu topik hangat yang mereka perbincangkan adalah fenomena di atas mengenai pesan singkat dari mahasiswa yang dikirimkan ke dosen. Pesan yang dikirimkan mahasiswa ke dosen banyak yang melanggar etika komunikasi alias tidak santun, menurut para dosen. Mereka bertanya-tanya mengapa generasi muda sekarang gaya komunikasinya lebih singkat dan cenderung melabrak batas-batas tata krama dalam berkomunikasi. Salah satu dosen memberikan informasi tambahan bahwa gejala komunikasi seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan mahasiwa mereka yang ada di Kota Padang saja, tetapi mahasiswa dari kota dan provinsi lain juga demikian. Ini dibuktikan dengan banyaknya konten di tik-tok yang membahas etika mahasiswa ketika berbicara ke dosen baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebenarnya mengapa fenomena ini bisa terjadi? Semakin hari semakin berkurang kesantunan dalam berkomunikasi.
Kesantunan memiliki kaitan dengan kesopanan, rasa hormat, sikap yang baik atau perilaku yang pantas (Gunawan, 2013: 8). Istilah kesantunan tidak hanya berbentuk tindakan, tetapi juga dapat berupa tindak tutur. Lebih lanjut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi VI versi daring, santun memiliki arti 1. halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; 2. penuh rasa belas kasihan; suka menolong;. Kemudian, kata santun mendapatkan imbuhan ke-an menjadi kesantunan yang memiliki makna menyatakan hal yang disebutkan dalam kata dasar atau perihal. Lebih lanjut, Putrayasa (2014:107) merujuk pada Cambridge Advanced Learners Dictionary mendefinisikan kesantunan sebagai perilaku seseorang sedemikian rupa yang sesuai dengan aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat dengan menunjukkan kepedulian serta kepekaan terhadap perasaan orang lain.
Menyoal kesantunan, banyak teori yang berbicara tentang kesantunan. Salah satunya pendapat Robin T. Lakoff yang dianggap sebagai bapak kesantunan berbahasa modern dari sudut pandang pragmatik. Dalam pandangannya, kesantunan merupakan sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk memperlancar interaksi dengan meminimalisasi potensi konflik dan konfrontasi yang melekat pada semua bentuk komunikasi manusia. Secara umum, kesantunan adalah keinginan yang tulus untuk berbuat baik kepada orang lain. Keinginan yang tulus dapat berwujud tindakan verbal berupa penggunaan bahasa, dan tindakan nonverbal berupa perilaku sehari-hari (Thomas dalam Oktavianus dan Revita, 2013). Dalam peristiwa komunikasi, bukan hanya variabel informasi saja yang dipentingkan, tetapi kesantunan juga menjadi variabel yang harus dipikirkan dan diikutsertakan sehingga komunikasi itu dapat berjalan lancar -tidak menimbulkan kesalahfahaman dan multitafsir-dan baik dalam bingkai budaya kesantunan berbahasa.
Berbicara dalam konteks masyarakat Minangkabau, kaidah berbahasa dengan santun itu telah ada sejak dahulu. Masyarakat Minangkabau sering menggunakan metafora/kiasan dalam berbahasa. Hal ini terlihat jelas dalam bahasa Minangkabau ragam adat. Bukan hanya dalam ragam bahasa adat saja kiasan digunakan. Terkadang, dalam komunikasi sehari-hari juga digunakan untuk menyampaikan maksud dengan santun. Kiasan yang digunakan itu dekat dengan alam, mungkin karena itu pulalah ada falsafah Minangkabau yang berbunyi Alam takambang menjadi guru. Kaidah berbahasa yang dimaksud adalah Kato nan Ampek atau sebut juga dengan Langgam Kato (Istilah yang dipopulerkan oleh A.A. Navis) yang merupakan tata krama berbicara sehari-hari dalam masyarakat Minangkabau. Kaidah berbahasa tersebut menjadi dasar petunjuk dalam bertutur kata masyarakat Minangkabau. Kaidah berbahasa meliputi; Kato Malereng, Kato Mandaki, Kato Manurun, dan Kato Mandata.
Namun demikian, budaya santun berbahasa masyarakat Minangkabau terutama generasi muda Minang agaknya sudah mulai tergerus seiring perkembangan zaman. Penyebabnya antara lain; Pertama; faktor keluarga. Orang tua tidak lagi menjadi role model (contoh) teladan bagi anak-anak dalam berbahasa, bahkan orang tua terkadang berbicara kasar terhadap anak. Mereka sibuk bekerja mencari uang dan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, tidak memperdulikan perkembangan anaknya, baik secara mental maupun cara berkomunikasinya. Anak dimanja dengan uang jajan dan berbagai fasilitas dengan harapan anak tetap di rumah dan tidak kekurangan apapun. Kedua; faktor lingkungan. Lingkungan luar sangat memberikan pengaruh terhadap perkembangan seseorang, tempat bermain dan teman bermain. Semuanya menjadi faktor yang memengaruhi perubahan pribadi dan karakter seseorang. Lingkungan yang buruk bagi anak perlahan-lahan mewarnai karakter dan pribadi anak, bahkan cara berkomunikasinya pun akan terlihat kurang sopan. Ketiga; perkembangan teknologi. Tontonan media televisi sekarang sangat vulgar karena isinya caci maki saja, mulai dari para politisi sampai kepada para pelawak. Seakan-akan caci maki sesuatu yang lumrah dan umum yang bisa dilakukan di ruang publik. Bahkan, tontonan tersebut memberi pelajaran kepada penonton/khalayak bahwa kita boleh mencaci maki bahkan kepada orang tua kita sendiri. Semoga kita dapat menyikapi dengan bijak fenomena tergerusnya budaya kesantunan berbahasa yang terjadi sekarang untuk berubah ke arah yang lebih baik.