Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Sastra bandingan merupakan sebuah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri (Damono, 2005). Artinya, kajian sastra bandingan dapat memanfaatkan teori apa pun dan dapat menyesuaikan diri dengan objek dan tujuan penelitian. Kata bandingan dalam frasa “sastra bandingan” menunjukkan bahwa pendekatan ini setidak-tidaknya melibatkan dua karya, yakni satu karya sebagai pembanding bagi karya lainnya. Kajian dengan pendekatan sastra bandingan bertujuan untuk menemukan persamaan, perbedaan, dan keterhubungan aspek yang saling memengaruhi karya-karya tersebut.
Dalam kajian sastra bandingan berlaku dua mazhab. Pertama, Mazhab Prancis. Mazhab yang muncul pada abad 19 ini menganggap bahwa objek sastra bandingan hanyalah karya sastra. Kedua, Mazhab Amerika. Mazhab ini cenderung membebaskan bidang ilmu dan objek yang dibandingkan, misalnya membandingkan sastra dengan bidang ilmu lain seperti sejarah, agama, sains, politik, dan sebagainya. Selain itu, Mazhab Amerika juga mengizinkan pembandingan antara karya sastra dan bentuk lain, seperti lagu, film, lukisan, dan sebagainya.
Bagaimana cara kerja sastra bandingan? Sastra bandingan dapat bekerja dengan melihat hubungan antara dua karya yang memiliki keterkaitan Sejarah, misalnya pembandingan Hikayat Hangtuah dan Babat Tanah Jawi. Yang pertama berasal dari tradisi Melayu klasik. Karya ini mengisahkan Hang Tuah, seorang Laksamana Melaka. Ceritanya banyak terinspirasi dari mitos dan legenda setempat. Adapun Babat Tanah Jawi merupakan bentuk tradisi lisan yang berasal dari Jawa. Ceritanya menggabungkan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa dengan mitos setempat. Sastra bandingan dapat membantu kita menemukan persamaan—misalnya aspek yang membentuk cerita—dan perbedaan—misalnya dari segi gaya bahasa—atau bagaimana budaya Melayu dan Jawa digambarkan dalam cerita.
Remak (1990) menjelaskan tentang aspek-aspek yang dapat dibandingkan dalam kajian sastra bandingan, misalnya kejadian sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, stile perangkat evolusi, budaya, dan sebagainya. Aspek lain yang juga dapat dibandingkan adalah aspek penyebaran dan pengaruh. Dalam hal ini, Nada (1999) mengatakan bahwa sastra bandingan sebagai studi atau kajian sastra suatu bangsa yang memiliki kaitan kesejarahan dengan bangsa lain, bagaimana keterjalinan proses saling memengaruhi, apa yang telah diambil oleh suatu sastra, dan apa yang telah disumbangkannya.
Siapa yang tidak mengenal kisah Cinderella? “Cinderella” merupakan salah satu dongeng klasik yang dikenal luas di berbagai penjuru dunia. Penyebarannya bermula dari tradisi lisan di berbagai wilayah. Ceritanya kemudian berkembang melalui penyesuaian dengan kondisi budaya setempat. Cinderella versi Tiongkok merupakan salah satu versi cerita tertua berjudul Yeh-Sheh, menceritakan tokoh gadis yatim piatu yang mendapat bantuan magis dari tulang ikan ajaib dan untuk menghadiri perayaan dan bertemu raja.
Seiring berkembangnya tradisi tulisan, cerita Cinderella juga diadaptasi ke dalam bentuk tertulis. Seperti yang dilakukan Charles Perrault, penulis Prancis yang menulis kisah Cinderella ke dalam bentuk buku pada 1697. Tidak lupa Grimm bersaudara, dua penulis Jerman yang mengumpulkan berbagai dongeng klasik Eropa ke dalam sebuah buku dongeng berjudul Kinder- und Hausmärchen pada 1812.
Pengaruh Cinderella juga terlihat pada berbagai bentuk, seperti film dan animasi. Mulai dari bentuk animasi produksi Disney pada 1950 hingga dalam bentuk film modern, versi terbaru dirilis tahun 2021, yang dibintangi penyanyi sekaligus aktris, Camilla Cabelo. Adaptasi lainnya dapat dilihat dari dongeng Bawang Merah Bawang Putih yang berdasarkan tokoh, alur cerita, dan pesan moralnya memiliki kemiripan dengan Cinderella. Cerita Cinderella juga kerap diadaptasi ke dalam bentuk karya seni lainnya, mulai dari film hingga novel populer, seperti Harry Potter.
Persamaan Cerita Antara “Cinderella” dan “The Tale of the Three Brothers”
Cerita yang mirip Cinderella pada novel Harry Potter muncul pada buku seri terakhirnya berjudul Harry Potter and the Deathly Hallows (2008). Pada salah satu babnya dikisahkan “The Tales of the Three Brothers” (Cerita Tiga Bersaudara), salah satu dongeng yang terdapat dalam buku The Tales of Beedle the Bard, kumpulan dongeng yang dikenal luas di kalangan penyihir dalam buku Harry Potter. Berikut perbandingan tokoh dan alur cerita “Cinderella” dan “The Tales of the Three Brothers”.
Dalam “Cinderella”, terdapat tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Cinderella adalah tokoh protagonis, dan tokoh antagonisnya terdiri dari dua saudara tiri dan ibu tirinya. Cinderella memiliki watak baik hati, ia tidak pernah menaruh dendam pada kedua saudara dan ibu tirinya walaupun sudah diperlakukan secara buruk. Segala perlakuan buruk tersebut diterimanya dengan sabar dan tabah. Ia juga mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga yang berat tanpa pernah mengeluh sedikit pun.
Adapun saudara tiri Cinderella memiliki watak serakah dan materialistis. Hal tersebut terlihat ketika keduanya meminta buah tangan berupa perhiasan dan pakaian mahal pada sang ayah yang hendak melakukan perjalanan jauh. Cinderella hanya meminta sebatang ranting pohon. Hal ini menunjukkan watak Cinderella yang tidak materialistis dan sederhana. Watak lainnya dari kedua saudara tiri Cinderella adalah kejam. Keduanya menyuruh Cinderella melakukan segala pekerjaan rumah yang berat tanpa membiarkannya beristirahat. Selain itu, kedua saudara tiri Cinderella juga memiliki watak sombong dan iri hati, terutama ketika keduanya mengganggap hanya merekalah yang pantas dijadikan istri pangeran. Namun, mereka tidak dapat menerima kenyataan ketika pangeran lebih memilih Cinderella.
Kesamaan alur cerita “Cinderella” dan “The Tale of the Three Brothers” terlihat ketika ketiga tokoh utama, Peverell bersaudara melakukan perjalanan menyusuri sebuah sungai besar. Ketiganya mendapati kondisi sungai yang sangat dalam dan airnya sangat deras untuk diseberangi. Sebagai penyihir, ketiganya cukup mengeluarkan tongkat untuk membangun jembatan, sehingga mereka dapat menyeberangi sungai tersebut. Di tengah jembatan, ketiganya bertemu dengan Kematian (Death). Kematian merasa marah karena Peverell bersaudara berhasil menyeberangi sungai yang biasanya menjadi penyebab kematian orang-orang sekitar. Ia berpura-pura bermaksud memberikan imbalan pada ketiga bersaudara karena telah berhasil menyeberangi sungai tersebut.
Saudara tertua memiliki watak sombong, agresif, dan suka berperang. Ia meminta tongkat sihir terkuat di dunia, agar tidak pernah kalah dalam perang. Kematian mengabulkan permintaanya. Tongkat ini dinamai Tongkat Elder. Saudara kedua merupakan sosok yang angkuh dan larut dalam kesedihannya. Ia memohon agar diberikan kemampuan menghidupkan orang yang sudah meninggal. Kematian mengabulkan permintaannya dengan memberinya sebongkah batu yang disebut Batu Kebangkitan. Saudara ketiga adalah seorang yang rendah hati dan bijaksana. Ia ingin menghindari Kematian, sehingga ia meminta sebuah jubah gaib (invisibility cloak) yang membuatnya tidak terlihat oleh siapa pun, bahkan Kematian.
Dalam hal ini dapat dilihat kesamaan watak antara tokoh “The Tale of the Three Brothers” dan “Cinderella”. Karakter antagonis saudara pertama dan kedua Peverell yang sombong, angkuh, dan serakah juga terlihat pada tokoh kedua saudara tiri Cinderella. Adapun karakter baik saudara ketiga Peverell yang rendah hati dan bijaksana juga terlihat pada watak Cinderella.
Keangkuhan dan keserakahan saudara pertama membuat tongkatnya dicuri dan terbunuh dalam tidurnya. Saudara kedua menggunakan Batu Kebangkitan untuk membangkitkan perempuan yang ia cintai dari kematiannya. Perempuan tersebut hidup kembali. Namun, ia tidak benar-benar merasakan kebahagiaan, sehingga ia mengambil nyawanya agar dapat bersatu dengan orang yang dicintainya. Sebaliknya, saudara ketiga berhasil menghindari Kematian dengan Jubah Gaibnya, serta hidup bahagia dan berumur panjang. Ketika umurnya sudah tua dan merasa siap menghadapi kematian, ia menyerahkan jubah tersebut kepada anaknya. Saudara ketiga akhirnya bertemu dengan Kematian.
Kehadiran tokoh Kematian memiliki fungsi yang sama dengan tokoh Ibu Peri dalam Cinderella. Keduanya mengajarkan bahwa sifat-sifat kebajikan dan rendah hati, yang pada akhirnya akan membuahkan kebaikan dalam kehidupan, seperti yang dialami saudara ketiga dan Cinderella. Adapun sifat sombong, angkuh, dan tamak hanya akan membawa ketidakbahagiaan, kesengsaraan, bahkan kematian.
Perbedaan Cerita “Cinderella” dan “The Tale of the Three Brothers”
Terdapat sejumlah perbedaan antara cerita “Cinderella” dan “The Tale of the Three Brothers”. Pertama, “Cinderella” berasal dari tradisi cerita rakyat yang telah tersebar di berbagai budaya, seperti Tiongkok, Eropa, hingga lokal. Secara umum, ketiga versi cerita mengisahkan gadis tertindas, namun ia menemukan kebahagiaan dan cinta sejati berkat kesabaran dan keajaiban. Adapun “The Tale of the Three Brothers” merupakan dongeng yang terdapat dalam dunia fiksi buku Harry Potter. Ceritanya lebih bersifat filosofis dan berfokus pada kemampuan manusia menghadapi kematian dan penerimaan manusia terhadapnya.
Dongeng “Cinderella” memuat berbagai elemen magis yang merupakan bagian penting dari cerita, di antaranya ibu peri, kereta labu, gaun, dan sepatu kaca. Elemen magis mencakup unsur-unsur supernatural yang menjadi ciri khas dongeng. Keberadaannya bertujuan untuk menciptakan suasana ajaib, memberikan harapan, menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tokoh utama, dan menghadirkan konflik dalam cerita. Selain itu, elemen magis juga menggambarkan pesan moral dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Dalam “Cinderella”, sepatu kaca, gaun, dan kereta labu adalah benda magis yang menghubungkan Cinderella dengan pangeran dan menyimbolkan akhir dari segala penderitaannya. Elemen magis pada “The Tale of the Three Brothers” juga bersifat simbolis, Tongkat Elder dan Batu Kebangkitan menggambarkan keangkuhan dan keserakahan saudara pertama dan kedua, sekaligus akhir tragis yang menimpa keduanya akibat keburukan watak mereka. Adapun jubah gaib menyimbolkan kebijaksanaan saudara ketiga, sekaligus nasib baik dan penerimaannya terhadap kematian.
Perbedaan berikutnya adalah tokoh. Tokoh-tokoh Cinderella terdiri dari manusia biasa, sedangkan tokoh ibu tiri merupakan tokoh ajaib yang menjadi penolong, sekaligus memberi ganjaran atas segala kebaikan dan pengorbanan yang telah dilakukan Cinderella. Tokoh-tokoh dalam “The Tale of the Tree Brothers” merupakan sekumpulan penyihir dan memperoleh kekuatan sihirnya melalui tongkat ajaib. Adapun tokoh kematian menyimbolkan pembelajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menghadapi kematian.
Dengan demikian, terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan pada cerita “Cinderella” dan “The Tale of the Three Brothers”. Melalui persamaan dan perbedaan keduanya dapat terlihat adanya pengaruh dongeng “Cinderella” terhadap cerita “The Tale of the Three Brothers”. Dapat dikatakan bahwa cerita “The Tale of the Three Brothers” memiliki kesamaan dari tokoh protagonis dan antagonis, serta nilai-nilai moral dengan dongeng “Cinderella”, dan telah mengalami adaptasi dari dongeng klasik ke novel populer. Bentuk adaptasi ini memungkinkan cerita-cerita dongeng klasik yang telah hidup selama ratusan tahun tetap hidup dan relevan di masa sekarang, namun tentunya telah mengalami berbagai penyesuaian, mulai dari segi cerita, elemen fantasi, bentuk media, hingga nilai-nilai moral dan budaya.