Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Rencana lari pagi itu memang terdengar sederhana, tapi kenyataannya seperti misi sulit yang penuh tantangan. Biasanya niat mulia ini dirancang matang, mulai dari janji manis di grup WhatsApp, hingga rapat kecil-kecilan sambil ngopi-ngopi santai. Bahkan, terkadang agenda ini terasa begitu serius sampai ada yang menawarkan konsep rute dan kostum seragam. Tentu saja, dengan waktu yang kami jadwalkan di akhir pekan.
Namun, hasil akhirnya? Seperti sinetron dengan plot yang sudah bisa ditebak. Rencana tinggal rencana, semangat kami menguap entah ke mana. Begitu alarm berbunyi, yang terbangun lebih dulu justru rasa malas, sementara semangat lari pagi entah bersembunyi di sudut mana. Kasur dengan segala kehangatannya selalu jadi juara, membuat kaki tak pernah menyentuh sepatu olahraga.
Padahal, grup WhatsApp penuh dengan stiker motivasi, meme lucu, dan janji manis, “Besok kita gas, ya!”. Tapi yang bergerak hanya jemari yang sibuk membalas pesan, sedangkan kaki malah tak kunjung berlari. Akhirnya, alur ceritanya selalu sama, pagi berlalu, grup sunyi, dan para “pelari” hanya bisa menatap sepatu yang tetap bersih. Begitu indahnya rencana lari pagi yang berakhir di angan.
Berbagai informasi dari media daring menyatakan bahwa lari adalah olahraga yang paling mudah dan murah. Tapi, bagi saya mudah itu relatif, terutama kalau rasa malas sudah menempel seperti perekat. Setiap akhir pekan, saya sering berniat melakukan lari pagi, asalkan berhasil menaklukkan godaan kasur yang memanggil-manggil.
Terkadang, alam semesta sepertinya sangat memahami keinginan terdalam kami. Saat semua sudah siap, sepatu sudah diikat, dan grup WhatsApp penuh pesan optimis, tiba-tiba langit mendung dan hujan turun. Bukannya kecewa, dari lubuk hati paling dalam kami justru merasa lega luar biasa. Ada yang pura-pura kecewa, “Aduh, sayang banget ya, padahal semangat banget nih!”, padahal dalam hati sudah bersorak, “Yes, balik ke kasur!”.
Hujan menjadi alasan sempurna untuk menunda lari pagi tanpa merasa bersalah. Tentu saja dengan alasan tidak mau basah kuyup di tengah jalan, pun juga tidak sehat. Bahkan ada yang tiba-tiba jadi puitis, mengunggah status, “Hujan adalah cara langit memberi kita waktu untuk istirahat.” Intinya, rencana tetap mulia, hanya saja semesta punya cara lucu untuk memastikan kami tetap bersatu dalam grup, bukan di jalan.
Pada akhirnya, rencana lari pagi kami memang tak pernah terlaksana, tapi siapa yang peduli? Terkadang yang kami butuhkan itu sebenarnya bukan lari pagi, tapi sedikit istirahat dan tawa. Setelah semua alasan yang tercipta, sepatu kami tetap bersih dan grup WhatsApp tetap penuh dengan semangat semu. Tidak masalah, esok masih ada kesempatan untuk mencoba. Mungkin besok, atau mungkin minggu depan, atau mungkin nanti, saat kasur tak lagi begitu menggoda.