Oleh: Elly Delfia
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia dan Program Studi S2 Linguistik Universitas Andalas)
Bahasa merupakan bagian yang merefleksikan konteks atau realitas sosial yang mengandung ideologi. Saat digunakan, sebuah bahasa tidak hadir sebagai sesuatu yang kosong belaka. Ia membawa pesan yang terdapat dalam kode-kode linguistik. Fowler (1986) menyatakan bahwa bahasa terdiri atas kode-kode linguistik yang tidak hanya merefleksikan realitas sosial budaya secara netral, tetapi juga menginterpretasikan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan setiap subjek dalam wacana. Lebih lanjut, Fowler menyebutnya dengan relasi bahasa dan ideologi. Ideologi disebut sebagai kode linguistik yang menjelaskan teori bagaimana dunia diatur atau dibentuk atau cara pandang terhadap dunia. Ideologi juga didefinisikan sebagai manifestasi wawasan dunia secara menyeluruh yang membentuk kristal dalam konvensi kebahasaan dan diterima oleh masyarakat (Hodge dan Kress, 1993).
Ideologi merupakan sistem nilai yang dikelola dan dikembangkan oleh seseorang atau kelompok yang di dalamnya memuat seperangkat gagasan, makna, keinginan, dan perjuangan psikologis sesuai dengan ilmu, pengalaman, dan perkembangan zaman (Mulyana, 2020). Ideologi juga disebut sebagai konsep, kategori, citra pemikiran, dan sistem representasi yang disebarkan oleh kelas dan kelompok sosial yang berbeda untuk memahami, mencari tahu, dan membuat cara kerja suatu masyarakat dapat dipahami (Hall, 1996; Van dijk, 2000). Badara (2012) mendefinisikan ideologi ke dalam dua sisi yang bertolak belakang, yaitu positif dan negatif. Dari sisi positif, ideologi dipersepsikan sebagai pandangan dunia (worldview) yang merepsentasikan nilai-nilai dari kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingannya, sedangkan dari sisi negatif ideologi dipandang sebagai kesadaran palsu untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan fakta atau pemahaman orang-orang mengenai realitas sosial.
Dalam artikel ini, kita akan membicarakan ideologi dari sisi positif sebagai representasi dari sistem nilai yang dibentuk dan digunakan oleh penutur suatu bahasa. Setiap wacana terikat dengan sistem nilai yang dikembangkan oleh pembuat atau penciptanya. Dengan demikian, relasi bahasa dan ideologi merupakan representasi dari realitas sosial kehidupan penutur yang digunakan untuk memengaruhi dalam mencapai tujuan tertentu. Realitas sosial mengacu pada lingkungan tempat masyarakat penutur bahasa hidup, tumbuh, dan berkembang.
Dari perspektif ideologi, setiap bahasa atau kosakata yang digunakan oleh masyarakat atau individu bukanlah sesuatu yang kosong belaka, melainkan sekumpulan ide yang mengandung gagasan dan sistem nilai untuk mencapai tujuan tertentu.
Ideologi tercermin dalam variasi penggunaan bahasa, mulai dari penggunaan bahasa formal, bahasa informal (seperti slank dan jargon), bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun penggunaan bahasa asing. Penggunaan bahasa daerah yang mengandung ideologi, di antaranya terdapat pada falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat berpedoman pada agama dan agama berpedoman pada kitab Al Quran). Falsafah tersebut merepresentasikan gagasan, sistem nilai, dan cara pandang masyarakat Minangkabau terhadap dunia yang berpedoman pada agama Islam. Dengan bahasa lain, falsafah tersebut adalah pedoman dan penuntun perilaku serta mengatur seluruh napas kehidupan orang Minangkabau.
Falsafah di atas juga mencerminkan identitas kedaerahan dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat Minangkabau, seperti kepercayaan kepada Tuhan, ketaatan dalam beribadah, hidup dalam adat-istiadat, tata krama, gotong-royong, saling membantu, dan menghormati perbedaan. Nilai-nilai yang berlandaskan ke-Islaman tersebut mengakar kuat dan menjadi karakteristik diri individu dalam masyarakat Minangkabau. Islam menjadi sistem nilai/ideologi yang dipahami bersama oleh masyarakat Minangkabau, baik oleh masyarakat Minangkabau yang ada di Sumatera Barat dan masyarakat Minangkabau yang menjadi diaspora (perantau) yang tersebar di berbagai pelosok dunia.
Kemudian, bahasa daerah lain yang digunakan sebagai representasi ideologi dapat dilihat dari semboyan pendidikan yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Semboyan yang berasal dari bahasa daerah Jawa tersebut berbunyi: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Semboyan itu mempunyai arti bahwa: ‘di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan’. Semboyan tersebut mengandung penjelasan tentang cara pandang orang Indonesia terhadap dunia pendidikan. Seorang pendidik dianjurkan untuk lebih banyak memberikan contoh, memberikan semangat, dan dorongan bagi murid-muridnya untuk maju dan meraih kesukses dalam pendidikan.
Selain bahasa daerah, bahasa Sansekerta juga mengandung ideologi seperti yang terdapat dalam semboyan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Semboyan tersebut berbunyi: Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu.” Ideologi ini berhasil menyatukan perbedaan dan keberagaman (diversity) pada suku-suku yang ada di Indonesia. Pancasila kemudian menjadi ideologi negara Indonesia yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian dalam masyarakat Indonesia.
Dalam konsep yang lebih sederhana, ideologi tidak hanya ada dalam falsafah dan semboyan bahasa daerah dan bahasa Sansekerta, tetapi juga dalam istilah-istilah sederhana bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Ungkapan sederhana yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga mengandung ideologi, seperti dalam diksi yang populer di media sosial. Kata “menyala” misalnya, sering digunakan dalam kolom komentar di media sosial merepresentasikan sistem nilai atau cara pandang warganet terhadap sesuatu yang dianggap luar biasa. Kata tersebut digunakan untuk mengekspresikan pujian dan kekaguman terhadap sebuah kondisi yang luar biasa. Jadi, relasi bahasa dan ideologi dalam wacana mengacu pada cara pandang terhadap dunia atau sistem nilai yang terdapat dalam setiap rangkaian kata, frasa, klausa, dan kalimat sebagai pembangun wacana. Semoga ulasan singkat ini bermanfaat dalam melengkapi pembicaraan seputar bahasa dan ideologi dalam wacana.