Dadah Ayam
Cerpen: Dara Layl
Langit kota Padang rekah. Pantulan jingga di sore hari menyembul di balik bangunan-bangunan tinggi yang sudah mulai berbentuk siluet. Udara mulai terasa lebih sejuk. Adzan magrib berkumandang dari masjid-masjid di dalam kota. Wangi serai yang ditanam di halaman menguar masuk ke dalam kamar kos yang penuh dengan berkas-berkas revisi.
Dua orang gadis berjalan beriringan sambil membawa jenis tanaman obat yang akan diteliti besok sebagai bahan untuk pratikum di kampus.
“Untung ada tanaman Daun sirih di belakang gedung kampus ya kak, aku tadi udah cemas banget takut nggak ada lagi.”
“Iya. Tapi besok-besok kamu harus mempersiapkan lebih awal ya, Fi.”
“Hehehe… iya makasih ya kak, udah nemenin aku masuk ke rawa-rawa juga tadi.”
“Iya, sama-sama. Kakak senang tadi, pemandangan di rawa-rawa tadi bagus banget.”
“Iya bagus kak, mungkin karena di sampinya ada bukit-bukit, jadi pemandangannya jadi cantik, sayangnya kita belum sempat foto karena keburu sore. Kapan-kapan kita foto di sana ya kak.”
“Siap…, ayo cepat Fi, nanti kita telat salat maghrib.”
Hasanah dan Rofi tinggal satu kos dan berbeda angkatan, mereka sama-sama berasal dari daerah yang sama di salah satu daerah di Sumatera barat.
“Kak, Hasanah ayok kita makan malam kak, kemaren Rofi dikirimkan makanan dari kampung, ada randang pucuk ubi khas Pariaman kak.”
“Wah…. Iya, makasih ya Fi, kakak pikir rendang hanya bisa dibuat dari daging sapi dan daging ayam ternyata juga bisa dibuat dari daun singkong, ya?”
“Iya kak, daun singkong bisa dibuat jadi rendang supaya lebih tahan lama.”
“Rasanya juga lebih enak ya Fi,”
“Iya kak, silahkan dimakan kak.”
“Fi, kakak merasa kedua kaki kakak sakit sekali, apakah ini karena kakak tadi mandi sore ya, kebetulan kakak ada gejala rematik.”
“Kayaknya iya deh kak, abis pulang tadi kita langsung mandi.”
Setelah makan Hasanah dan Rofi kembali melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Rofi sibuk dengan persiapan pratikum, sedangkan Hasanah sibuk dengan revisi proposal skripsi karena sudah berada di semester akhir. Tanpa terasa malam semakin larut dan mereka melanjutkan dengan istirahat.
“Kak, Kak Hasanah bangun kak!” Rofi mengguncang tubuh Hasanah.
“Kak Hasanah kakak kenapa?” Rofi terlihat cemas sambil terus mengguncang tubuh Hasanah. Hasanah terbangun dengan keringat yang deras menetes di pelipisnya, napasnya tersengal. Kedua bola matanya merah, seluruh badannya terasa begitu sakit, kepalanya terasa akan pecah. Rofi menyentuh kening Hasanah yang ternyata begitu panas.
“Sepertinya kakak demam kak, tadi waktu tidur kakak ngigau seperti orang yang sedang menangis. Rofi takut kak.”
“Abis salat subuh tolong antar kakak ke Pukesmas ya Fi, nanti kita naik gokar saja.”
Sehabis subuh Rofi langsung membawa Hasanah ke Puskesmas, ternyata tensi Hasanah sangat rendah dan terindikasi mengalami kelelahan. Rofi paham akan konsisi Hasanah mungkin ini terjadi karena Hasanah sedang dalam masa skripsi dan Rofi menyadari kalua masa-masa itu merupakan masa yang cukup berat. Setelah minum obat Hasanah tidur dalam tidurnya Hasanah merasa seperti dikejar-kejar oleh sesuatu. Sudah tiga hari minum obat belum terasa keadaannya membaik.
Setelah tiga hari masih belum ada ansuran yang dirasakan oleh Hasanah, sehingga pada malam hari Hasanah dilarikan ke rumah sakit dibantu oleh Ibu Kos yang untungnya ada saat itu. Hasanah masuk ke ruangan IGD. Beberapa waktu ia melalui proses pengobatan. Setelah selesai, mereka pulang ke tempat kos. Sepulang dari rumah sakit akhirnya Hasanah dijemput oleh kedua orang tua untuk berobat di kampung.
***
Pada saat dibawa ke rumah sakit untungnya Hasanah tidak dirawat, Hanasah hanya disuntik sebanyak dua kali dan diminta untuk minum obat. Namun apabila masih tidak ada perubahan, maka mau tidak mau Hasanah harus dirawat. Setelah sampai di kampung halamannya Hasanah istirahat total, obat yang diberikan rumah sakit mulai memberikan efek. Jika sebelumnya Hasanah tidak bisa makan, sekarang Hasanah sudah bisa makan walaupun sedikit.
“Gimana perasaan Hasanah sekarang Nak?”
“Sudah lebih baik Mamak.”
“Baguslah kalau seperti itu, kepalanya masih pusing?”
“Iya.”
“Kemaren Rofi menelfon Mamak, kata Rofi dokter bilang kalau Hasanah sakit asam lambung dan tipes. Jangan terlalu kecapek an ya Nak.”
“Iya Mamak.”
“Hasanah Dadah Ayam ya, Nak. Ayamnya sudah dibeli oleh Babak. Untung Etek Olin di sebelah rumah kita ada ayam betina yang sudah agak besar, ayam kita masih kecil-kecil.”
“Apakah harus pakai ayam betina, Mak?”
“Iya, Hasanah. Karena kamu perempuan jadi ayamnya harus yang betina juga.”
“Baik Mamak.” Ada banyak hal sebenarnya yang ingin ditanyakam oleh Hasanah kepada Mamak terkait Dadah Ayam ini yang sempat menjadi perdebatan besar antara seorang mahasiwa dan rektor ketika Hasanah pertemuan proposal, namun karena kepala Hasanah yang sakit, Hasanah memilih untuk segera tidur.
Hasanah sudah mulai bisa berjalan dan mencoba pelan-pelan menuju dapur, ternyata Mamak sudah berada di sana untuk membersihkan ayam yang didadah tadi. Hasanah memperhatikan ayam itu baik-baik.
“Kenapa ayamnya kecil yang kurus sekali, Mak. Bukankah kata Mamak ayam yang didadah itu sudah besar.”
“Mamak juga kaget, tadi ayamnya besar tapi setelah didoakan oleh Angku dan didadah ayamnya berubah jadi kurus dan kecil begini, persis seperti badan kamu.”
Hasanah masih mencoba mencerna penjelasan Mamak.
“Kata Angku kamu punya beban yang besar, Mamak rasa ini karena kamu sedang dalam proses mengerjakan skripsi.”
Hasanah hanya mengangguk sambil terus melihat ke arah ayamnya yang sudah mulai dipotong-potong oleh mamak.
“Hasanah lebih suka Mamak buatkan sup atau digulai saja.”
“Sup saja, Mak.”
“Baik, istirahatlah terlebih dahulu, nanti kalau sudah matang Mamak bangunkan. Nanti kamu harus makan hati dan jantungnya ya, supaya cepat sehat.”
Hasanah mengangguk dan kembali tidur karea kepala yang terasa pusing.
***
Di kampung Hasanah bukanlah sebuah kampung yang terpelosok. Masyarakat sudah sangat modern baik dari segi pembangunan maupun segi ekonomi, namun masih tetap melestarikan kebiasaan yang secara turun-temurun yaitu berobat secara tradisional. Ada banyak jenis pengobatan yang dikenal oleh Hasanah semenjak kecil, dimulai dari Manawa Aie yaitu kegiatan mengucapkan Dzikir dan puji-pujian kepada Tuhan kemudian air itu diminum sebanyak tiga teguk, setelah itu mengucapkan ke ubun ubun, wajah, tangan, perut dan kaki dari lutut sampai ke mata kaki masing-masing tiga kali. Setelah itu air yang tersisa dibuang ke halaman rumah dengan tujuan agar penyakit hilang dari tubuh dan pergi ke luar rumah.
Selain Manawa Aie, semenjak kecil Hasanah juga sering Manawa Ureh, yaitu juga membacakan Dzikir namun menggunakan medium daun, daun yang digunakan adalah daun labu siam atau daun kelor sebanyak tujuh lembar yang diletakkan di dalam baskom kecil kemudian diberi air dan sedikit beras, biasanya Manawa Ureh dilakukan untuk menurunkan demam tinggi, air yang bercampur dengan daun tadi diusapkan ke ubun-ubun, wajah, tangan dan kaki masing-masing tiga kali. Hal ini dipercaya akan menurunkan panas tinggi, panas yang ada di tubuh akan pindah ke daun, setelah tiga hari daun akan busuk dan Ureh yang ditawa bisa dibuang ke sungai, sebagai simbol menghanyutkan penyakit.
Selain itu ada juga namnaya, Manawa Talue atau telur. Seperti Manawa Aie dan Manawa Ureh, Manawa Telur menggunakan media gelur ayam kampung yang dibacakan dzikir, setelah itu telur akan dipecah dan dilihat penyakitnya dari telur, biasanya akan ditemukan macam-macam nama penyakit dengan istilah orang kampung tasapo atau kataguran. Tasapo adalah kiasan kalau seseorang dipanggil oleh makhluk halus atau disapa, sedangkan kataguran itu berarti jiwa seseorang yang terguncang karena pengaruh makhluk halus. Hal ini dipercaya terjadi karena terkena hujan paneh atau turun hujan dan panas secara bersamaan yang ditandai juga dengan turunnya makhluk halus seperti jin.
Banyak orang kampung yang juga tidak mempercayai pengobatan jenis ini, namun banyak juga masyarakat yang masih menggunakannya sampai saat ini karena setelah dilakukan penyakit yang dikeluhkan ternyata sembuh. Sedari kecil Hasanh sering bertanya kepada Mamak terkait pengobatan tradisional yang dilakukan dan semua jawaban Mamak entah kenapa selalu memuaskan Hasanah, walaupun seringkali pengobatan tradisional tidak jarang dikatakan syirik.
Di suatu malam sepulang dari surau Hasanah bergegas menemui Mamak karena Pak Etek yang biasa mebuatkan obat terutama Dadah Ayam dikatakan syirik oleh salah-satu bapak bapak yang sedang mencalonkan diri jadi anggota DPRD.
“Mak, Mak, Mak.”
“Kenapa buru-buru seperti itu, bukaklah dulu mukenahnya nanti kotor.”
“Mak, banyak yang bilang Pak Etek yang dulu mandadah ayam untuk Babak dibilang syirik.”
“Uhs! Siapa yang bilang seperti itu?”
“Teman-teman di surau mereka dengar dari orang tuanya katanya kata Bapak itu lho Mak yang ada di baliho-baliho.”
“Hasanah jangan ikut-ikutan ya, syirik itu artinya menyekutukan Tuhan atau berzekutu dengan syaitan, tidak boleh mengatakan orang seperti itu.”
“Tapi katanya,”
“Tidak ada tapi-tapi, yang dibacakan oleh Pak Etek itu hanya Dzikir bukan yang lain-lain.”
Rasa penasaran Hasanah pada saat itu belum terpuaskan, tapi dia hanya percaya.
***
Dadah Ayam sudah matang. Mamak membawakan semangkok untuk Hasanah beserta segelas air hangat.
“Hasanah, bangun Nak, makan dulu.”
“Hasanah duduk pelan-pelan dan membaca doa setelah itu mulai memakan Dadah Ayam yang paling penting yaitu hati dan jantung ayam.”
“Banyak-banyak minum kuah supnya, penyakit kamu sudah pindah ke sana, insyaallah sebentar lagi sehat.” Hasanah melihat kesenduan dari mata Mamak, dirinya dari kecil memang sering sakit namun tidak pernah separah ini.
Mamak bercerita ketika pertama kali menjemput Hasanah ke kos, Rofi temannya sedang menagis karena melihat keadaan Hasanah, badannya langsung kurus, bola mata terbenam dan bibir yang pecah-pecah dan pucat pasi, Hasanah tidak mau makan barang sesuap, walaupun bisa makan nanti akan langsung dimuntahkan kembali. Mamak yang melihat keadaan Hasanah sangat kaget dan sedih, sehingga akhirnya memutuskan untuk membawa Hasanah berobat tradisional di rumah.
Tiga hari setelah memakan Dadah Ayam keadaan Hasanah sudah mulai membaik dan hari ini dirinya akan mandi air hangat yang telah disediakan oleh Mamak. Setelah mandi keadaan Hasanah terasa semakin membaik. Setelah mandi rona di wajah Hasanah sudah terlihat kembali, matanya kembali bercahaya. Mamak merasa lega karena tanpa diketahui oleh seorangpun Mamak sering menagis melihat kondisi Hasanah, namun Mamak tidak pernah memperlihatkan kepada siapapun. Setelah mandi mamak menyisirkan rambut Hasanah dan bertanya beberapa hal.
“Selama di Padang Hasanah sering main-main jauh-jauh, ya?”
“Tidak, Mak. Hasanah lebih banyak di kos dan kampus karena sibuk revisi, terakhir Hasanah main itu waktu mendaki ke Gunung Talang sebelum pergi ke Padang.”
“Coba ingat-ingat lagi.”
“Betul, Mak. Tidak ada. Kenapa Mak?”
“Mamak lupa bilang, Angku yang mendadah ayam waktu itu kalau Hasanah kanai di rawa-rawa. Jiwa Hasanah terguncang hebat saat masuk ke rawa-rawa karena tidak sengaja menyentuh anak jin.”
“Rawa-rawa?” Hasanah seolah bertanya kepada dirinya sendiri sampai akhirnya bulu kuduknya berdiri karena teringat kalau sebelum dia sakit dia memang sempat mencari tanaman herbal ke rawa-rawa dekat gedung kampus, itupun di waktu hampir maghrib, pantas saja.
“Iya, Hasanah ingat kalau sebelum demam Hasanah pergi menemani Rofi mengambil daun sirih di sana ada rawa-rawa dan hari hampir magrib.”
Mendengar ucapan Hasanah Ibu menghentikan kegiatan menyisir rambut Hasanah kemudian mengambil napas dalam-dalam.
“Mulai dari besok, kalau mau maghrib jangan keluar-keluar lagi. Mamak kan sering berpesan, jam 12 siang, jam 12 malam serta waktu maghrib itu bukan lagi perjalanan manusia. Dan jangan lupa kemanpun pergi jangan lupa baca ayat kursi dan minta izin dulu.”
“Baik, Mak. Maafkan Hasanah.”
Dalam hati Hasanah berjanji tidak akan lagi pergi ke rawa-rawa itu walaupun pemandangan di sana sangat bagus. (*)
Tentang Penulis
Dara Layl nama pena dari Dara Puspa Mulyana berasal dari daerah Kutub Tak Bersalju. Sekarang sedang menyelesaikaan pendidikan di Universitas PGRI Sumatera Barat dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga aktif sebagai anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Sumatera barat. Teman-teman bisa mengenalnya melalaui Podcast Dara Layl dan akun sosial media Instagram @daraa.pm dan @daralayl serta twitter @daralayl.
Benturan Modernitas dan Tradisionalitas dalam Cerpen “Dadah Ayam” Karya Dara Layl
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus (DPP) Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat)
Saut Situmorang (2010) dalam esainya berjudul “Globalitas dan Lokalitas dalam Membayangkan Indonesia Sebuah Kritik Pascakolonial” mengutip pendapat terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Anderson tentang nasionalisme Indonesia. Ben Anderson mengulas secara mendalam tentang hal yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruksi kultural.
Indonesia dilahirkan dan dibentuk dari imajinasi banyak masyarakatnya. Imajinasi masyarakat Indonesia itu disampaikan melalui berbagai media. Salah satunya adalah karya sastra. Oleh sebab itu karya sastra perlu dikaitkan dengan nilai-nilai sosial yang tumbuh dalam masyarakatnya.
Kreatika edisi ini menayangkan Cerpen “Dadah Ayam” karya Dara Layl seorang guru dan juga pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat. Berdasarkan teori Sosiologi Sastra, dapat diuraikan unsur-unsur cerpen ini dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan pandangan masyarakat yang digambarkan di dalamnya. Teori Sosiologi Sastra menekankan hubungan antara karya sastra dengan kondisi sosial, budaya, serta ideologi yang berkembang dalam masyarakat.
Tema utama cerpen “Dadah Ayam” ini adalah konflik antara modernitas dan tradisi dalam pengobatan. Hasanah, seorang mahasiswi yang berada di lingkungan akademik modern, harus menghadapi kondisi kesehatannya dengan cara pengobatan tradisional, yaitu ritual Dadah Ayam, sebuah praktik yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakatnya. Selain itu, cerpen ini juga mengangkat tema hubungan manusia dengan dunia gaib melalui pengalaman Hasanah yang jatuh sakit setelah dianggap terkena gangguan makhluk halus.
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Hasanah yang digambarkan sebagai seorang mahasiswi cerdas yang berjuang menyelesaikan skripsinya. Hasanah adalah pribadi yang bertanggung jawab, terlihat dari dedikasinya terhadap studinya, tetapi ia juga merasa kewalahan oleh tuntutan akademik. Saat ia jatuh sakit, karakter Hasanah juga tercermin dalam cara dia menerima pengobatan tradisional dari ibunya.
Tokoh pendukung dalam cerpen ini adalah Rofi, teman kos Hasanah yang digambarkan sebagai teman yang peduli. Dia membantu Hasanah ketika sakit dan mendukungnya dengan menemani ke Puskesmas. Selain itu juga hadir tokoh Ibu Hasanah yang mewakili figur tradisional yang masih memegang teguh kepercayaan dan praktik pengobatan tradisional. Ibu Hasanah sangat perhatian dan penuh kasih sayang terhadap anaknya, serta tetap percaya pada ritual tradisional meskipun ada pertentangan dengan pandangan modern. Tokoh lain adalah Angku yang berperan dalam melakukan ritual Dadah Ayam, yang dalam konteks cerpen berfungsi sebagai mediator antara alam manusia dan alam spiritual.
Alur cerpen ini bersifat alur maju atau progresif. Cerita dimulai dengan kehidupan sehari-hari Hasanah dan Rofi, kemudian berlanjut dengan sakitnya Hasanah, hingga klimaksnya adalah ketika Hasanah menjalani ritual Dadah Ayam untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Tahapan alur dimulai dengan Pengenalan dimana cerpen dibuka dengan gambaran kehidupan Hasanah dan Rofi di kos, serta aktivitas mereka sebagai mahasiswi. Kemudian Pemunculan konflik dapat dilihat ketika Hasanah jatuh sakit setelah mengalami demam tinggi. Meskipun sudah mencoba pengobatan medis, kondisinya tidak kunjung membaik.
Klimaks cerpen ini ketika Hasanah dibawa pulang ke kampung oleh ibunya dan menjalani ritual Dadah Ayam, yang mempercayai bahwa penyakitnya terkait dengan gangguan makhluk halus di rawa-rawa. Penyelesaian cerpen ini dapat dilihat dengan akhir cerita yang menggambarkan Hasanah yang sembuh dan lebih memahami bahwa pengobatan tradisional, meskipun tampak kuno, memiliki peran penting dalam masyarakatnya.
Berdasarkan kondisi sosial dan budaya, cerpen ini menggambarkan kehidupan masyarakat Sumatera Barat yang meskipun sudah modern dalam beberapa aspek, tetap menjaga dan melestarikan tradisi serta kepercayaan turun-temurun. Salah satu kepercayaan tersebut adalah pengobatan tradisional, seperti ritual Dadah Ayam yang dilakukan untuk kesembuhan penyakit. Tradisi ini melibatkan penyembelihan ayam betina untuk perempuan, dengan keyakinan bahwa penyakit bisa dipindahkan ke tubuh ayam.
Sementara itu dari sisi relasi Individu dengan tradisi, Hasanah yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini, mewakili generasi muda yang hidup di antara modernitas dan tradisi. Dia adalah seorang mahasiswa yang terlibat dalam dunia akademis, tetapi ketika mengalami sakit yang serius, keluarganya membawa dia kembali ke pengobatan tradisional. Konflik yang dialami Hasanah antara dunia modern (medis) dan tradisional (pengobatan ritual) mencerminkan dilema yang sering dihadapi oleh individu di masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial.
Beberapa sistem keyakinan dan ritual sosial yang dapat dilihat dalam cerpen ini adalah penggunaan ritual seperti Manawa Aie, Manawa Ureh, dan Manawa Telur dalam cerpen ini menunjukkan bagaimana masyarakat Sumatera Barat masih mempercayai praktik-praktik tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan. Kepercayaan pada intervensi makhluk halus dan energi supernatural, seperti “anak jin” yang menyebabkan sakit Hasanah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dalam cerita ini masih percaya pada hubungan antara manusia dan dunia gaib.
Cerpen ini memuat kritik terhadap modernitas. Meskipun masyarakat dalam cerpen ini digambarkan sebagai komunitas modern dari segi pembangunan dan ekonomi, mereka tetap mengandalkan pengobatan tradisional ketika menghadapi kondisi yang tidak dapat dijelaskan oleh medis modern. Hal ini mungkin merupakan kritik terhadap modernitas, yang terkadang dianggap tidak cukup dalam menjelaskan atau menangani seluruh aspek kehidupan, terutama yang berhubungan dengan spiritualitas dan penyakit.
Pengaruh sosial dalam cerpen “Dadah Ayam” ini dapat dilihat dengan jelas. Berdasarkan analisis sosiologi sastra, dapat dilihat karya sastra sebagai produk dari kondisi sosial yang melahirkan dan mempengaruhinya. Cerpen ini dapat dilihat sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat Sumatera Barat yang terus mempertahankan warisan budaya mereka di tengah-tengah perkembangan modernitas. Tokoh Hasanah, meski seorang intelektual muda, masih harus menerima dan mengikuti tradisi keluarganya dalam hal penyembuhan. Ini menyoroti bahwa di banyak komunitas, tradisi memiliki otoritas yang kuat dalam mengatasi krisis personal.
Cerpen ini juga memuat konflik antara agama dan kepercayaan lokal. Cerpen ini menyentuh isu tentang bagaimana praktik-praktik lokal seperti Dadah Ayam terkadang dianggap syirik oleh beberapa orang yang lebih murni dalam memahami agama Islam. Dialog Hasanah dengan ibunya mengenai anggapan syirik terhadap praktik Dadah Ayam menunjukkan adanya perdebatan di antara masyarakat mengenai mana yang dianggap sesuai dengan ajaran agama dan mana yang dianggap menyimpang.
Cerpen “Dadah Ayam” menggambarkan benturan antara modernitas dan tradisi dalam masyarakat Sumatera Barat. Penggambaran ritual tradisional sebagai solusi untuk masalah kesehatan mencerminkan kepercayaan kuat masyarakat terhadap warisan budaya mereka, meskipun hidup dalam lingkungan yang semakin modern. Cerpen ini secara tidak langsung juga mengkritik bahwa modernitas tidak selalu bisa menggantikan kepercayaan dan tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat.
Keuanggulan cerpen “Dadah Ayam” adalah kemampuan penulis menyajikan penggambaran budaya yang kuat. Cerpen ini berhasil menggambarkan tradisi dan budaya pengobatan tradisional di Sumatera Barat, khususnya melalui ritual Dadah Ayam. Budaya lokal yang kaya ini memberi kedalaman pada cerita, membuat pembaca lebih mengenal aspek budaya yang mungkin jarang diketahui di luar komunitas tertentu. Penggunaan istilah-istilah lokal seperti Manawa Aie, Manawa Ureh, dan Manawa Talua memperkaya cerpen ini dengan nuansa budaya Minangkabau.
Keunggulan lain adalah tema yang menyajikan konflik antara modernitas dan tradisionalitas. Salah satu kekuatan utama cerpen ini adalah keberhasilan dalam menampilkan konflik antara modernitas dan tradisi. Hasanah yang merupakan seorang mahasiswi modern dihadapkan dengan kepercayaan tradisional keluarganya, menciptakan dilema yang sangat relevan bagi pembaca di zaman sekarang. Banyak orang di masyarakat modern masih berhadapan dengan pilihan antara pendekatan medis modern dan praktik tradisional.
Pengembangan karakter yang realistis juga menjadi nilai tambah dalam cerpen ini. Tokoh Hasanah dan ibunya digambarkan dengan baik. Hasanah merepresentasikan generasi muda yang hidup di lingkungan modern, tetapi tetap menghormati tradisi keluarganya. Sedangkan ibunya mewakili generasi yang memegang teguh kepercayaan lama. Karakter-karakter ini terasa hidup dan memiliki dinamika yang kuat.
Cerpen ini diperkuat dengan suasana dan latar yang mendukung. Deskripsi suasana lingkungan yang berubah-ubah, mulai dari kos-kosan di kota Padang hingga kampung halaman Hasanah, memberikan latar yang kontras antara kehidupan modern dan tradisional. Pemandangan rawa-rawa dan suasana menjelang maghrib memberikan nuansa mistis yang memperkuat unsur tradisional dan kepercayaan dunia gaib dalam cerita.
Terakhir keunggulan cerpen ini adalah penggunaan simbolisme yang efektif. Ritual Dadah Ayam dan kondisi fisik ayam yang berubah menjadi kecil dan kurus adalah simbol yang kuat untuk menggambarkan hubungan antara manusia dan penyakitnya. Ini memberi makna mendalam pada cerita, bahwa ada sesuatu yang “diambil” dari tubuh Hasanah oleh ayam tersebut, sejalan dengan kepercayaan lokal tentang pemindahan penyakit.
Kekurangan cerpen ini adalah pengembangan konflik yang terbatas. Konflik antara modernitas dan tradisi sebenarnya sangat potensial untuk dieksplorasi lebih mendalam. Namun, cerpen ini tidak sepenuhnya mengeksplorasi dilema psikologis Hasanah terkait kepercayaannya terhadap pengobatan tradisional. Sebagai tokoh utama, Hasanah tampak terlalu mudah menerima ritual Dadah Ayam tanpa adanya pergolakan batin yang mendalam, padahal bisa menjadi sumber konflik internal yang lebih kuat.
Kekurangan lainnya adalah kurangnya eksplorasi terhadap karakter pendukung. Tokoh Rofi sebagai teman dekat Hasanah tidak dikembangkan lebih jauh. Ia hanya berfungsi sebagai pendamping cerita tanpa karakterisasi yang kuat. Penggambaran tokoh-tokoh lain, seperti Angku yang melakukan ritual, juga minim, sehingga cerita terkesan lebih berpusat pada Hasanah dan ibunya tanpa melibatkan interaksi sosial yang lebih luas.
Alur yang terasa terburu-buru juga mengurangi mutu cerita. Beberapa bagian dalam cerpen ini, terutama saat Hasanah menjalani ritual Dadah Ayam dan proses pemulihan setelahnya, terasa berjalan dengan cepat dan kurang detail. Transisi dari Hasanah yang sakit parah menjadi sembuh juga terasa kurang dramatis, sehingga pembaca mungkin kehilangan rasa emosional atau ketegangan yang lebih mendalam.
Kekurangan lain adalah kurang kuatnya penyampaian amanat. Meskipun cerpen ini memiliki potensi untuk menyampaikan pesan moral yang kuat tentang pentingnya menghargai tradisi, amanat ini tidak digali dengan jelas. Cerpen lebih berfokus pada alur penyembuhan Hasanah dan tidak terlalu menekankan pada refleksi Hasanah terhadap pengalamannya. Penuturan ini bisa diperkuat dengan momen reflektif atau dialog yang lebih mendalam.
Hal yang paling mendasar adalah tidak ada resolusi terhadap isu syirik yang menjadi permasalahan cerita. Di awal cerita, Hasanah mendengar tentang perdebatan apakah ritual Dadah Ayam dianggap syirik atau tidak. Namun, isu ini tidak diberikan resolusi yang jelas dalam cerita. Hal ini bisa menjadi potensi konflik yang menarik jika dibahas lebih dalam, mengingat ini adalah isu yang sering muncul dalam masyarakat tradisional yang berusaha menyeimbangkan antara ajaran agama dan tradisi lokal.
Analisis ini menunjukkan bahwa melalui karya ini, Dara Layl menggambarkan dinamika sosial dan budaya yang kompleks di dalam masyarakat Sumatera Barat, dengan memanfaatkan sosiologi sastra sebagai lensa untuk memahami karya ini.
Secara keseluruhan, cerpen “Dadah Ayam” memiliki keunggulan dalam penggambaran budaya yang kuat dan tema yang relevan, serta menghadirkan suasana yang memikat dengan unsur tradisi dan mistisisme lokal. Namun, cerpen ini bisa lebih baik jika konflik internal tokoh utama dan hubungan dengan karakter pendukung dikembangkan lebih jauh, serta alur dan amanat cerita diperkuat. Meskipun begitu, cerpen ini berhasil menyampaikan pengalaman yang memadukan modernitas dan kepercayaan tradisional dalam konteks masyarakat Sumatera Barat.(*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.