Oleh: Ria Febrina
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Setelah menyaksikan lautan awan di Gunung Bromo, saya berkeinginan ke Dataran Tinggi Dieng, khususnya ke Bukit Sikunir. Konon katanya di Bukit Sikunir terdapat golden sunrise terbaik se-Asia Tenggara. Kita dapat menyaksikan pesona keemasan saat matahari terbit dari puncak Dataran Tinggi Dieng yang memiliki ketinggian 2.263 mdpl. Sebuah pemandangan yang tidak akan terlupakan karena kita dapat menyaksikan puncak gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Kembang, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, serta Gunung Ungaran.
Suatu hari suami saya menceritakan keinginan ini kepada temannya yang tinggal di Yogyakarta. Namun siapa sangka, dia menyambutnya. Karena sudah berteman sejak SMA dan sebentar lagi saya dan keluarga akan kembali pulang ke Padang, dia berpikir bahwa ini akan menjadi kesempatan baik. Kami akan menjalani perjalanan panjang pertama bersama anggota keluarga. Apalagi, anak-anak kami sudah berteman akrab sejak beberapa tahun terakhir. Mereka pun berada di sekolah yang sama dan juga sering diajak berkumpul.
Suatu malam dia mengirimkan nama dan lokasi home stay yang akan menjadi tempat menginap di Dieng. Katanya, lokasinya sangat dekat dengan Titik Nol Dieng. Hanya berjalan kaki sejauh 100 meter. Lalu, dia mengirimkan juga transportasi yang akan memuat tiga keluarga yang akan berangkat. Sebuah mobil Hiace milik salah satu pengusaha Minang di Yogyakarta, yakni Andico Transport. Menyaksikan pesan-pesan tersebut, saya benar-benar antusias. Akhirnya keinginan saya menuju Dataran Dieng terkabulkan.
Setelah pesan-pesan tersebut, kami para istri pun membuat agenda belanja bareng, membeli kebutuhan untuk berangkat. Kami sadar bahwa membawa enam orang anak membutuhkan persiapan yang banyak, seperti makanan, minuman, dan juga jas hujan untuk jaga-jaga saat mendaki ke puncak. Apalagi, sekarang sudah bulan September, hujan sesekali sudah turun di Yogyakarta. Mendung juga sudah sering menyapa. Bak pepatah, sedia payung sebelum hujan. Kami pun menyiapkan beberapa jas hujan ke sana.
Jumat pagi di awal bulan September, kami berkumpul di Lapangan Mancasan, Wirobrajan. Lapangan Mancasan menjadi titik kumpul. Sembari menanti mobil, kami membawa satu per satu tas-tas yang sudah memuat perlengkapan untuk mendaki ke Dieng, seperti jaket tebal, sebo, syal, kaus tangan, kaus kaki, long john, dan beberapa stel baju yang akan dipakai berlapis. Suhu di Dieng sangat dingin katanya. Bisa mencapai 5—10 derajat. Untuk mewanti-wanti anak-anak rewel saat perjalanan, semua perlengkapan di lokasi terdingin Dieng harus disiapkan.
Berada dalam satu mobil untuk perjalanan jauh ternyata pilihan yang paling tepat, apalagi kami bepergian bersama anak-anak. Anak-anak bisa menghabiskan waktu bersama tanpa rasa bosan. Mereka saling bercerita dan juga bernyanyi bersama sepanjang perjalanan menuju Dieng. Setidaknya menempuh perjalanan selama enam jam dari Yogyakarya ke Dieng bukanlah waktu yang aman untuk anak-anak. Namun, mereka sangat bahagia karena terbayang-bayang hendak mendaki bersama ke Bukit Sikunir.
Jalanan menuju ke Datarang Dieng, khususnya menuju Wonosobo mirip dengan beberapa lokasi di Sumatera Barat. Beberapa kali kami sempat berkata, ini seperti jalan ke Padangpanjang, ini seperti jalan ke Bukittingi, ini seperti jalan ke Batusangkar. Alam yang terbentang dan kepadatan rumah-rumah penduduk sangat mirip. Hanya satu yang membedakan, yakni Indomaret dan Alfamart yang ada di sepanjang perjalanan. Di Sumatera Barat tidak ada supermarket biru dan supermarket merah tersebut.
Untuk mengatasi rasa jenuh di perjalanan, kami berhenti sejenak di Alun-alun Wonosobo. Berhenti untuk makan siang sembari menunggu para suami melaksanakan ibadah salah Jumat. Udara dingin sudah mulai terasa, namun kami masih sanggup menikmati tanpa harus menambah jaket ke tubuh. Lokasi yang membuat kami tidak sanggup menahan dingin adalah di Dataran Tinggi Dieng, khususnya ketika kami turun pertama kali di Candi Arjuna.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Panas terik, tetapi cuaca terasa bak senja hari. Angin kencang berhembus dan udara terasa dingin menusuk kulit. Saya dan teman-teman pun bergegas memakaikan jaket kepada anak-anak, sekaligus kaus kaki dan sarung tangan. Di depan kami bukit-bukit menjulang dengan hamparan berjenjang. Di beberapa tempat menjadi kebuh teh, beberapa tempat menjadi tempat tumbuhnya sayur-sayuran khas Dieng.
Setelah mengenakan jaket, kami turun dari tempat parkir menuju pintu masuk Candi Arjuna. Kami berjalan sekitar 300 meter. Di kiri kanan jalan, terdapat pohon-pohon dengan beberapa patahan batang. Anak-anak memungut beberapa batang pohon yang agak kokoh dan kuat. Untuk persiapan mendaki, katanya. Alhasil, setelah menikmati waktu berfoto di Candi Arjuna, kami pulang sembari membawa batang kayu panjang. Ukurannya disesuaikan dengan tinggi anak-anak dan juga ada untuk kami yang dewasa. Katanya, ada ribuan tangga yang harus didaki. Anak-anak akan aman sembari membawa tongkat-tongkat tersebut.
Setelah dari Candi Arjuna, kami melaju ke Kawah Sikidang. Ternyata tiket masuk ke Candi Arjuna berlaku untuk dua lokasi. Harga tiket per orang senilai Rp35.000,00. Dengan tiket terusan ini, sebenarnya tidak terlalu mahal ke dua lokasi yang berbeda. Namun, kami menjadi terburu-buru karena Kawah Sikidang tutup pukul 16.00 WIB. Hanya tersedia dua jam. Karena ini perjalanan wisata bersama keluarga—yang penting berkunjung—kami pun hanya menghabiskan waktu selama setengah jam di Candi Arjuna.
Candi Arjuna merupakan candi yang dibangun pada abad VIII Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Di lokasi ini tidak hanya Candi Arjuna yang didirikan. Juga ada candi-candi lain yang nama candi diambil dari tokoh pewayangan Mahabrata. Candi-candi yang dimaksud adalah Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Arjuna merupakan candi yang terletak paling utara dari deretan percandian agama Hindu ini. Namun, tidak banyak yang dilihat anak-anak dari deretan candi ini. Ukuran candi lebih kecil dari candi-candi yang ada di Yogyakarta. Anak-anak tidak terlalu antusias karena mereka sudah pernah melihat Candi Prambanan dan Candi Borobudur yang berukuran lebih besar. Mungkin karena bepergian bersama, mereka justru lebih tertarik jongkok bermain pasir di depan candi.
Setelah dari Candi Arjuna, kami turun di Kawah Sikidang. Pintu masuk sedang direnovasi sehingga kami masuk dari pintu keluar. Kami melewati sejumlah gerai UKM lokal yang sudah menghadirkan oleh-oleh, seperti minuman carica, sabun belerang, kentang Dieng, dan juga pakaian yang bertuliskan Dieng. Kami terus melaju hingga lokasi kawah. Karena teman kami sudah pernah ke sini, sejak awal anak-anak sudah memakai masker. Bau belerang yang menyengat memang tidak cocok untuk sebagian orang. Sementara saya, hingga agak lama di depan kawah, terasa baik-baik saja. Barangkali karena sudah pernah ke Tangkuban Perahu yang bau belerengnya juga menyengat, bau belerang dari Kawah Sikidang tidak terlalu kuat.
Di Kawah Sikidang kami berjalan di antara asap. Kawah ini merupakan kawah aktif terbesar yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Di kawah ini terdapat satu telaga air panas kecil dengan air yang selalu mendidih. Selain itu, juga ada celah gas dengan titik-titik yang selalu berpindah dalam lapangan seluas empat hektare. Di lapangan ini dulu masyarakat melihat kijang melompat-melompat. Karena banyaknya kijang di daerah ini, masyarakat setempat menamai tempat ini dengan Kawah Sikidang. Kidang dalam bahasa Jawa bermakna ‘kijang’.
Dalam catatan geologi, kawah ini tergolong kawah muda. Dari catatan yang ada, letusan freatik terakhir terjadi pada tahun 1981. Karena kawah ini masih aktif, pengunjung dapat melihat lumpur panas meletup-letup dengan asap berwarna putih pekat mengepul di udara. Aktivitas vulkanik itulah yang dilihat di Kawah Sikidang. Setelah menyaksikan Kawah Sikidang, kami sekeluarga berfoto di jembatan kayu yang mengelilingi kawah tersebut. Di antara asap yang hilang timbul, kami mengambil beberapa foto estetik. Namun, karena anak-anak tidak kuat dengan bau menyengat, kami pun segera turun meninggalkan kawah.
Di perjalanan pulang, saya mampir ke beberapa gerai. Ingin sekali rasanya menikmati kentang olahan Dieng yang dibuat mirip dengan rendang kentang di Padang. Namun, tubuh sudah terasa lengket. Selera makan sudah tidak ada. Saya pun memilih membeli kentang yang belum diolah. Saya membeli kentang Dieng yang berukuran kecil dan juga kentang merah yang dikenal lebih sehat. Saya juga membeli sabun dan bubuk belerang. Saat itu anak bungsu saya baru saja sembuh dari penyakit cacar. Beberapa bintik masih tersisa di tubuhnya. Sabun dan bubuk ini diharapkan bisa menyembuhkan.
Selain itu, saya juga tidak melewatkan membeli sweter rajut yang bertuliskan Dieng. Akhir-akhir ini saya sudah melihat sweter ini di Malioboro dan ingin sekali membeli. Namun, tulisannya Jogja. Entah mengapa, tulisan Dieng lebih mempesona. Meskipun jaket anak-anak sudah ada, saya pun membeli dua buah sweter rajut sebagai oleh-oleh dari Dieng. Sweter ini juga akan saya pakaikan kepada anak-anak saat subuh mendaki ke Bukit Sikunir. Saya teringat perjalanan ke Bromo dulu. Anak sulung kami menangis karena tidak kuat menahan dingin. Sweter rajutan ini semoga bisa mengurangi rasa dingin esok pagi.
Hari ini kami sudah mulai lelah. Kami harus istirahat agar besok pagi fit mendaki Bukit Sikunir. Setelah dari Kawah Sikidang, kami berencana langsung istirahat di penginapan. Mungkin selepas Magrib, kami berjalan ke Titik Nol Dieng sembari mencari makan malam. Setelah itu, kami akan melepas penat di penginapan sembari memandang alam Dieng di malam hari. Kami menjaga semangat agar perjalanan ke Bukit Sikunir besok subuh masih dengan semangat yang menggebu.