
Oleh: Riza Andesca Putra
(Dosen Departemen Pembangunan dan Bisnis Peternakan Unand & Mahasiswa Program Doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM)
Siapa yang tidak kenal Donald Duck? Sebuah komik dan film kartun yang meraih popularitas di berbagai belahan dunia. Bebek antropomorfik yang ikonik dari Disney ini telah menjadi sumber hiburan bagi anak-anak dan orang dewasa selama bertahun-tahun. Namun, di balik keseruan dan humor yang dibawanya, tersimpan pesan-pesan tersembunyi yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang.
Ariel Dorfman dan Armand Mattelart mengupas secara mendalam sisi lain Donald Duck dalam sebuah buku “How to Read Donald Duck”. Mereka menulis, Donald Duck bukan hanya sekadar hiburan, melainkan sebagai alat propaganda yang mempromosikan kapitalisme, imperialisme, dan nilai-nilai Amerika.
Komik dan film kartun Donald Duck menggambarkan dunia yang terstruktur secara hierarkis, di mana kelas atas (seperti Gober Bebek) mengeksploitasi kelas bawah (seperti Donald Duck). Donald Duck mewakili “orang biasa” yang terjebak dalam sistem yang tidak adil dan terus-menerus frustrasi. Komik Donald Duck menormalisasi ide-ide seperti eksploitasi buruh, rasisme, dan kolonialisme. Disney menggunakan humor dan karakter yang menarik untuk membuat pesan ideologisnya lebih mudah diterima.
Ariel Dorfman dan Armand Mattelart juga menyoroti Donald Duck digunakan sebagai alat yang digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai yang diinginkan pemerintah Amerika pada saat itu. Cerita terkait politik dalam komik dan kartun seringkali direkonstruksi secara ideologis untuk memperkuat hegemoni Amerika Serikat.
Selain itu, Dorfman dan Mattelart mengkritik bagaimana komik Disney mendorong konsumerisme dan kapitalisme dengan menyajikan gambaran kebahagiaan yang didasarkan pada akumulasi barang. Mereka menyoroti bagaimana karakter-karakter seperti Donald Duck digambarkan sebagai konsumen pasif yang terus-menerus dihadapkan pada konflik tanpa solusi yang nyata.
Contohnya, dalam cerita “The Little House”, Donald Duck berjuang untuk membangun rumah impiannya, tetapi selalu gagal karena kekurangan uang. Hal ini menunjukkan kesulitan yang dihadapi kelas pekerja dalam mencapai mobilitas sosial yang lebih tinggi. Dalam cerita lain “The Plundering Pirate”, Donald Duck digambarkan sebagai penjajah yang merampok harta benda orang lain. Pada cerita “The Contest”, Donald Duck dan tetangganya berkompetisi untuk mendapatkan promosi di tempat kerja, menunjukkan sifat kompetitif dalam sistem kapitalis.
Dalam kacamata penulis, Donald Duck dan karya-karya Disney lainnya, saat ini telah berhasil dengan gemilang atau minimal memberi kontribusi dalam mempengaruhi pikiran masyarakat dunia bahwa saat ini Amerika ditempatkan sebagai patron atau rujukan dalam semua hal. Seolah-olah mereka sebagai juru selamat dunia. Mereka berhasil menciptakan ketergantungan dari sisi budaya hingga ekonomi dari negara-negara berkembang terhadap negara maju melalui narasi-narasi di komik, film atau media massa secara umum. Pendapat yang sebelumnya juga pernah diutarakan banyak ahli pembangunan, seperti: Herbert Schiller dan Armand Mattelart.
Konsep kebahagiaan yang dipropagandakan Donald Duck, menurut penulis telah berhasil memporak-porandakan mental dan spiritual masyarakat, khususnya di Indonesia. Bahwa bahagia itu adalah memiliki akumulasi barang-barang yang diinginkan. Bahwa kompetisi itu mesti dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan walaupun mengabaikan etika dan nilai-nilai. Bahkan saling menguasai menjadi sesuatu hal yang normal.
Konsep inilah yang berkembang hari ini di tengah-tengah masyarakat kita. Masyarakat hari ini dituntut memperoleh ini dan itu, memenangkan ini dan itu dengan mengalahkan orang lain, termasuk orang-orang dekat bahkan keluarga. Kondisi seperti itulah yang dikatakan bahagia.
Buku Dorfman dan Mattelart ini membuka mata kita bahwa terdapat agenda-agenda tersembunyi dibalik karya hiburan yang menyenangkan. Kita mesti kritis dalam memilih hiburan yang kita konsumsi. Karena tanpa kita sadari, hiburan tersebut dapat mempengaruhi alam bawah sadar kita sehingga mempengaruhi perilaku sehari-hari.
Apalagi hari ini, pesatnya perkembangan media, terutama YouTube, Tik Tok, dan Instagram, membuat kita mesti meningkatkan jiwa kritis kita menjadi ultra kritis dalam memilih hiburan yang dikonsumsi, terutama untuk anak-anak. Jiwa dan pikirannya yang masih kosong mesti diisi oleh hal yang baik-baik yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut dan impikan. Jangan biarkan anak-anak kita dididik oleh tontonan yang tidak jelas dan tidak sesuai dengan nilai-nilai itu. Apa yang mereka peroleh sedari kecil adalah sesuatu yang akan dia miliki dan gunakan di masa akan datang. Semoga kita semua bisa lebih arif dalam memaknai kondisi ini.








![Kantor PDAM Kota Padang.[foto : net]](https://scientia.id/wp-content/uploads/2025/07/FB_IMG_17535045128082-350x250.jpg)
Discussion about this post