Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom.
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Beberapa asumsi masyarakat konvensional mengatakan bahwa seseorang belum sepenuhnya dikatakan dewasa jika mereka belum berumah tangga atau membangun keluarga sendiri. Di saat sudah berkeluarga, orang-orang mulai belajar bagaimana lebih mengenal dan memahami diri sendiri dan orang lain. Dengan kehadiran seseorang sedari bangun tidur hingga kembali terlelap di malam hari, tentu saja ada beberapa hal berbeda dibandingkan kehidupan sebelumnya. Terlebih lagi, ketika sepasang kekasih halal diberikan titipan anak oleh Tuhan. Akan banyak romantika kehidupan keluarga yang menghiasi hari-hari mereka.
Menjalankan sebuah rumah tangga tentu memiliki dinamika dan warna tersendiri bagi setiap pasangan. Ada yang diwarnai dengan kesibukan suami istri dalam mencari nafkah untuk menghidupi diri mereka dan anak-anak. Ada yang dihiasi dengan berbagai aktivitas di rumah sembari menunggu anggota keluarga lain yang berjuang di luar rumah. Ada pula yang saling berjuang sembari menunggu momongan yang belum kunjung datang dan dititipkan Tuhan kepada mereka. Akan tetapi, juga ada keluarga yang memilih untuk fokus hidup bersama tanpa memiliki keinginan untuk melanjutkan keturunan atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah childfree.
Dikutip dari Kamus Oxford, childfree adalah istilah yang secara khusus digunakan untuk menggambarkan keadaan keluarga yang tidak memiliki anak secara sukarela. Istilah tersebut dikenal dalam agenda feminis, dan childfree dipandang sebagai pilihan oleh perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. Childfree mengacu pada orang atau pasangan yang tidak menginginkan anak karena kehidupan, tempat, atau keadaan. Keputusan untuk memilih childfree diawali dengan keinginan seseorang terhadap dirinya sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, termasuk wanita itu sendiri yang pada hakikatnya secara alami mengalami kehamilan dan persalinan.
Banyak tulisan ilmiah dalam berbagai perspektif yang dapat ditemukan di jurnal-jurnal maupun tesis mengenai childfree. Salah satunya, tulisan dari Amy Blackstone dan Mahala Dyer Stewart dengan penelitian yang berjudul “Choosing to Be Childfree: Research on the Decision Not to Parent”. Dalam penelitian itu, mereka menemukan bahwa bagi perempuan, memilih untuk tidak menjadi orang tua seringkali dikaitkan dengan keinginan untuk fokus dalam perkembangan karier mereka, sedangkan untuk para laki-laki memilih childfree disebabkan oleh tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membesarkan anak dan juga keinginan untuk menjaga fleksibilitas dalam hal keuangan (Blackstone, Amy dan Mahala Dyer Stewart, 2012: 718-727).
Sepasang suami istri sebenarnya memiliki hak secara penuh menentukan seperti apa mereka menjalankan rumah tangganya, termasuk dalam menentukan apakah mereka mau mempunyai anak atau tidak. Selain itu adalah ranah personal dalam keluarga, ada kondisi-kondisi tertentu yang memang membuat beberapa keluarga terpaksa memilih untuk childfree. Namun, juga untuk direnungi dan dipertimbangkan setiap keluarga adalah, kondisi childfree ini bukanlah sebuah ajang kampanye dan sebuah pandangan yang baik untuk dikonstruksikan kepada masyarakat melalui media. Bahkan, banyak agama pun mengajarkan bahwa anak adalah karunia yang dititipkan Tuhan melalui sepasang suami istri. Untuk itu, sebenarnya agama pun menganjurkan setiap keluarga meneruskan keturunannya.
Perbincangan mengenai childfree pun rasanya tidak ada habisya diperdebatkan banyak orang semenjak awal kemunculannya di awal abad ke-20. Seperti halnya masalah-masalah lain, topik berita tentang childfree selalu mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Hal ini kebanyakan dipicu oleh adanya konstruksi pesan yang disampaikan oleh orang-orang yang dianggap berpengaruh, dalam konteks ini seperti para public figure melalui media sosial yang mereka miliki. Pesan tentang keputusan untuk childfree yang dikonstruksi oleh para public figure sebenarnya berbeda-beda. Mulai dari ketakutan munculnya masalah baru ketika punya anak seperti yang disampaikan Rina Nose, menekan angka kelahiran yang sangat tinggi di dunia memilih untuk mengadopsi anak-anak lain yang memang membutuhkan bantuan seperti yang dilakukan oleh Cinta Laura, hingga obat awet muda seperti yang disampaikan selebgram Gita Savitri.
Bungin (2015:11) menyimpulkan bahwa konstruksi merupakan sebuah kegiatan sosial yang bertujuan untuk membangun makna pesan yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lain atau khalayak. Tidak ada realitas di sini yang dikecualikan, objektif, dan diinternalisasi. Karena realitas sosial dilihat dari sebuah konstruksi sosial, di mana realitas sosial yang terkonstruksi sesuai dengan konteks tertentu yang dianggap signifikan oleh para pelaku sosial. Oleh sebab itu, konstruksi pesan di sini adalah bagaimana upaya yang dilakukan oleh para public figure dalam membangun pesan childfree yang mereka yakini agar dapat sampai dan diterima oleh khalayak. Tak sampai di situ saja, dalam mengkonstruksi pesan tersebut, biasanya mereka siap untuk mempertahankan apa pun pendapat yang mereka yakini atas setiap pertentangan yang mereka dapatkan.
Konstruksi pesan yang disampaikan oleh seseorang atau sekelompok orang secara terus menerus dapat dikatakan sebagai sebuah kampanye. Sebagaimana menurut Rogers dan Storey (1987), mereka mendefinisikan kampanye sebagai rangkaian kegiatan komunikasi terencana yang dirancang untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar kelompok sasaran dan dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Konstruksi pesan mengenai childfree yang dilakukan secara terus-menerus ini dapat dikategorikan sebagai sebuah kampanye.
Hadirnya kampanye childfree yang dilakukan secara terang-terangan oleh public figure melalui media sosial menimbulkan sebuah polemik di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat ada yang menanggapinya dengan emosi dan logika semata, sebahagian lagi menanggapinya dengan serius dan penuh analisis. Polemik childfree dapat ditemui di berbagai jenis media, baik itu media massa konvensional maupun maupun media sosial. Perdebatan panas yang paling mudah ditemui, bahkan terdapat pada media pribadi milik public figure yang mengkonstruksi pesan childfree tersebut.
Netizen di Indonesia dapat dikategorikan cerdas, tetapi jahat dalam berkomentar. Mereka bisa berpendapat dengan menyudutkan pandangan public figure tersebut dengan histori-histori yang ada pada masa lalu. Apalagi kalau ditemukan pendapat yang kontradiktif yang dimunculkan oleh public figure itu sendiri. Memang, jejak digital sangat sulit untuk dihilangkan. Oleh sebab itu, masyarakat harus selalu hati-hati dalam menjaga perbuatan dan perkataan di dalam media maya. Perdebatan kecil dapat merambah menjadi sebuah polemik besar yang bisa membuat kondisi genting bagi setiap orang yang tidak siap mental.
Memiliki pandangan berbeda dengan banyak orang atau minoritas memang sering menjadi hambatan orang-orang untuk bersuara. Namun, selalu ada strategi komunikasi untuk menangani setiap perbedaan pendapat yang ada. Asalkan dengan landasan yang tegas dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya setiap konstruksi pesan bisa dipertahankan dengan baik. Dengan demikian, konstruksi pesan yang dimunculkan di media sosial tidak memunculkan polemik yang berkepanjangan di tengah masyarakat.
Discussion about this post