Cerpen: Mansyur S.
Terlalu jauh Dia larut dalam kenyataan yang sudah waktunya untuk beralih. Dia melakukan pengembaraan dengan selembar tulisan yang telah ditemukan menurutnya mungkin akan mengantarkannya pada takdir yang lain. Dia harus melakukan perjalanan dari kenyataan untuk mencaritemukan kenyataan yang baru. Pada akhirnya, Dia memutuskan untuk melakukan pengembaraan dengan meninggalkan kenangan yang telah mencampuradukkan suka dan duka.
Setelah tiga hari melakukan perjalanan yang berbekalkan selembar tulisan dan kotak hitam yang dijaga dan terpelihara, Dia terus melakukan perjalanan melewati hutan, menyusuri, dan menyeberangi sungai, menuruni lembah, bahkan tidak jarang bertemu binatang buas yang kapan saja bisa mengancam keselamatannya. Namun, hujan yang begitu deras membuatnya untuk menghentikan perjalanan sementara waktu. Kabut yang begitu tebal membuatnya kehilangan arah.
Sesaat setelah hujan reda, kabut pun mulai menerang seolah mengisyaratkan arah selanjutnya. Dia melanjutkan perjalanan untuk mencari kediaman pemilik hatinya. Bersama dengan harapan terbesar dalam hidup, Dia mempercepat langkah kakinya, cemas akan hujan mungkin kembali turun. Mahar yang telah dipersiapkan dijaga dan diberi perlindungan lebih. Dalam hati, Dia berkata “biarlah saat ini ragaku kuyup asalkan jiwaku selalu hangat menjaga dan memelihara rasa”.
Tidak terlalu jauh dari tempat berteduhnya. Di sebalik bukit di depan matanya, tampak sebuah perkampungan selaras dengan ciri dalam sepenggal surat dari pemilik hatinya. Seketika itu, Dia juga merasakan bahwa jantungnya seolah mempercepat denyut nadinya. Dalam hati Dia bertanya, “Akankah takdirku dan takdirmu segera tiba?”
Merasa tujuannya semakin dekat, Dia seolah berlari-lari kecil menunjukkan betapa hatinya tidak cukup sabar untuk menemui takdirnya. Dari kejauhan gerbang masuk perkampungan pun semakin dekat dan terlihat. Kembali dalam hati, Dia berkata “Tuhan aku sudah bisa merasakan rusuk kiriku akan segera ditemukan”.
Tidak sampai tiga hasta menjelang masuk gerbang perkampungan, sayup terdengar sapa.
“Wahai pemuda!” dari arah kanannya. Sontak Dia pun berhenti lalu bertanya, “Siapa gerangan yang menyapaku?”
“Kemarilah wahai pemuda, aku di sebelah kananmu. Mampirlah sebentar saja. Setidaknya hanya untuk mengeringkan dan menghangatkan badanmu yang kuyup”. Dia pun menoleh ke kanan dan tampaklah olehnya sebuah gubuk yang termakan usia, lalu bertanya, “Apakah suara itu dari dalam gubuk?” “Benar wahai pemuda kemarilah,” jawaban dari dalam gubuk. “Baiklah saya mampir sejenak” Dia menjawab sambil terheran-heran memandang dan berjalan ke arah gubuk.
Setelah begitu dekat dengan gubuk, keluarlah seorang kakek tua renta bersama tongkatnya dan membawa secangkir kopi panas sembari mempersilahkan duduk di kursi yang terbuat dari bambu. Kakek tua pun mempersilahkan dia untuk meminum kopi panas tersebut. Tanpa berpikir panjang dia pun langsung meneguk kopi panas yang disuguhkan.
Setelah dia minum seteguk kopi panas yang disuguhkan, lalu kakek tua pun bertanya, “Siapa namamu wahai pemuda dan dari mana asalmu?”. Lalu Dia pun menjawab, “Namaku Diarga orang biasa memanggilku Dia dan aku berasal dari kampung yang cukup jauh dari sini”. “Apa gerangan tujuan dan kemana arahmu wahai pemuda?” Kakek tua kembali bertanya. “Aku ingin meminang seorang gadis di kampung yang bernama Ejung” jawab Dia seraya balik bertanya “apakah kampung ini bernama Ejung wahai kakek tua?”. “Benar wahai pemuda ini adalah kampung yang kamu tuju” jawaban meyakinkan kakek tua dan mempersilahkan Dia untuk kembali meneguk Kopi panas di atas meja.
“Tapi bagaimana kamu ingin meminang seorang gadis di kampung ini sedangkan kamu sama sekali tidak pernah tahu dengan Kampung Ejung?” kakek tua kembali bertanya dengan penuh rasa penasaran,“Benar wahai kakek tua, saya memang belum pernah ke kampung ini, tapi percayalah bahwa hati, perasaan dan jiwa saya sudah lama tinggal dan tertambat di kampung ini”, jawaban Dia sambil tersenyum lebar. “Bagaimana mungkin, apa maksudmu sebenarnya wahai pemuda asing”, respon kakek tua seolah tidak percaya dan ragu dengan jawaban Dia. Dia pun tidak langsung menjawab pertanyaan kakek tua namun meminta izin untuk meneguk Kopi panas di depannya sambil tertawa.
Setelah kembali meneguk kopi panas, Dia pun kembali melanjutkan perbincangan tentunya sekaligus menjawab rasa penasaran kakek tua yang telah tertunda oleh seteguk kopi panas yang sudah mulai dingin. Dia mulai bercerita tentang kisah dan sejarah hidupnya sehingga sampai di Kampung Ejung.
“Dahulu tiga setengah tahun yang lalu, saya pernah memiliki seorang gadis yang sudah siap untuk saya persunting sebagai isteri. Gadis yang amat sempurna, memelihara diri dari segala bentuk noda dan dosa, hafizh Alquran serta beribu Hadits Nabi, beliau adalah anak dari pimpinan pesantren dan saya salah satu santri di pesantren tersebut. Namun, untung tidak bisa di raih malang tidak bisa dielakkan, tepat di hari sebelum akad. Gadis yang saya dambakan tersebut mengalami musibah akibat dari kelalaian saya sendiri” Dia bercerita dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau boleh tahu dan berbagi cerita, kelalaian apa yang telah kamu perbuat wahai pemuda?” tanya kakek tua seolah ingin mendengarkan kisah lebih panjang. “Ketika itu, saya dipercaya oleh Pak Kiyai untuk menebang pohon di samping rumahnya untuk diambil kayunya sebagai bahan bakar. Namun, pohon tersebut tumbang ke arah rumah Pak Kiyai. Seketika itu pula terdengar kalimat ‘Allaahu Akbar’ saya dan seluruh santri pun berlari ke arah suara dan betapa terkejutnya ketika saya mendapati gadis yang saya cintai dan siap untuk saya persunting dalam keadaan sudah tidak bernapas lagi. Sejak itulah, saya merasa menjadi orang yang paling bersalah dan berdosa. Setelah tragedi itu pula, saya merasa hidup tak bernyawa.
Separuh diri saya hilang sampailah pada suatu saat saya menemukan selembar surat yang hanyut dalam sepotong bambu dan di dalamnya tertulis tentang seorang gadis yang telah lama ingin di persunting dengan mahar satu buah Alquran tulisan tangan. Awalnya, saya terkejut dan entah apa yang mendorong hati saya untuk melakukan pengembaraan mencari sumber selembar surat tersebut.” Dia mencerikan kisahnya dengan penuh rasa haru dan tidak terukur berapa dalam rasa bersalah yang pernah ada di dalam hidupnya.
“Lalu apa itu di dalam kotak hitammu wahai pemuda?”, kata kakek tua kembali bertanya. “Dalam kotak ini, ada Alquran tulisan tangan saya wahai kakek tua. Untuk saya jadikan sebagai mahar bagi pemilik hati saya. Sekiranya dia menerima saya nantinya,” jawaban Dia sambil mengusap air matanya yang terlanjur mengalir. “Maukah sekiranya kamu saya kabarkan sesuatu wahai pemuda?” tanya kakek tua. “Apa gerangan yang ingin engkau kabarkan kepada saya wahai kakek tua?” jawab Dia sembari memegang segelas kopi panas yang sudah terlanjur dingin.
“Surat yang pernah sampai di tangamu dan telah menuntunmu ke kampung ini adalah surat yang telah dibuat oleh cucu perempuanku. Tahukah kamu, dia adalah putri dari pimpinan pesantren yang akan kamu jumpai di dalam kampung ini. Dia seorang muslimah yang taat, hafizh Alquran dan juga beribu Hadits. Surat itu di hanyutkannya ke sungai beberapa bulan yang lalu sebab dia yakin dan percaya hanya orang-orang terbaiklah akan datang dan memenuhi syarat-syarat yang telah dituliskannya dalam selembar kertas,” jawab kakek tua sambil tersenyum.
“Kabarmu membuat saya ragu dan bingung wahai kakek tua. Benarkah apa yang kamu kabarkan kepada saya? Sekiranya kamu mempunyai anak pemilik sebuah pesantren, lalu apa gerangan kamu tidak tinggal dan menetap di situ, tapi justru memilih tinggal di gubuk tua ini, yang menurut kepatutan tidak layak huni,” tanya Dia ragu akan kabar kakek tua. “Pertanyaanmu wahai pemuda, baiklah saya akan menjawab rasa penasaranmu,” kata kakek tua sambil menyodorkan sehelai kain kering.
“Memang setiap pengakuan atau cerita yang saya sampaikan kepada orang yang belum mengenalku, selalunya mereka tidak sepenuhnya percaya. Namun, setelah mendengarkan kisah saya tidak jarang pula sebagian besar di antara mereka menangis dan meneteskan air mata, tapi saya tidak akan menceritakan kisah itu sebab menurut saya kisahmu sendiri sudah terlalu haru untuk diceritakan. Hal yang perlu kamu tahu wahai pemuda, gubuk ini adalah bangunan bersejarah, penuh kenangan suka, atau pun duka. Di sinilah saya bersama istri dahulunya membangun umat yang sangat jahil akan ketuhanan dan ketauhidan sehingga masyarakat, khususnya Kampung Ejung menjadi masyarakat yang cerdas dalam ber-Tuhan dan bertauhid. Singkatnya adalah masyarakat yang agamis. Saya tidak menetap di gubuk tua ini, tapi sekadar berteduh sebab hujan yang terlalu lebat. Saya ke sini sekedar mengambil tanaman obat di belakang gubuk untuk santri yang sakit” jawab kakek tua sambil sedikit bercerita.
“Kalau sekedar mengambil tanaman obat, mengapa tidak santri saja wahai kakek tua?” tanya Dia ingin jawaban pasti. “Ya, tapi saya tidak ingin menjadikan tua saya sebagai alasan untuk memperbudak orang lain. Apa yang masih bisa dan mampu saya kerjakan sendiri maka saya memilih untuk melakukannya sendiri. Sudahlah kita sudah terlalu panjang bercerita dan kopi panasmu pun sudah habis. Mari kita ke pesantren dan mempersiapkan segala sesuatunya,” jawab kakek tua sambil mengambil tongkat. “Mempersiapkan apa yang kakek tua maksudkan?” tanya Dia sambil menampakkan wajah keheranan. “Akad nikahmu bersama cucuku wahai pemuda, perkara baik tidak boleh ditunda,” ujar kakek tua sembari tersenyum.
Seketika itu pula, Dia merasa bahwa nyawanya kembali utuh untuk menikmati takdir baru. Bagaimanapun sulitnya, pengembaraan ini terjadi seakan sudah terbayar lunas oleh takdir dan kenyataan baru yang ditemukannya. Sembari berkata dalam hati, “Tuhan menjadikan ujian untuk saya mungkin sebagai salah satu cara memberikan kebahagiaan dan kenikmatan yang jauh lebih besar”.
Tentang Penulis:
Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Discussion about this post