Bahasa tidak stagnan. Bahasa memiliki sifat dinamis dan mengalami perubahan. Perubahan bisa terjadi hampir pada semua bagian bahasa, termasuk perubahan makna kata. Perubahan makna merupakan hal yang lumrah terjadi pada setiap kata. Hal itu tergantung pada pemaknaan sebuah kata dalam masyarakat.
Chaer (2009) dalam Yunus (2019:211) menyebut ada sembilan jenis perubahan makna yang bisa terjadi pada kata. Perubahan makna tersebut, yaitu 1. meluas (kata yang dulu memiliki satu makna, tetapi sekarang memiliki makna lebih luas, contoh: kata saudara dulu dipakai untuk saudara separut atau saudara satu ayah dan ibu, tetapi sekarang dipakai untuk saudara sepertalian darah dan sapaan formal), 2. menyempit (kata yang dulu memiliki makna luas, tetapi sekarang maknanya menjadi sempit atau terbatas, contoh: kata sarjana dulu dipakai untuk cendikiawan, tetapi sekarang hanya dipakai untuk lulusan sarjana), 3. amelioratif (kata yang dulu memiliki makna rendah, tetapi sekarang memiliki makna lebih tinggi, contoh: kata wanita memiliki makna lebih tinggi daripada kata perempuan) , 4. peyoratif (perubahan makna kata yang lebih rendah dari makna semula, contoh: kata gelandang sekarang memiliki makna lebih rendah atau kurang baik daripada makna semula), 5. perubahan total (perubahan yang mengubah total makna kata asalnya, contoh: kata air seni atau kencing berubah total menjadi seni/karya seni), 6. penghalusan atau eufimisme (perubahan makna kata lebih halus dari makna asalnya, contoh: pemutusan hubungan kerja atau PHK merupakan penghalusan dari kata pecat), 7. pengasaran (perubahan makna kata dari halus menjadi lebih kasar dari makna asalnya, contoh: istilah masuk kotak pengasaran dari kata kalah), 8. asosiasi (perubahan makna karena adanya persamaan sifat, contoh: biang keladi asosiasi dari penyebab keributan atau kejahatan), dan 9. sinestesia (perubahan makna kata akibat mengubah tanggapan panca indra, contoh: kalimat Suaranya enak di dengar merupakan perubahan tanggapan indra pendengar menjadi indra pengecap).
Kata yang menjadi pembahasan pada laman klinik bahasa edisi ini adalah kata pelaku. Kata pelaku pada mulanya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) tahun 1954 yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta (1954:515) mengandung makna ‘yang melakukan atau pemain sandiwara’. Kata dasar dari kata pelaku adalah laku yang berarti: 1. perbuatan; 2. kelakuan atau cara menjalankan atau berbuat (Poerwadarminta, 1954: 384). Kata pelaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring merupakan jenis kata benda atau nomina yang mengandung empat makna, yaitu 1. orang yang melakukan suatu perbuatan, 2. pemeran; pemain sandiwara dan sebagainya, 3. yang melakukan suatu perbuatan, subjek (dalam suatu kalimat dan sebagainya); yang merupakan pelaku utama dalam perubahan situasi tertentu, 4. seseorang tidak harus seorang aktor, yang menampilkan tokoh dalam pertunjukkan teater.
Namun, dalam perkembangannya kata pelaku mengalami perubahan makna dari makna positif atau makna standar yang semula terdapat dalam kamus bahasa Indonesia menjadi makna kurang baik atau negatif. Perubahan makna kata pelaku ini disebut dengan peyoratif. Peyoratif merupakan perubahan makna yang mengakibatkan sebuah kata atau ungkapan menggambarkan sesuatu yang kurang baik dibandingkan makna semula (Yunus, 2019: 211). Saat ini, kata pelaku lebih dominan digunakan bersama dengan kata-kata kriminal, tersangka, pencopet, pencuri, pemerkosa, pencabul, koruptor, dan perilaku tidak terpuji lainnya. Jika dipandang dari segi tataran sintaksis atau tata kalimat, pelaku merupakan subjek atau orang yang melakukan tindakan terhadap orang lain atau sesuatu yang menjadi objeknya dalam sebuah kalimat. Pelaku atau subjek biasanya memiliki kekuasaan atau kekuatan (power) yang berlebih dibandingkan objek atau sesuatu yang dikenainya atau orang yang menjadi korbannya. Fakta ini dapat dilihat dalam judul-judul berita di media massa saat ini. Kata pelaku digunakan dalam penulisan judul-judul berita yang menunjukkan perannya sebagai subjek yang melakukan tindakan kekerasan dan semena-mena terhadap objek atau korbannya. Penggunaan kata pelaku dalam penulisan judul-judul berita dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini.
(1) Pengakuan Tetsuya Yamagami Pelaku Penembakan Shinzo Abe, Dendam Eks Anggota AL kepada Mantan PM Jepang (Kompas, 09/07/2022)
(2) Komnas HAM mendesak Polri Terapkan UU TPKS untuk Pelaku Kejahatan Seksual (antaranews,09/07/2022)
(3) Ketua KPK: Pelaku Korupsi Tidak Takut Hukuman Badan, tetapi Takut Dimiskinkan (antaranews, 07/07/2022)
(4) Polisi Ringkus Pelaku Pencabulan Anak di Penginapan Bogor (DetikNews, 09/07/2022)
(5) Polisi: Pelaku Pelecehan Seksual di Angkot Mengaku ingin Ambil Dompet (Republika, 08/07/2022)
(6) Polda Metro Jaya Usut Pelaku Pengeroyokan Claudio Martinez di Bar Kawasan Kuningan (Tempo, 04/07/2022)
Kata-kata pelaku pada judul-judul berita di atas menjadi frase atau gabungan kata yang dapat mengisi satu fungsi dalam kalimat. Ia bersanding dengan kata-kata lain yang memiliki makna kurang baik atau negatif, seperti pelaku penembakan, pelaku kejahatan seksual, pelaku korupsi, pelaku pencabulan, pelaku pelecehan seksual, dan pelaku pengeroyokan. Oleh sebab itu, makna kata pelaku turut mengalami perubahan menjadi negatif atau kurang baik dari makna semula seperti yang terdapat dalam kamus. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yunus (2019:209) bahwa di antara penyebab perubahan makna adalah faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kehidupan sosial dan budaya. Judul-judul berita di atas dipublikasikan oleh media massa daring sebagai bentuk perkembangan teknologi. Penggunaan kata pelaku pada judul berita merupakan sebutan untuk orang yang melakukan tindakan pelanggaran sosial atau bermasalah dengan kehidupan sosial. Jadi, perubahan makna kata pelaku dapat disebut sebagai akibat dari faktor perkembangan teknologi dan kehidupan sosial budaya.
Kemudian, perubahan makna kata pelaku menjadi makna peyoratif memunculkan dua makna baru, yaitu 1. orang melakukan tindakan kriminal atau kekerasan, seperti pencabulan, perkosaan, pencurian, pembunuhan, penembakan, dan sejenisnya, 2. orang yang melakukan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum, seperti koruptor, makar, penipuan, hasutan, orang yang mengucapkan ujaran kebencian, dan sejenisnya. Seiring dengan seringnya kata pelaku disandingkan dengan kata-kata yang menunjukkan perilaku kriminal dan perbuatan melawan hukum, kata ini dengan sendirinya berasosiasi negatif dan mengalami perubahan makna menjadi kurang baik dari makna semula. Demikian perubahan makna yang terdapat pada kata pelaku.
Discussion about this post