Pada saat Nadiem Makarim dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Rabu, 23 Oktober 2019), Presiden Joko Widodo menyapa dengan kata mas, bukan bapak. Media online Kompas.com memberitakan hal tersebut melalui kutipan berikut ini.
“Saya manggilnya mas aja karena masih muda, Mas Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Jokowi yang disambut tawa dan tepuk tangan sejumlah menteri lain.
Kata mas menjadi bentuk sapaan yang menunjukkan keakraban dari Presiden Joko Widodo kepada menteri termuda Republik Indonesia ini. Hal ini pun disambut baik oleh masyarakat dan menjadi sapaan yang dikenal kini secara luas. Di berbagai acara negara, Nadiem Makarim disapa dengan Mas Nadiem atau Mas Menteri.
Dalam sejarah sapaan kepada tokoh dan pejabat negara di Indonesia, bentuk sapaan setara mas bukan hal baru dan sudah pernah digunakan. Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia menyatakan bahwa Soekarno memperkenalkan sapaan bung pada pembentukan Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17—18 Desember 1927. Bentuk sapaan bung pun semakin populer ketika Fatmawati menikah dan menyapa Ir. Soekarno dengan Bung Karno. Bentuk sapaan bung pada saat itu tidak bermakna sapaan kekerabatan untuk orang yang lebih tua, tetapi diperluas dengan sikap egalitarian tanpa meninggalkan rasa hormat antara sesama pengguna. Sapaan bung digunakan oleh Bung Karno untuk membangun semangat pergerakan, yakni menggelorakan kata merdeka.
George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia menjelaskan bahwa sapaan bung diterjemahkan sebagai saudara, serta disejajarkan dengan citizen dalam Revolusi Prancis (1789) atau kamerad dalam Revolusi Rusia (1917). Bentuk sapaan bung bermakna sebagai ‘saudara serepublik’ atau ‘saudara nasionalis Indonesia’.
Bentuk sapaan ini sebenarnya berasal dari bahasa Bengkulu yang bermakna ‘kakak laki-laki tertua’ dan digunakan oleh para keluarga di Bengkulu sejak 1850. Bentuk sapaan bung juga digunakan oleh masyarakat Ambon pada tahun 1940—1950 dan masyarakat Melayu di negeri Pahang. Kemudian, bentuk sapaan bung digunakan secara luas dan menjadi ideologi. Sejumlah tokoh disapa dengan bung, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tomo.
Pada tahun 1945, Bung Karno bahkan meminta pelukis Affandi untuk membuat poster perjuangan yang memuat gambar orang yang dirantai, tetapi rantai tersebut putus. Pada saat itu, pelukis Dullah menjadi model. Setelah poster selesai, pelukis Affandi ingin memberi kata-kata yang bernas. Ketika penyair Chairil Anwar lewat di antara mereka, pelukis Soedjojono—kakek Arian Arifin Wardiman, vokalis Band Seringai, pun menanyakan kata-kata yang tepat. Chairil Anwar menjawab, “Boeng, ajo, Boeng!” atau “Bung, ayo, Bung!”.
Kalimat itu pun menggelegar sebagai ungkapan heroik yang mampu menumbuhkan semangat untuk melindungi bangsa, negara, dan seluruh tumpah darah Indonesia dari para penjajah. Padahal, Chairil Anwar terinspirasi dari kalimat pelacur Senen yang menawarkan jasa kepada laki-laki hidung belang, “Bung, Ayo, Bung!”. Dengan demikian, pada saat itu bentuk sapaan bung tidak hanya mengalami perluasan makna, tetapi juga mengalami peningkatan nilai menjadi makna yang membaik atau ameliorasi.
Bentuk sapaan bung yang bersifat demokratis ini hanya bertahan selama kepemimpinan Soekarno—meskipun hingga tahun 1970 masih digunakan secara terbatas pada kalangan tertentu. Hal ini bermula pada akhir 1949, sapaan bung diganti dengan sapaan bapak atau saudara. Ajip Rosidi (2011) dalam Badak Sunda dan Harimau Sunda: Kegagalan Pelajaran Bahasa menyatakan bahwa perubahan bentuk tersebut menyebabkan adanya jarak antara rakyat dan pejabat karena segala perkataan harus dipatuhi.
Bentuk sapaan bapak ini digunakan kepada Presiden Soeharto, Presiden Jusuf Kalla, dan Presiden SBY. Kepada Presiden Megawati Soekarno Putri, digunakan bentuk ibu. Dalam perkembangan waktu, bentuk sapaan secara formal berupa Bapak/Ibu ini kembali longgar ketika K.H. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden dan disapa Gus Dur. Ia menyatakan bahwa gus berasal dari bahasa Jawa yang berarti cak atau mas.
Dhofier (2011) dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai menyatakan bahwa bentuk gus merupakan kependekan dari agus yang berasal dari kata bagus. Bentuk sapaan gus mirip dengan gelar kebangsawanan di Jawa, yaitu raden bagus. Bagus merupakan sebutan bagi anak (orang) lelaki yang memiliki kedudukan tinggi. Bentuk ini digunakan untuk menyapa anak bangsawan di Jawa dan kemudian digunakan untuk menyapa secara hormat putra kiai di pesantren.
Penggunaan bentuk gus ini dapat disetarakan dengan bung meskipun tidak memuat nilai heroik. Namun, bentuk sapaan gus dianggap lebih demokratis dan tidak formal. Bentuk sapaan gus perlahan mencairkan kekakuan sapaan rakyat kepada seorang pemimpin negara. Namun, bentuk sapaan ini sangat terbatas sehingga hanya dapat digunakan pada kalangan tertentu, seperti anak kiai.
Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau akrab disapa Presiden Jokowi, bentuk sapaan yang digunakan ialah bapak meskipun sejumlah pendukung ada yang menyapa pakde. Namun, bentuk tersebut terbatas pada pendukung Presiden Jokowi saja sehingga tidak digunakan secara meluas ke seluruh Indonesia. Meskipun demikian, selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi, bentuk sapaan kepada pejabat negara muncul secara bervariasi. Bentuk-bentuk tersebut muncul dengan membawa bahasa daerah, seperti Mas Nadiem atau Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia)—sebagaimana dijelaskan pada bagian awal; Kang Emil (Gubernur Jawa Barat); Mas Ganjar (Gubernur Jawa Tengah); dan Uda Joinaldy (Wakil Gubernur Sumatera Barat); serta juga membawa bentuk sapaan keagamaan, seperti Buya Mahyeldi (Gubernur Sumatera Barat).
Sementara itu, bentuk sapaan bung hingga kini masih terasa mengandung nilai heroik sehingga cenderung digunakan terbatas, bahkan secara khusus digunakan untuk tokoh negara yang sudah disebutkan pada bagian awal, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tomo. Ada sejumlah media massa yang berupaya menggunakan bung untuk orang-orang tertentu, seperti tokoh politik atau tokoh olahraga. Namun, penggunaan bentuk tersebut tidak bertahan dan bahkan ditolak oleh sekelompok orang, seperti yang dilakukan oleh Halida Hatta, anak ketiga Mohammad Hatta, saat pendukung Hatta Rajasa meneriakkan yel-yel pada debat calon wakil presiden (Minggu, 29 Juni 2014) dengan “Bung Hatta, Bung Hatta!”.
Dalam kajian linguistik, bentuk-bentuk bung, bapak, ibu, gus, mas, kang, uda, dan buya merupakan bentuk sapaan. Menurut Kridalaksana (2008) dalam Kamus Linguistik, sapaan merupakan morfem, kata, atau frasa yang digunakan untuk menyapa, menegur, menyebut orang yang diajak bicara atau untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara. Namun, pemilihan sapaan yang berhubungan dengan tokoh dan pejabat negara ini merupakan pemilihan secara khusus yang menjadi fenomena honorifik. Kridalaksana lebih lanjut menyatakan bahwa honorifik merupakan bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain.
Honorifik tidak hanya dilihat berdasarkan aturan gramatikal, tetapi juga mencerminkan budaya tertentu. Malinowski (dalam Nurdin Yatim, 1983) melalui Subsistem Honorifik Bahasa Makassar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik memandang bahwa honorifik menjadi bagian dari kekayaan kultural bahasa pemakai. Komunikasi yang dilakukan tidak hanya sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga untuk menjaga hubungan sosial secara timbal balik antara penutur dan mitra tutur. Bentuk honorifik dinyatakan sebagai sikap sopan untuk menghormati lawan bicara.
Penggunaan bentuk sapaan Mas Nadiem atau Mas Menteri, Kang Emil, Mas Ganjar, Buya Mahyeldi, dan Uda Joinaldy menjadi identitas bahwa masyarakat memiliki kuasa terhadap bahasa yang digunakan. Bahasa bukan milik seseorang atau sekelompok orang yang berkuasa. Masyarakat berhak memilih menggunakan bentuk sapaan apa pun untuk menunjukkan hubungan yang akrab. Bahkan, secara kreativitas, pengguna dapat mengusung bentuk-bentuk khusus yang berasal dari bahasa daerah. Ini tentunya akan menjadi kekayaan dalam sapaan terhadap tokoh atau pejabat negara.
Pada era digitalisasi saat ini—pada masa teknologi berkembang secara cepat dan tanpa batas—bentuk sapaan boleh muncul dari masyarakat mana pun dan kapan pun. Penggunaan yang meluas ke ranah media massa dan media sosial dapat mempercepat penggunaan hingga seluruh wilayah Indonesia. Bentuk-bentuk yang bertahan dalam waktu yang lama oleh berbagai kalangan dapat dikristalkan menjadi bentuk sapaan honorifik—yang dapat diwariskan kepada pengguna bahasa selanjutnya.
Discussion about this post