
Padang, SCIENTIA – “Buk, kue lumpurnya, Buk, Pak. Silakan dicicip kue lumpurnya uda, uni,” begitulah Waryati (47 tahun) menyapa peserta Car Free Day (CFD) di akhir pekan yang basah pagi itu. Sisa hujan subuh tadi masih terasa di kawasan Gelanggang Olahraga (GOR) Agus Salim, Kota Padang, tapi tak menyurutkan langkahnya untuk pulang.
Dalam suasana riuhnya orang lalu lalang, suaminya, Junaidi (48 tahun) dengan cekatan membungkus pesanan. Lalu, Citra Wulandari (22 tahun) anaknya, juga tanpa beban memasak adonan Kue Lumpur Kentang sebagai menu andalan. Mereka berbagi peran, agar jualan hari itu cepat ludes dan bisa pergi arisan yang telah dijanjikan.
Sesekali ia menyapa peserta CFD dengan bahasa Minang sedikit medok, sebab keluarganya memang bukan orang Minang. Yanti sapaan akrabnya ini berasal dari Jawa Timur, sementara suami dari Lampung. Mereka merantau ke Padang sejak 2010 lalu setelah melalang buana di Jakarta, Lampung, dan Dumai sebagai marketing perkakas rumah tangga.
“Biasanya setiap hari Minggu kami bawa perkakas dan kerajinan tangan juga di sini, tapi hari ini gak bawa, berharap bisa cepat pulang, karena sudah janji mau pergi arisan dengan kawan-kawan,” ucap Yanti pukul 07.15 WIB pada Minggu, (13/10) itu.
Siapa sangka, kendati jualan kue, hidup keluarga ini kini bisa terbilang “berada” dimulai dari kegiatan arisan tahun 2010 lalu. Dari hasil arisan, Yanti mulai menabung dan menyicil emas di PT Pegadaian Padang. Alasan menyicil emas sebab tak punya tabungan atau uang cash yang cukup. Tapi mujur berkehendak, seperti kata pepatah “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Kini ia sudah memiliki puluhan gram tabungan emas, mengetuk baitullah hingga melahirkan warisan untuk buah hati.

Alumni SMA PGRI Bojonegoro, Jawa Timur ini mengaku sudah mengenal Pegadaian jauh sebelum menikah 2002 silam, apalagi dirinya pernah merantau ke Jakarta. Hanya saja waktu itu cuma mampu menggadai jika tidak punya uang. Ia baru mengetahui adanya emas di perusahaan BUMN yang berdiri sejak 1901 itu pada tahun 2010.
“Sudah di Padang saya baru tahu program tabungan emas di Pegadaian. Waktu itu ikut arisan, dari hasil arisan itu beli emas, 1 gram, 2 gram semampunya, bayarnya nyicil. Harganya waktu itu sekitar Rp400 ribu per gram. Karena kita gak punya uang, bukan orang kaya makanya cuma bisanya kredit,” ujarnya.
Kendati terasa berat membayar cicilan, tapi Yanti yakin dengan keuntungan menabung emas, sehingga berani memaksakan diri untuk bisa investasi dengan cara menyisihkan hasil jualannya ke Pegadaian. Seiring berjalannya waktu, Yanti mulai merasakan manfaatnya. Terlebih emas yang dicicil ini bisa dijual untuk kebutuhan mendesak.
“Kadang memang terasa berat, tapi kita paksa-paksain nabung emas meski nyicil. Biasanya makan lauknya ayam, diganti tempe, yang penting cicilan emasnya lunas. Alhamdulillah, ketika lunas malah untung, karena harga emas gak pernah turun. Ketika butuh mendadak, jual, lalu nyicil lagi, sampai sekarang begitu,” ungkap ibu dua anak ini.
Malang tak dapat ditolak. Tahun 2017 ia kecelakaan dan harus ganti rugi sebesar Rp70 juta untuk mobil orang yang ditabrak. Dengan adanya tabungan emas hasil nyicil, semua bisa lunas dalam hitungan jam tanpa ribet. Kemudahan ini bukan karena ia punya banyak uang, tapi emas yang dimiliki gampang dijual dalam waktu cepat dengan harga stabil. “Situasinya pasti beda seandainya saya investasi rumah, tanah, atau kendaraan yang harus nunggu berbulan-bulan baru terjual,” terangnya.
Dari hasil jualan perkakas rumah tangga dan jajanan kue Dapoer Mami beromset Rp1,5 juta digelutinya setiap akhir pekan, terus ia sisihkan untuk menabung emas di Pegadaian. Berkat dukungan suami tercinta, ia sekeluarga bisa berangkat umroh dua tahun lalu. Tahun 2021, bersama suami juga nekad daftar porsi haji melalui Program Arrum Haji Pegadaian besaran cicilan Rp1,2 juta per bulan dengan tenor dua tahun.
“Lunasnya gak sampai dua tahun. Dulu harganya Rp43 juta, setelah lunas tabungan emas kita sudah dua kali lipat karena harga emas naik. Rencana biaya haji untuk satu orang, akhirnya nanti bisa berangkat bareng suami. Awalnya gak kepikiran bisa ke Makkah, Alhamdulillah, Insyaallah 2044 bisa berangkat,” tuturnya haru.

Dengan banyaknya manfaat menabung emas ini, ia juga mendaftarkan anaknya sebagai generasi emas mencicil emas di Pegadaian. Sebelumnya sejak 2017 ia juga telah mengajak kerabat dan tetangganya langsung untuk mengEMASkan Indonesia ke Kantor Pegadaian Padang. Ia lakukan semua itu agar semua orang bisa merasakan kebahagiaan dan untungnya menabung emas minim risiko ini.
“Yang saya rasakan Pegadaian memang menyelesaikan masalah tanpa masalah, makanya diajak teman yang lain juga. Anak gadis saya September 2024 disuruh kredit 10 gram belum lunas sudah untung Rp6 juta. Nanti kalau semua cicilan emas lunas, juga mau daftarkan anak Program Arrum Haji, nunggu anak cowok yang kuliah di Jakarta pulang dulu,” sebut Yanti.
“Awalnya saya ada uang untuk beli satu gram emas, tapi kata Mama disuruh kredit saja di Pegadaian 10 gram. Akhirnya nyicil seharga Rp13 jutaan, tapi belum lunas sudah merasa untung karena harga emas sekarang naik,” sambung Citra lulusan Tata Boga Universitas Negeri Padang itu sambil mengaduk adonan Kue Lumpur Kentang andalannya.
Sejalan dengan itu, Junaidi terus mendukung istrinya mencicil emas di Pegadaian dengan niat awal berinvestasi. Ia sanggup berhemat dan berhenti merokok demi bisa membayar cicilan. Baginya, menabung emas ini sangat penting untuk jangka panjang karena harga emas yang stabil dan cenderung naik setiap tahunnya. Terlebih, kini Layanan Digital Pegadaian melalui aplikasi Tring, memberikan kemudahan transaksi serta pergerakan emas bisa dipantau kapanpun dan dimana pun.
Saking yakinnya, ia bahkan membeli emas gram demi gram tanpa melihat naik-turunnya harga. Asal mengantongi uang langsung ke Pegadaian, dengan harapan bisa membalikkan kehidupan yang lebih baik, terutama demi pendidikan kedua permata hatinya, Citra Wulandari (22) dan Ferdy Kurniawan (18) bisa kuliah. Ia tak mau, kedua anaknya merasakan kisah serupa dirinya hanya lulusan SMA karena faktor ekonomi.
“Dulu ada kenalan bisa beli rumah harga Rp1 miliar tanpa uang, tapi dengan emas. Akhirnya makin tertarik beli dikit-dikit, nyicil dikit-dikit. Biarlah pergi kerja bawa nasi dari rumah, kalau terpaksa beli di warung yang harganya Rp10 ribu, kita juga gak nongkrong di kafe. Saya bahkan bilang ke istri, gak usah iri melihat orang pakai perhiasan emas, asalkan kita bisa punya emas batangan di Pegadaian, meski nyicil,” selorohnya.
Langkahnya diaminkan semesta. Komitmen menabung emas selama ini tak sekadar harapan belaka. Hidup keluarganya makin membaik. Kini tak lagi mengontrak, tapi mampu membeli rumah seharga Rp300 juta di kawasan Filano Parak Karakah Kota Padang, beli rumah dan tanah di Lampung, mobil, punya karyawan 15 orang di usaha perkakas rumah tangga , hingga bisa mengantarkan kedua anaknya ke bangku perguruan tinggi.
“Alhamdulillah. Dari keluarga miskin, saya dan istri hanya tamatan SMA yang hidup merantau dari kota ke kota. Kini sudah mampu meninggalkan warisan bagi anak. Jika kami sudah tiada, kalau mereka ingin tetap di Padang sudah ada rumah, kalau ingin balik ke Lampung juga sudah ada rumah,” kata anak ketiga dari lima bersaudara itu penuh syukur.
Alumni SMAN 2 Metro Lampung itu juga mengajak generasi muda turut berinvestasi emas. Terlebih lagi, harganya cenderung naik setiap tahunnya, sehingga sangat minim risiko. “Saya ini gak punya uang cash, karena saya investasikan. Jadi saran saya, anak muda harus berani investasi emas. Kalau beli barang konsumtif harganya bisa anjlok. Uangnya simpan di rumah bisa hilang, disimpan di bank bisa habis, tapi nabung emas nilai terus bertambah,” tegasnya.

Keluarga “Kue Lumpur Kentang” ini bukti nyata dampak positif Pegadaian bagi masyarakat untuk bertumbuh mengEMASkan Indonesia. Di usia 124 tahun, kini Pegadaian menjadi lembaga keuangan yang produk dan layanannya makin dipercaya karena bermanfaat serta berdaya bagi masyarakat. Terlebih usai mengantongi izin menjalankan Layanan Bank Emas (Bullion Bank) pertama di Tanah Air, sebagai langkah strategis memberikan lebih banyak opsi investasi berbasis emas bagi masyarakat.
“Ya, kadang kita gak sadar, nenek moyang kita dahulu telah mengajarkan kita transaksi dengan emas. Orang tua kita dulu rajin nyimpan emas, sebab jika ada keperluan mendesak bisa ditebus dengan emas. Mereka tidak menjualnya, tapi minjamin lalu ditebus kembali. Artinya menabung emas itu penting, tidak ada ruginya, malah untung karena harga emas selalu naik,” ucap Deputi Bisnis PT Pegadaian Area Padang, Heru Susanto di Padang pada Sabtu, (11/10).
Tak ia pungkiri, menabung emas ibarat membangkitkan kembali kearifan lokal. Betapa tidak, orang dahulu membangun rumah, punya kendaraan, menikahkan anak, bahkan membeli pesawat untuk merebut negeri ini dari penjajah hingga membangun monumen kemerdekaan juga dengan emas. Jadi tak ada salahnya, kita menatap masa depan dengan kearifan masa lalu.
“Makanya saya ingatkan, minimal 10 persen dari kekayaan kita investasinya harus ke emas, karena itu adalah sustainable-nya di situ. Emas itu tidak membuat orang jadi miskin, tapi membuat menjadi kaya. Kalau saya dari dulu seperti itu,” tegasnya Heru.* (Wahyu Saputra)
#mengEMASkanindonesia