Oleh: Ragdy F. Daye
(Penulis dan Sastrawan Sumatera Barat)
Kota ini bukan kota lagi. Ia museum luka yang terus diperbaharui. (Hardi, 2025:165)
Kutipan di atas adalah bagian dari buku Gaza Tak Pernah Sunyi ditulis oleh Hardi dan diterbitkan One Peach Media pada Agustus 2025. Buku berjumlah 370 halaman ini termasuk karya sastra yang merupakan refleksi dari kehidupan manusia. Berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dicerminkan dalam bentuk karya sastra. Sangidu (2017) menyatakan bahwa karya sastra merupakan pengungkapan kehidupan nyata menjadi sebuah karya imajinatif yang indah untuk dinikmati. Kehidupan dan realitas yang ada dalam karya sastra memiliki cakupan hubungan antara manusia dengan keadaan sosial yang menjadi inspirasi penciptaan. Banyaak hal pelajaran yang bisa diambil dan berharga dari karya sastra.
Gaza tak Pernah Sunyi adalah sebuah karya sastra bergenre prosa dalam bentuk novel yang ditulis oleh Hardi, seorang penulis yang berprofesi sebagai akademisi Fakultas Kedokteran di Universitas Andalas. Novel ini memotret tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina melalui perjalanan seorang dokter Indonesia yang menjadi tenaga medis relawan kemanusian Humanitarian Medical Mission Gaza 2025. Hardi menulis novel ini dengan gaya bahasa prosa puisi dengan narasi yang reflektif. Melalui sosok dokter Adrian Hazim Malik novel ini merekam jeritan, darah, dan keberanian rakyat Gaza dalam menghadapi serangan dan penjajahan Israel.
Buku ini mengingatkan kita pada buku sastrawan Palestina, Mahmoud Darwish, berjudul Memory for Forgetfulness yang berbentuk novel dengan narasi bergaya tutur puisi. Hardi pun menulis menggunakan bahasa puitis, padat metafora, dan penuh simbol. Gaya bahasanya emosional, cenderung kontemplatif memetik hikmah dari setiap peristiwa, dan menggugah empati pembaca. Kekuatan deskripsi Hardi tampak pada citraan visual Gaza yang hancur, melalui keadaan rumah sakit yang penuh pasien berdarah-darah, reruntuhan bangunan-bangunan, serta anak-anak yang terluka. Penggambaran yang begitu realis tersebut membuat pembaca ikut merasakan luka orang-orang Gaza yang sangat menderita.
Kisah dokter Adrian menjalankan misi kemanusiaan ini memberi gambaran kekejaman perang. Suara bom, runtuhan bangunan, dan korban sipil yang tak berdosa hadir kuat dalam teks. Prosedur memasuki gerbang perbatasan dengan pemeriksaan berlapis yang sangat rumit membuat napas jadi tercekat saat membacanya. Perang memang mengerikan dan menyebabkan trauma. Namun orang Palestina bukan manusia biasa. Sosok-sosok warga Gaza yang dikisahkan Hardi menunjukkan ketabahan rakyat Gaza, meski dihantam penderitaan, mereka tetap mempertahankan martabat dan iman. Misalnya anak yang datang ke rumah sakit dengan bagian tubuh yang tidak utuh, serta kehilangan orang tua dan keluarga.
Blokade Israel membuat Gaza terisolasi dari dunia. Wilayah Ini dikurung oleh tembok tinggi yang tidak bisa ditembus. Hanya ada tiga akses masuk ke Gaza, yakni gerbang Erez Crossing di sebelah utara khusus untuk orang-orang yang memiliki izin khusus dari Israel, wartawan, staf PBB, dan pasien medis gawat darurat. Gerbang kedua Kerem Shalom yang terletak di sebelah timur khusus untuk truk-truk logistik, bantuan kemanusiaan, tepung, obat-obatan, dan air dalam jeriken. Gerbang ketiga adalah Rafah yang berbatasan dengan Gurun Sinai Mesir.
Penggambaran misi kemanusian dokter Adrian dan kawan-kawan mengobati korban kejahatan Israel membawa pesan tentang solidaritas kemanusiaan. Penulis mengajak pembaca untuk tidak menutup mata, melainkan ikut merasakan dan menyuarakan penderitaan Gaza. Kepedulian tersebut dapat dibuktikan dengan memberikan sumbangan berbentuk dana, bahan makanan dan kebutuhan harian, termasuk dengan menyebarluaskan informasi tentang penderitaan warga Gaza melalui media sosial masing-masing. Ketika kondisi Gaza tetus dipublikasi, maka dunia tidak melupakan genosida yang dilakukan penjajah Israel terhadap orang Palestina.
Komisi Penyelidik PBB menyatakan Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. Komisi itu menyebut Tel Aviv telah memenuhi empat dari lima kriteria tindakan yang dikategorikan hukum internasional sebagai genosida. Keempat kriteria tersebut mencakup membunuh sejumlah anggota sebuah kelompok, menyebabkan penderitaan fisik serta mental secara serius, sengaja menciptakan kondisi yang bisa menghancurkan kelompok tersebut, dan mencegah kelahiran (https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly0qkp1n7go).
Aksi solidaritas lainnya kita saksikan berupa unjuk rasa di seluruh wilayah di dunia. Warga di berbagai negara tanpa membedakan ras, agama, dan suku bangsa telah menyuarakan kepedulian mereka terhadap saudara-saudara di Gaza. Termasuk aksi pengirimin bantuan melalui jalur laut dalam misi Global Sumud Flotilla (GSF). Dinamakan berdasarkan kata Arab Sumud—berarti kegigihan atau ketahanan—Global Sumud Flotilla (GSF) adalah koalisi kapal yang memuat pasokan bantuan kemanusiaan dan membawa aktivis dari puluhan negara. GSF menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk “mematahkan pengepungan ilegal di Gaza melalui laut, membuka koridor kemanusiaan, dan mengakhiri genosida yang sedang berlangsung terhadap rakyat Palestina”. Kapal-kapal tersebut berlayar dari pelabuhan di Spanyol, Italia, Yunani, dan Tunisia setelah para ahli dari Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) yang didukung PBB mengonfirmasi bahwa terjadi kelaparan di Kota Gaza dan memperingatkan bahwa bencana itu dapat menyebar ke Gaza tengah dan selatan dalam beberapa pekan.
GSF adalah armada ke-38 yang berlayar menuju Gaza dengan tujuan mematahkan blokade maritim, yang telah berlangsung jauh sebelum perang di Gaza. Ini merupakan upaya terbesar hingga saat ini dalam upaya yang dimulai pada 2008. Armada tersebut merupakan upaya gabungan dari Freedom Flotilla Coalition, the Gaza Free Movement, the Maghreb Sumud Flotilla—konvoi yang dipimpin rakyat dari negara-negara Afrika Utara—dan Sumud Nusantara, yang diorganisir oleh Malaysia dan sembilan negara lainnya.
Setidaknya 62.819 warga Palestina tewas dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, kata Kementerian Kesehatan Palestina pada Selasa. Pernyataan kemenkes Palestina di Gaza itu mengatakan 75 orang tewas dan 370 lainnya terluka dalam 24 jam terakhir, sementara jumlah total korban luka bertambah menjadi 158.629 orang.
Selain menyuarakan kepedulian terhadap Gaza, Palestina, Hardi melalui novel inspiratif ini juga mengetuk spiritualitas pembaca. Banyak puisi menjadi bagian tak terpisahkan dari novel ini yang menyinggung doa, keimanan, dan keyakinan bahwa penderitaan akan berbuah kemenangan. Narasi novel ini malah seperti terangkai dari puisi-puisi yang lahir dari kedalaman kalbu penulisnya yang sangat menyentuh hati, menjadi muhasabah puitis untuk lebih merenungi kehidupan dan mensyukuri nikmat Allah yang senantia berlimpah.
Misalnya puisi dari seorang gadis kecil bernama Dina ini:
Jika aku tumbuh besar nanti, Aku ingin menjadi pena pelukis hati,
Agar aku bisa menulis tentangmu tatkala sendiri, Dan dunia tak melupakanmu meskipun hanya satu hari Tunjukkan kepada dunia kau itu sangat berarti. (Hardi, 2025:247)
Atau puisi Dokter Adrian berikut:
Hari ini aku menyentuh batas antara hidup dan mati. Setiap detik di jalanan Gaza adalah taruhan
Tapi selama masih ada anak yang bisa diselamatkan Selama masih ada ibu yang bisa melihat ibunya lagi
Maka tak ada tempat yang lebih tepat untuk
Kuhabiskan hidup selain di sini. (Hardi, 2025:173)
Sebuah ulasan kurang lengkap jika tidak mengungkap sisi kelemahan karya. Kalau ada kelemahanan novel ini dari segi penulisan karya sastra, menurut saya adalah kurangnya eksplorasi tokoh dan konflik. Di dalam novel ini hadir sangat banyak tokoh, terutama di medan krisis Gaza yang bersentuhan dengan tokoh dokter Adrian. Namun, sebagian besar tokoh-tokoh tersebut tampil dengan visualisasi umum yang belum unik sebagai sebuah karakter imajinatif yang punya dimensi fisik, psikis, atau sosial. Begitupun dengan rekan-rekan satu tim dokter Adrian. Hal ini membuat prosa ini seperti baru mendedah lapisan atas jiwa dan kepribadian karakternya. Ini bisa kita bandingkan dengan novel As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh yang bercerita tentang seorang gadis Suriah yang terpaksa menjadi dokter untuk menolong pasien-pasien di rumah sakit, padahal dia hanya seorang mahasiswa farmasi. Kemelut perang yang memblokade hidupnya membuat Salama, tokoh utama cerita ini, mengalami tekanan psikologis luar biasa yang menyebabkannya berhalusinasi sebagai mekanisme pertahanan diri atas realitas.
Tokoh Adrian dalam Gaza tak Pernah Sunyi sebenarnya juga mengalami konflik psikis dan fisik, khususnya ketika ditangkap oleh tentara zionis dan terintimidasi pada pemeriksaan di perbatasan. Namun, eksplorasinya masih berupa peristiwa umum yang belum menunjukkan sisi imajinatif yang unik dan metaforis dari novel sebagai karya sastra yang mempunyai peluang eksplorasi lebih kompleks.
Terlepas dari itu, novel ini adalah buku yang patut diapresiasi karena telah menjadi suara zaman tentang krisis kemanusiaan di Gaza yang mencabik-cabik hati warga manusia di dunia, menyiarkan genosida penjajah Israel, dan memberi dokumentasi sosial tentang solidaritas umat manusia di dunia yang menunjukkan kepedulian terhadap Palestina, meskipun tidak berdaya oleh situasi politik.
Padang, Oktober 2025