Oleh: Febby Gusmelyyana
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Pada Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 13.30 wib, beberapa mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2024 melakukan penelitian lapangan untuk meneliti sejarah berdirinya surau dan mengidentifikasi manuskrip tua yang tersimpan di dalamnya. Surau yang dikunjungi adalah Surau Baru di Pasar Baru, Jalan Dr. M. Hatta, Pauh, Kota Padang. Kunjungan itu dapat menjadi pengalaman akademik bagi mahasiswa, bahkan perenungan tentang sejarah bagi mahasiswa. Surau ini bukan hanya sekadar bangunan untuk tempat beribadah saja, tetapi juga menjadi pusat aktivitas sosial, pendidikan agama, dan warisan budaya Minangkabau yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Surau Baru dikenal sebagai surau pertama yang ada di kawasan Padang, didirikan oleh Syekh Muhammad Thaib pada tahun 1910. Meskipun telah mengalami tiga kali revonasi, surau ini tetap meninggalkan tiang kayu asli yang dari awal pembangunannya. Bagi masyarakat sekitar, surau ini bukan hanya sebagai rumah ibadah, melainkan juga menjadi pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah sehingga dapat terlihat bahwa surau ini memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan tradisi ke-Islaman di Minangkabau.
Terdapat salah satu hal yang paling menarik dalam kunjungan ini adalah keberadaan manuskrip kuno yang disimpan di dalam surau. Manuskrip tersebut diperkirakan sudah berusia lebih dari 115 tahun. Menurut penuturan Buya Zahar sebagai penjaga surau dan juga seorang keturunan dari Syekh Thaib, naskah itu dibawa langsung dari Mekkah oleh Syekh sehingga manuskrip itu merupakan peninggalan yang tak ternilai. Meskipun kini, kondisinya cukup memprihatinkan.
Kertas naskah tersebut sudah tampak menguning, rapuh, bahkan terdapat beberapa bagian yang robek di pinggirnya. Meskipun begitu, tulisan dengan tangan tersebut masih bisa dibaca. Teks ditulisan dengan aksara Arab-Melayu yang indah dan rapi. Terdapat tinta hitam yang menjadi warna utama dan beberapa tinta merah yang digunakan untuk menandai bagian-bagian terpenting saja. Tidak adanya hiasan dekoratif yang khusus, tapi dengan kesederhanaannya yang justru menambah nilai sejarah masalalu.
Naskah tersebut disimpan di atas meja kecil yang letaknya menghadap kiblat dengan posisi tepat di depan imam. Dengan penempatan tersebut dapat menandakan betapa hormatnya manuskrip ini bagi masyarakat sekitar. Terdapat kain putih yang membungkusnya berubah menjadi kecokelatan, sehingga nampak usianya sudah panjang. Ketika ditanya tentang isi naskah, Buya mengatakan dirinya tidak bisa membacanya, meski huruf-huruf terlihat jelas. Dengan demikian, hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran filologi untuk membuka kembali isi teks yang terkunci oleh waktu.
Kesampatan ini dapat menjadi pengalaman pertama bagi mahasiswa untuk melihat langsung manuskrip kuno. Dengan pengamatan secara kasat mata ini, manuskrip berkemungkinan berisi doa, zikir, dan ajaran tarekat dengan praktik keagamaan masyarakat sehingga hal ini sejalan dengan fungsi surau yang sejak awal memang menjadi pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Pauh.
Pada kegiatan yang sederhana ini, mahasiswa menjadi belajar praktik dasar kritik teks. Dengan adanya kritik teks tersebut dapat dipahami cara meneliti naskah lama agar bisa dibaca kembali meskipun kondisinya rusak. Terdapat perbedaan tinta, ejaan, dan kondisi fisik yang menyadarkan mahasiswa bahwa naskah tidak hanya benda tua, tapi juga bagian dari memori masyarakat setempat.
Namun, terdapat tantangan yang besar perlu dihadapi. Dengan kondisi manuskrip yang semakin rapuh karena usia dan lingkungan, penyimpanan belum ideal. Tidak adanya perhatian yang khusus naskah bisa rusak lebih parah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemeliharaan, digitalisasi dan penelitian yang lebih lanjut agar warisan pengetahuan ini bisa dapat bertahan. Peran mahasiswa, peneliti, dan masyarakat sangat penting untuk menjaga keberlanjutannya.
Kunjungan ke Surau Baru Pauh ini memberikan banyak pelajaran. Mahasiswa yang tidak hanya memahami teori filologi di kelas, tetapi juga dapat melihat langsung bentuk manuskrip tua menyimpan jejak sejarah yang nyata. Terdapat kertas yang menguning hingga tinta hitam dan merah yang masih melekat dengan rapi dapat menghadirkan kesadaran akan pentingnya merawat warisan leluhur.
Manuskrip di Surau Baru dapat menjadi simbol kelangsungan antara masa lalu dan masa kini. Meskipun isi naskah mungkin belum terbaca, tetapi nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya tetap sesuai. Kegiatan seperti ini diharapkan terus dilakukan agar generasi muda semakin peduli pada peninggalan budaya. Melalui tugas ini, kita bukan hanya membaca masa lalu, tetapi dapat menjaga identitas bangsa untuk masa depan.