Rabu, 15/10/25 | 19:37 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Skizofrenia antara Bahasa dan Realitas

Minggu, 14/9/25 | 15:33 WIB

Oleh: Rizky Amelya Furqan, Leni Syafyahya
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

“Emosi yang tidak terekspresikan tidak akan pernah mati. Mereka dikubur hidup-hidup dan akan tampil nanti dengan cara yang lebih buruk.” Sigmund Freud

Ketika membicarakan orang dengan gangguan jiwa atau yang dikenal dengan skizofrenia. Hal yang sering kali dilakukan adalah dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Padahal, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan persoalan besar tentang bagaimana manusia memaknai realitas. Pertanyaan mendasar yang harusnya dihadirkan adalah: apakah bayangan atau persepsi mereka tentang realitas sama dengan yang dimiliki oleh orang pada umumnya? Pertanyaan ini bukan sekadar rasa ingin tahu, tetapi akan menyinggung aspek filsafat, psikologi, hingga linguistik.

BACAJUGA

Memori Kolektif Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto

Memori Kolektif Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto

Minggu, 06/10/24 | 06:53 WIB
“Pendokumentasian” dan Cultural Tourism

“Pendokumentasian” dan Cultural Tourism

Minggu, 18/8/24 | 10:49 WIB

Bagi penderita gangguan jiwa, realitas kerap muncul dalam bentuk fragmen-fragmen. Mereka bisa saja melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, mendengar suara-suara yang tak terdengar oleh orang lain, atau menafsirkan peristiwa sehari-hari dengan logika yang berbeda dari kebanyakan orang. Maka, ketika harapan mereka tentang kenyataan tidak sesuai dengan apa yang hadir di hadapan mata, sering kali mereka bereaksi dengan kemarahan, tantrum, atau perilaku agresif lainnya. Tidak jarang, reaksi itu membuat mereka akhirnya diperlakukan dengan cara yang yang tidak seperti biasanya: diikat, dikurung, atau dibatasi ruang geraknya.

Penderita gangguan jiwa terjadi karena adanya berbagai faktor, di antaranya genetik, tetapi ada pula faktor lingkungan yang memperburuk atau justru memperbaiki kondisi mereka. Lingkungan keluarga, sosial, bahkan tempat mereka mendapatkan pengobatan memainkan peran yang amat penting dalam proses ini. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa akan semakin memburuk jika lingkungan sekitar tidak memberikan dukungan, kasih sayang, dan pemahaman.

Penderita gangguan jiwa dihadapkan pada berbagai stigma negatif yang membuat mereka semakin tidak mendapatkan perhatian, terutama di lingkungan keluarga dan sosial. Hal ini, membuat keluarga memilih memilih untuk menyembunyikan atau bahkan menelantarkan anggota keluarganya yang sakit. Kemudian, diperparah dengan kehadiran lingkungan sosial yang memarginalkan posisi penderita gangguan jiwa. Hal ini yang membuat jalan keluar dari semua permasalahan untuk penderita adalah dengan mengirimkan ke rumah sakit jiwa. Tidak salah, jika keluarga tetap memberikan perhatian kepada penderita saat berada di rumah sakit jiwa. Namun, yang kadang terjadi mereka dibiarkan begitu saja tanpa diberikan dukungan atau perhatian sehingga penderita merasa diabaikan.

Satu fenomena menarik yang terjadi ketika penulis dan tim mengunjungi salah rumah sakit jiwa di Kota Padang dan Jakarta adalah pertanyaan penderita tentang “kapan mereka bisa pulang?”. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya rumah bagi mereka adalah simbol kenyamanan dan keamanan, meskipun dalam kenyataan justru rumah bisa jadi sumber trauma. Kemudian, mungkin saja mereka merasa asing dengan situasi rumah sakit: ruangan seragam, rutinitas kaku, serta aturan yang membatasi kebebasan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang membedakan keinginan penderita, walaupun mereka berada di lingkungan dan fasilitas yang berbeda.

Di titik inilah bahasa memainkan peran penting. Ketika seorang penderita berkata, “Katanya di sini untuk berobat, tapi kenapa saya malah diikat?”, itu bukan sekadar kalimat sederhana. Ucapan itu mencerminkan kesadaran mereka tentang kontradiksi antara harapan dan kenyataan. Mereka datang dengan asumsi bahwa rumah sakit adalah tempat penyembuhan atau mungkin bisa menjadi ruang nyaman melebih rumah. Namun, nyatanya pengalaman sehari-hari justru menunjukkan sebaliknya. Adakalanya omongan mereka diabaikan, keinginan mereka dipatahkan, atau melihat temannya atau bahkan mereka sendiri dimasukan ke dalam ruangan dan diberikan metode pengobatan yang mungkin menyebabkan trauma lain.

Bagi sebagian penderita, rumah sakit memang berhasil menjadi tempat kontrol—bukan penyembuhan total. Obat-obatan psikiatri yang diberikan berfungsi meredam gejala, menstabilkan emosi, atau mengurangi halusinasi. Namun, obat-obatan tersebut jarang benar-benar menyembuhkan secara tuntas. Itulah mengapa banyak penderita yang meskipun terlihat tenang, tetap harus mengonsumsi obat dalam jangka panjang. Kemudian, harus mengikuti berbagai tes sehingga ataupun siraman rohani dan sejenisnya sampai pada akhirnya diizinkan untuk pulang.

Hal yang sering luput diperhatikan adalah bahwa obat hanyalah satu aspek dari pemulihan. Kesembuhan mental tidak hanya terkait dengan aspek biologis, melainkan juga psikososial dan spiritual. Dalam banyak kasus di Indonesia, keagamaan menjadi bagian penting dari proses terapi. Tidak sedikit rumah sakit maupun keluarga yang kemudian mengaitkan pengobatan medis dengan pendekatan religius, baik berupa doa, dzikir, maupun ritual tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat kita, struktur penyembuhan selalu berkaitan dengan jaringan makna yang lebih luas: antara ilmu kedokteran, budaya lokal, dan keyakinan spiritual.

Tidak hanya itu, bahasa juga memiliki kekuatan unik: ia tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuk realitas itu sendiri. Pada penderita gangguan jiwa, bahasa yang keluar dari mulut mereka sering dianggap tidak masuk akal, incoherent, atau sekadar ocehan kosong. Namun jika dicermati lebih dalam, bahasa itu justru bisa dibaca sebagai usaha mereka untuk mengaitkan struktur-struktur realitas yang berceceran dalam pikiran. Contohnya, seorang penderita mungkin berbicara tentang ingin pulang karena ada pesta di rumah, padahal kenyataannya tidak ada pesta sama sekali. Kalimat ini bukan hanya delusi, tetapi juga cerminan kerinduan akan suasana hangat dan sosial yang tidak mereka dapatkan di rumah sakit. Bahasa, dalam hal ini, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan realitas batin dengan realitas sosial di luar. Oleh karena itu, proses pengobatan juga bisa dilakukan dengan mendengarkan pesan yang mereka sampaikan melalui bahasa yang tidak terstruktur.

Kendala besar lain yang dihadapi penderita gangguan jiwa adalah stigma. Kata “gila” sendiri sudah membawa beban makna yang merendahkan. Masyarakat cenderung melihat mereka sebagai ancaman atau aib, bukan sebagai individu yang sedang berjuang melawan penyakit. Padahal, seperti halnya penyakit fisik, gangguan jiwa membutuhkan empati, dukungan, dan pengobatan yang tepat.

Bahasa sehari-hari masyarakat yang menggunakan istilah-istilah merendahkan semakin memperkuat jurang antara penderita dengan lingkungan sekitarnya. Kata-kata itu secara tidak langsung menegaskan posisi mereka sebagai “yang lain”, yang terasing, yang berbeda, bahkan tidak manusiawi. Padahal, dalam banyak kesempatan, justru lewat bahasa para penderita berusaha keras menunjukkan bahwa mereka juga manusia dengan kebutuhan dasar yang sama: dicintai, dihargai, dan diakui.

Melihat dinamika ini, jelaslah bahwa pembicaraan tentang penderita gangguan jiwa tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang bahasa dan realitas. Bahasa adalah pintu masuk untuk memahami isi pikiran mereka, sementara realitas yang mereka alami kerap berbenturan dengan realitas sosial yang berlaku umum. Rumah sakit, obat-obatan, dan terapi adalah instrumen penting, tetapi tidak boleh dipandang sebagai solusi tunggal. Dukungan lingkungan, pemahaman keluarga, dan penghormatan terhadap sisi spiritual menjadi unsur yang sama pentingnya.

Akhirnya, kita perlu melihat penderita gangguan jiwa bukan sekadar sebagai objek yang harus dikendalikan, melainkan individu yang tengah berjuang dengan realitas mereka sendiri. Melalui bahasa—yang sering kali terdengar kacau—mereka sedang mengungkapkan kerinduan, kekecewaan, bahkan harapan. Sehingga dengan bahasa itu juga pengobatan bisa dilakukan. Penggunaan bahasa yang baik akan memengaruhi kondisi penderita yang mungkin saja bisa membantu proses penyembuhannya. Tugas kita sebagai masyarakat adalah berusaha memahami, bukan sekadar menghakimi. Dengan begitu, rumah sakit bisa benar-benar menjadi tempat pemulihan, bukan tekanan; dan bahasa bisa kembali menjadi jembatan, bukan sekadar simbol perbedaan.

Tags: #Rizky Amelya Furqan
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Tengkelek: Dari Sendal Kayu Menjadi Nama Merek

Berita Sesudah

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Berita Terkait

Jejak Peranakan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Jejak Peranakan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Minggu, 12/10/25 | 12:34 WIB

Oleh: Hasbi Witir (Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas) Banyak dari kita mungkin beranggapan bahwa sejarah sastra Indonesia modern dimulai...

Makna Dibalik Puisi “Harapan” Karya Sapardi Tinjauan Semiotika

Makna Dibalik Puisi “Harapan” Karya Sapardi Tinjauan Semiotika

Minggu, 12/10/25 | 11:30 WIB

Oleh: Muhammad Zakwan Rizaldi (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan Anggota UKMF Labor Penulisan Kreatif)          ...

Puisi-puisi Ronaldi Noor dan Ulasannya oleh Ragdi F. Daye

Puisi Luka Gaza dalam “Gaza Tak Pernah Sunyi” Karya Hardi

Minggu, 05/10/25 | 23:48 WIB

Oleh: Ragdy F. Daye (Penulis dan  Sastrawan Sumatera Barat)   Kota ini bukan kota lagi. Ia museum luka yang terus...

Menyibak Sejarah melalui Manuskrip Surau Baru Pauh

Menyibak Sejarah melalui Manuskrip Surau Baru Pauh

Minggu, 05/10/25 | 23:29 WIB

Oleh: Febby Gusmelyyana (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)   Pada Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 13.30...

Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

Konflik pada Cerpen “Pak Menteri Mau Datang” Karya A.A. Navis

Minggu, 05/10/25 | 23:11 WIB

Oleh: Faathir Tora Ugraha (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)   Ali Akbar Navis atau lebih dikenal A.A. Navis adalah...

Sastra Bandingan: Kerinduan yang Tak Bertepi di Antara Dua Puisi

Sastra Anak, Pondasi Psikologis Perkembangan Kognitif Anak

Minggu, 28/9/25 | 15:19 WIB

Oleh: Dara Suci Rezki Efendi (Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)   Setiap karya sastra pasti memiliki pembacanya masing-masing,...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

POPULER

  • Walikota Padang Fadly Amran bersama Anggota DPRD Kota Padang Iswanto Kwara saat meninjau rehabilitasi saluran drainase dipadang pasir, Rabu (8/10). (Foto: Ist)

    Walikota Apresiasi Anggota DPRD Kota Padang Iswanto Kwara Dalam Rehabilitasi Saluran Drainase di Padang Pasir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kolaborasi Legislator PKB Hadirkan Listrik untuk 584 KK di Sijunjung

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemenlu RI Dukung Kota Padang Kerjasama Dengan Hildesheim Jerman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penggunaan Kata Ganti Engkau, Kau, Dia, dan Ia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penggunaan Kata Penghubung “tetapi” dan “sedangkan”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024