Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Seorang bos Yakuza pensiun, lalu ia memutuskan untuk menjadi bapak rumah tangga, sepenuhnya. Begitulah pilihan Tatsu dalam menjalani hidup lewat The Ingenuity of the Househusband. Salah satu episode serial yang ditayangkan di Netflix itu terasa menarik bagi saya. Intinya, di episode tersebut Tatsu tidak ingin melakukan apa-apa. Ia hanya ingin bersantai sambil menikmati sepotong roti, secangkir minuman, dan tidur-tiduran. Akan tetapi, ia gagal. Ya, ia gagal untuk tidak melakukan apa-apa dalam seharian.
Ketika hendak menyantap roti panggang, ia melihat daun tanaman yang menurutnya berdebu. Ia pun mengelap setiap helai daun dengan pelan dan teliti, seperti sedang menyisir rambut seorang bayi. Pekerjaannya berlanjut ke hal lain, seperti mengisi botol-botol deterjen yang mulai kosong.
Melihat Tatsu, saya gemas dan menggerutu sendiri. Sebab tidak melakukan apa-apa selain bersantai dan tidur-tiduran adalah aktivitas favorit saya. Tatsu memiliki peluang yang besar untuk bermalas-malasan. Rumahnya tampak rapi, keadaan begitu nyaman dan tenang, tidak ada anak yang harus ia momong, dan juga tidak ada tuntutan dari istrinya untuk melakukan ini dan itu. Tetapi, ia memilih sibuk melakukan banyak hal di hari yang semula sudah ia rencanakan untuk tidak melakukan apa-apa.
Di titik inilah saya sadar bahwa ada dua tipe manusia di dunia ini. Pertama, tipe “kutu kerja”—orang-orang yang tidak bisa diam, selalu mencari kesibukan, bahkan ketika sebenarnya tidak perlu. Kedua, tipe tukang mager—orang-orang yang rela menunda apa pun demi rebahan, berselimut, dan mengkhianati daftar to-do list mereka sendiri.
Apakah Tatsu adalah contoh dari seorang “kutu kerja”? Bisa jadi. Karakter seseorang yang sulit dijangkau apalagi diimbangi oleh seorang tukang mager, tentu saja. Atau, apakah gambaran Tatsu merepresentasikan keseharian ibu rumah tangga dari sisi lain, yaitu bapak rumah tangga yang “doyan sibuk”? Entahlah. Yang jelas, Tatsu terlihat jauh lebih menikmati kesibukan ketimbang kemalasan.
Sebaliknya, ada pula orang yang suka bermalas-malasan. Salah satu tokoh yang seperti ini ialah Maruko dalam kartun legendaris Chibi Maruko-chan. Maruko seakan punya prinsip hidup: “Kalau bisa dikerjakan besok, kenapa harus hari ini?” Bayangkan kalau Tatsu dan Maruko bertemu. Rasanya keduanya tak akan cocok. Tatsu bisa pusing tujuh keliling melihat Maruko bermalas-malasan, sementara Maruko mungkin bingung melihat Tatsu repot sendiri mengelap daun padahal tidak ada yang menyuruh.
Belakangan ini saya cukup banyak bertemu dengan orang-orang yang suka sibuk. Bagi mereka, kesibukan barangkali adalah definisi lain dari produktivitas. Bahkan ada yang menjadikan kesibukan sebagai tanda kesuksesan. “Kalau sibuk, berarti dicari orang. Kalau dicari orang, berarti berguna.” Begitulah logika para “kutu kerja”. Mereka merasa aneh kalau punya waktu kosong, karena waktu kosong dianggap dosa besar yang tak terampuni.
Tentu saja berbeda dengan tukang mager. Kami, kaum rebahan, memiliki filosofi yang sederhana: hidup sudah penuh dengan kesulitan, jadi jangan ditambah-tambah dengan kesibukan yang tidak perlu. Tukang mager adalah penganut paham slow living level dewa. Duduk di teras sambil minum es teh, menggulir layar ponsel tanpa tujuan, atau tidur siang tiga babak adalah pencapaian yang patut dirayakan.
Tapi, bukankah hidup ini memang butuh keseimbangan? Tanpa ”kutu kerja”, dunia mungkin akan berhenti berputar. Tidak ada yang akan mengurus detail kecil seperti botol deterjen yang kosong. Namun tanpa tukang mager, dunia juga bisa kelelahan. Kita butuh orang-orang yang mengingatkan bahwa hidup tidak harus selalu tergesa-gesa, bahwa rebahan pun punya nilai: menyelamatkan jiwa dari stres.
Pada akhirnya, baik “kutu kerja” maupun tukang mager punya perannya masing-masing. “Kutu kerja” membuat hidup terasa produktif, sementara tukang mager membuat hidup terasa nikmat. Masalahnya hanya satu: apakah kita bisa menemukan titik tengah di antara keduanya? Jangan-jangan, dalam diri kita, ada sedikit “kutu kerja” yang selalu ingin sibuk, sekaligus ada tukang mager yang ingin rebahan seharian.
Kalau begitu, tidak ada salahnya sesekali jadi Tatsu yang rajin, dan di lain waktu jadi Maruko yang santai. Hidup toh bukan kompetisi antara sibuk dan malas, melainkan seni menyeimbangkan keduanya. Karena, percaya atau tidak, dunia tetap membutuhkan orang yang membersihkan daun, sekaligus orang yang tidur siang dengan damai.